TEMANKU HANTU?

TEMANKU HANTU?

Temanku Hantu?
Oleh : Fath_vhat

Berjalan dalam kegelapan bukanlah hal yang mudah bagi Danish. Kerap kali kakinya menginjak, menabrak, menyenggol, bahkan menyandung akar yang tumbuh sampai keluar tanah. Tak jarang keluhan dilontarkannya, tapi mau bagaimana lagi? Ini sudah kesepakatan bersama.

Siang tadi, Sean bercerita kalau dulu ia tinggal di rumah seram yang sekarang sudah tak berpenghuni. Jelas saja tak berpenghuni, dilihat dari depannya saja rumah itu sudah sukses membangunkan bulu kuduk, apalagi tinggal di dalamnya? Mungkin hanya orang-orang yang suka mencari sensasi saja yang mau memasuki rumah itu. Itu pun terpaksa. Ya, demi apalagi kalau bukan konten yang ujung-ujungnya menghasilkan uang?

“Ayo, gue tantang lo buat masuk ke sana. Berani, enggak?” ujar Sean setelah bercerita tentang rumah lamanya yang berhantu.

Bukan Danish namanya kalau tidak mengiyakan challenge seperti ini. Dengan penuh percaya diri Danish menjawab, “Ayo!”

Sebelah alis Sean terangkat. Wajahnya maju satu jengkal lebih dekat ke wajah Danish. Seperti mencari ketakutan di wajah temannya tapi nihil, tidak ada. Sepertinya Danish memang berani. “Oke, malam ini jam sembilan kita berangkat ke sana.”

“Jam sembilan? Itu mah masih sore. Gimana kalau jam dua belas aja?” tawar Danish.

Sean menggeleng. “Kalau jam dua belas gue nggak berani, gue maunya jam sembilan atau jam delapanan.”

Danish terkekeh meremehkan. “Jam segitu mah hantunya masih pada keluyuran, belum masuk rumah.”

Dan, inilah hasil dari percakapan mereka tadi siang. Malam ini, tepat pukul sembilan malam Danish dan Sean berjalan menelusuri kebun. Kebun ini dulunya milik kakek Sean, tapi sekarang sudah tidak terurus lagi akibat rumah seram yang mereka tinggali dulu. Padahal tanah di kebun itu lebar dan subur—terlihat dari beberapa tanaman sayur-mayur yang masih tumbuh dengan segar di atasnya—hanya karena kebun mereka berada di depan rumah angker semua orang tak ada yang mau untuk membelinya. Meskipun sudah dipasang harga murah.

Danish menepuk serangga-serangga nakal yang sangat suka mengisap darahnya hingga meninggalkan bekas benjolan.

“Kita sampai,” ujar Sean girang. Bibirnya tersenyum lebar menatap rumah lamanya yang gelap gulita.

Danish menganga, tidak percaya kalau dulu rumah seram di hadapannya ini adalah rumah temannya.

Seakan paham apa yang dimaksud Danish, Sean menepuk bahu Danish sambil tertawa.

Saat Sean tertawa, Danish menoleh sigap. Sebentar, ada yang aneh.

“Kenapa?” tanya Sean menyadari ekspresi wajah Danish yang berubah.

“L-lo tadi ketawa?”

Sean mengangguk. “Kenapa?”

“Y-yang ketawa tadi elo?” tanya Danish mengulang pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.

“Iya, siapa lagi yang ketawa kalau bukan gue? Kan di sini cuma ada gue sama elo.”

Benar, ada yang aneh. Danish memilih untuk tidak bertanya atau bersuara lagi. Bersamaan dengan rasa kecurigaannya, tubuhnya kaku, dingin! Seluruh embusan angin seakan hanya meniup ke arahnya seorang.

Dddrrrtt … dddrrrtt ….

Ponsel di saku berdering, Danish melirik saku sebentar kemudian berusaha setengah mati menggerakkan tangan untuk merogoh ponsel yang diletakkan di saku celana jeans. Saat melihat notifikasi yang baru saja masuk, tubuh Danish makin terasa kaku. Kali ini sengatan-sengatan mistis mulai menyambar ke sekujur tubuhnya. Badannya bergetar hebat!

1 Pesan WhatsApp dari Sean

Danish meneguk liur perlahan. Diliriknya Sean, ia sedang tidak memegang ponsel! Lalu bagaimana caranya mengirim pesan WhatsApp? Danish mengabaikan pesan itu. Sekarang bukan saat yang tepat untuk memikirkan siapa yang mengirim pesan padanya. Disimpan kembali ponsel ke dalam saku celana.

Tak lama ponsel kembali berdering. Dddrrrtt … dddrrrtt … dddrrrtt … dddrrrtttt ….

Ponsel Danish bergetar dengan durasi yang cukup lama. Sepertinya sekarang ada yang meneleponnya. Sebelum mengambil ponsel, lagi dan lagi Danish menoleh ke arah Sean terlebih dahulu. Teman di sebelahnya itu hanya diam. Danish mengabaikan panggilan pada ponselnya. Lututnya sudah tak kuasa menahan beban tubuh akibat gemetar yang dahsyat ia rasakan beberapa menit ini.

Getar pada ponsel telah mati, dua detik selanjutnya ponsel kembali bergetar. Kali ini Sean melirik saku Danish. “Kayaknya penting, angkat saja.”

Danish meneguk liur lagi kemudian mengambil ponsel. Saat mengambil ponsel dengan tangan bergetar, tak sengaja salah satu tombol di ponsel tertekan. Ya, tombol icon warna hijau tertekan. Yang artinya telepon langsung tersambung ke penelepon yang berada di ujung sana.

“Danish, woy, lu ke mana, sih!? Ayo, jadi kagak?” tanya Sean dengan nada penuh emosi.

Lagi dan lagi Danish menelan setenggak liur sebelum kembali berkomentar. “S-siapa?”

“Dih, kocak. Gue Sean! Jangan pura-pura amnesia deh, lo. Kalau nggak berani, bilang, nggak usah sok-sokan nantangin!”

Mendengar nama Sean dan suaranya pun persis suara Sean, Danish melirik seseorang di sebelahnya. “S-Sean …?”

“Ah, lama, lo! Gue samperin ke depan rumah, buruan keluar! Malam ini harus jadi, kan lo sendiri yang ngasih tantangan.”

“S-Sean, gu … gu … gue udah di … depan rumah lo. Rumah lo y-yang du … lu.”

“Candaan lo nggak lucu, Bro!”

“G-gue ser-serius.”

“Sama siapa lo di sana?”

“S-sama S-S-Se … Sean.”

“Anjir! Ada yang nyamain gue. Balik, lo. Awas hati-hati di-caplok.”

Awalnya Danish menyangka yang meneleponnyalah Sean yang palsu, karena kejadian ditelepon hantu sudah tidak asing lagi. Tapi, begitu tahu kalau ternyata yang sejak tadi menemaninya adalah yang palsu … Danish merasa nyawanya berada di ujung ubun-ubun. Ingin sekali lari, tapi tidak bisa. Ingin teriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Untuk pertama kalinya Danish melihat sosok “mereka” dengan senyum lebar tanpa batas bibir. Hidung “mereka” hampir tenggelam akibat senyuman yang terlalu lebar.

“Yah, ketahuan, ya. Nggak apa-apa, deh. Masuk ke dalam, yuk. Temanin gue tidur. Gue ngantuk, nih,” ujar “mereka” sambil tersenyum lebih lebar lagi. Entah seberapa lebar bibir hantu yang menampakkan diri di depan Danish. Ia tak ingat, karena setelah ajakan tersebut kepala Danish terasa pusing, kemudian semuanya menjadi gelap. Sepertinya malam itu Danish benar-benar menemani “mereka” tidur.

 

Fathia Rizkiah, sapa saja Fathia. Tinggal di kota Tangerang, kesibukanku di umur 20 tahun ini menjadi pendidik manusia-manusia kecil di TK Islam Al-Muhajirin. Bila senggang, boleh mampir ke akun wattpadku @fath_vhat. Aku memposting cerita yang membosankan di sana lho. Memberi krisar? Oh boleh sangat, jangan lupa difollow yaaa hihihi.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply