Teman Masa Kecilku

Oleh : Fitri Hana

Anak itu memelotot. Tatapannya tajam seolah melucutiku yang tengah duduk di hadapannya.

“Mau apa kau?” Kalimat itu seperti mengartikan tatapannya.

Dia tidak berkata apa pun. Dia tidak bergerak. Dia tetap seperti ketika aku baru tiba, hanya jongkok dan terkadang kedua lengannya memeluk lutut. Namun diamnya itu justru membuatku merinding. Dia menatapku. Bahkan ketika aku bergeser ke kanan tepat di depannya, matanya mengikutiku.

Tangan kanannya berpindah ke atas lutut yang terkadang dia gunakan untuk menopang dagu. Jari-jarinya bergetar, entah karena apa. Tangan kirinya terus memainkan rantai yang mengikat pergelangan kaki kanannya sehingga menimbulkan bunyi berisik. Kadang gemboknya dia pukul-pukulkan dengan lantai papan kamar ini.

“Hai, Anton.” Aku berusaha mengatur suaraku agar tidak bergetar. Aku ketakutan.

Aku memilih jongkok juga di depannya, berjarak sekitar dua meter darinya. Lebih tepatnya aku memilih duduk di depan pintu yang terbuka, agar sewaktu terjadi yang tidak-tidak aku bisa segera menyelamatkan diri. Kamar seluas empat meter persegi ini punya penerangan yang bagus. Jendela yang cukup besar memudahkan sinar matahari untuk masuk. Tapi itu semua tidak cukup untuk kesehatan Anton. Bajunya kumal bahkan cenderung kesempitan. Sepertinya baju itu sama seperti satu tahun lalu ketika aku terakhir mengunjunginya. Rambutnya juga sudah panjang, acak-acakan. Terlihat sekali kalau dia tidak pernah disisiri. Disisiri? Jangankan disisiri, dimandikan saja tidak. Badannya pun tampak lebih kurus sekarang.

“Aku Nadia, Anton. Temanmu saat TK dulu. Ingat? Yang suka minta bekal rotimu.”

Aku tersenyum, lalu berusaha tertawa. Lebih tepatnya aku berusaha menormalkan jantungku yang berdetak kencang.

“Jangan menatapku seperti itu, Anton. Aku temanmu,” ucapku. “Dia temanku, dia temanku yang baik,” kataku dalam hati. Aku terus mengulang kalimat itu untuk mensugesti diri sendiri.

“Bagaimana kabarmu, Anton? Aku sudah kelas satu SMK sekarang. Kebetulan kami sedang mudik, jadi aku mengunjungimu, seperti biasanya, kan.”

Matanya tidak lagi memelotot. Kurasa dia mulai menerimaku.

“Aku ingin mengajakmu melihat danau di belakang desa yang dulu kita jadikan tempat bermain itu lagi sebenarnya. Tapi kami harus buru-buru kembali ke kota, Anton.”

Aku meletakkan kotak makan yang berisi roti isi, kubuka tutupnya. Lalu kugeser kotak itu sedekat mungkin dengan Anton agar dia bisa meraihnya.

“Itu roti untukmu, Anton. Meski tidak seenak roti buatan ibumu, ta- ….”

Belum selesai kalimatku Anton tiba-tiba berdiri. Dia mengambil kotak makanku, mengambil rotinya lalu membanting kotak makan itu ke arahku. Aku menghindar, kotak itu hampir saja mengenai lututku. Anton berpindah tempat. Bergeser ke kanan mendekati jendela yang sudah dipasang terali. Suara rantai besi yang bergesekan dengan papan kayu membuat ngilu.

Bodoh! Kenapa aku menyebut ibunya?

Anton memakan roti itu dengan serakah. Dia mengoyak roti itu lalu mengunyahnya sambil kembali memelotot. Tatapannya nyalang. Lebih seram dari awal kedatanganku tadi. Belum habis roti di mulutnya, dia gigit lagi sampai mulutnya penuh roti sekarang.

“Aku minta maaf, Anton. Aku hanya ingin mengetahui kabarmu. Aku ingin kamu sembuh. Aku ingin kita bermain bersama lagi seperti dulu.”

Aku berdiri. Mundur sedikit tepat di tengah-tengah bingkai pintu.

Setelah roti dalam mulutnya habis Anton berteriak, “Mamak ….”

Dia lalu menggoyangkan terali jendela dengan kedua tangannya sambil terus memanggil ibunya.

“Mamak ….”

Oh, Paman pasti tidak akan memaafkan kesalahanku ini.

Aku berdiri berpegangan bingkai pintu. Baru kali ini aku melihat Anton mengamuk. Tahun lalu Anton masih sering “waras”. Kami bahkan sempat bermain di danau.

“Apa yang kau katakan, Nadia? Kau mengungkit mamaknya? Hah!”

Teriakan Anton pasti terdengar sampai rumahnya, hingga Paman Jono datang ke sini.

Paman Jono menaiki tangga kayu lalu masuk kamar. Ia menarik Anton. Tapi tangan Anton terlalu kuat memegang terali.

“Kau bicara apa, Gadis Jalang? Sampai-sampai anak gila itu mengamuk lagi? Bicara apa, hah! Sudah kubilang jangan sok-sokan datang. Jangan temui dia. Dia tidak butuh kawannya. Dia butuh malaikat cabut nyawanya cepat-cepat! Pergi kamu!”

Omelan panjang dari Bibi Mita membuat kakiku gemetar. Belum luruh keterkejutanku akan reaksi Anton, ditambah bentakan Paman Jono, lalu sekarang mulut jahat Bibi Mita.

Bibi Mita berdiri di hadapanku. Ia memelototiku. “Pergi!” ia membentak lagi.

“Paman, Bibi, Nadia minta maaf. Nadia tidak bermaksud un-….“

“Pergi!” bentak Bibi Mita.

Kali ini aku mengalah. Aku mundur. Kutatap Anton yang masih menatap luar kamarnya. “Maafkan aku, Anton, aku tidak bisa membebaskanmu.” Bisikku berharap Anton mendengarnya.

Aku berlari memutari kamar Anton. Lalu berdiri di depan jendela. “Anton, jaga diri, ya, maafkan aku,” ucapku tepat di depan Anton. Dia masih di sana. Masih memegang terali. Di belakang, Paman dan Bibi menatapku tajam. Aku berlari. Melewati rumah Paman Jono yang berseberangan kebun dengan kamar Anton. Berlari melewati pematang sawah. Menyeberang sungai kecil. Lalu tiba di rumah nenekku. Melihatku terengah-engah Nenek segera datang dengan membawakan segelas air.

“Kenapa, Nad? Nenek sihir itu marah padamu?”

Aku berselonjor di lantai kayu rumah nenek. Dadaku naik turun. Lelah sekali rasanya. Lalu aku menenggak air minum yang diberikan Nenek sampai habis tak bersisa. Kujawab pertanyaan Nenek dengan anggukan kepala. Lalu aku berbaring lagi. Mendinginkan otot dan kulitku yang rasanya panas.

“Sudah kubilang, Anton itu dibuat gila sama mamak tirinya itu, si nenek sihir yang merampas perkebunan kakekmu.”

***

Klaten, 15 Januari ‘22

Fitri Hana, seorang ibu yang memaksakan diri untuk menulis. Mengurai benang kusut di kepalanya. Kadang-kadang ia suka kopi. Kadang-kadang ia suka cokelat panas. Kadang-kadang ia tak suka keduanya.

Editor : Rinanda Tesniana

Grup FB KCLK

Halaman FB kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Gambar : https://pin.it/3u1QlPB

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply