Teman Bicara
Oleh : Ken Lazuardy
Kesendirian adalah temanku satu-satunya selama ini. Aku selalu canggung untuk sekadar mengobrol, takut ada kata-kata menyinggung perasaan, topik obrolanku membosankan, kadang juga merasa seperti bingung untuk memulai suatu pembicaraan. Hal ini agaknya bertentangan dengan sebuah teori bahwa wanita bisa berbicara 20.000 kata per hari. Teori itu sepertinya tidak berlaku padaku. Sebenarnya, dalam hati kecil, aku ingin sekali memiliki teman ngobrol seperti yang lain.
Hingga suatu malam, Dewi Fortuna memberiku kesempatan untuk bisa memiliki teman. Saat itu tiba, ketika aku sedang duduk sendirian–seperti biasanya–di bangku taman Fakultas MIPA. Taman Fakultas MIPA adalah taman favorit bagi mahasiswa di kampus ini, meskipun cukup sepi ketika malam hari, tapi taman ini menjadi tempat mengerjakan tugas paling bagus karena akses internetnya yang lumayan oke. Ada pula mahasiswa yang memilih tempat ini untuk menghabiskan waktu bersama kekasihnya, tempat pacaran bagi mahasiswa yang bermodal pas-pasan, mungkin karena penerangan yang kurang baik sehingga cukup mendukung suasana romantis muda-mudi yang sedang memadu kasih. Asal tak ketahuan satpam yang sedang patroli malam.
Setelah puas memperhatikan beberapa orang di taman itu, tiba-tiba mataku tertuju pada seorang cowok yang melemparkan senyuman manis, semanis wajahya. Ke arahku? Aku mencoba meyakinkan diri apakah benar cowok itu mengarahkan senyumannya kepadaku.
Pandanganku menyisir ke kanan-kiri, depan-belakang, namun tak seorang pun yang memperhatikannya. Jadi benar, cowok itu memang tersenyum padaku. Perlahan si cowok mendekat dan menanyakan bolehkah dia duduk di sebelahku. Tanpa pikir panjang, aku pun mengangguk dan mempersilakan duduk. Perasaan aneh mulai merasuki, irama jantung yang berdetak secara cepat tidak beraturan, telapak tangan yang sedari tadi hangat seketika menjadi dingin, aku pun mulai membuat gerakan yang aneh, seperti merapikan rambut–padahal tidak begitu berantakan. Perasaan yang selalu hinggap, ketika aku bertemu dengan seseorang.
“Hai.”
“Oh, hai juga.”
“Aku Damar. Kamu siapa?” tanya cowok itu sembari mengulurkan tangannya.
“Mita,” jawabku singkat, membalas uluran tangannya.
“Kamu sendirian?”
“Iya. Sendiri aja.”
“Ngapain? Cari wangsit atau cari jodoh?”
“Bukan. Hm … cari temen.” Aku tertawa geli mendengar pertanyaan konyol Damar.
“Wah, aku datengnya pas banget dong.” Damar pun tersenyum.
Begitulah awal pertemuanku dengan Damar, cowok berkulit putih, berpostur kurus dan tinggi, dengan bibir tipis yang membentuk senyum manis, yang ternyata menjadi teman bicara pertamaku.
Pakaiannya necis ala mahasiswa jurusan MIPA, memakai kemeja dan celana kain. Meskipun wajahnya terllihat sangat letih dan pucat, dia seperti berusaha untuk tetap tersenyum dan menemaniku di sini. Damar berkata bahwa dia merasa tertarik mendekatiku karena aku terlihat murung sendirian di sini dan masih memakai jas laboratorium.
Aku bercerita kepada Damar bahwa aku tak pernah punya teman, Damar menyemangatiku dengan menyatakan bahwa Damar pun kurang suka keramaian, cowok dengan outfit agak jadul itu bercerita bahwa dia juga tak punya banyak teman. Setelah beberapa menit mengobrol, sepertinya aku merasa nyaman dan obrolan kami nyambung. Aku cukup terhibur mendengar jokes-jokes receh Damar, obrolan ngalor ngidul pun terjadi. Aku pun menceritakan keseharianku dan kebiasaanku menyendiri di taman, hingga mencuri dengar obrolan para mahasiswa dan gosip terbaru di kampus.
Tak terasa sudah dua jam kami duduk dan mengobrol di sana. Suatu prestasi bagiku, dua jam lamanya aku mengobrol dengan seseorang, akhirnya aku bisa tahu bagaimana rasanya punya teman bicara. Menyenangkan. Bukan. Sangat menyenangkan.
Kami pun akhirnya berjanji untuk bertemu lagi esok malam di tempat yang sama. Begitu seterusnya, sampai akhirnya menjadi suatu kebiasaan, topik setiap harinya pun berbeda-beda, tentang buku kesukaan dan hobi masing-masing.
***
Ini hari kelima sejak pertama kali kami saling mengenal. Entah kenapa aku seperti kecanduan, setiap malam tak pernah absen untuk selalu menantikan kedatangan Damar di taman ini. Malam ini tak tampak kehadirannya. Apa ada yang salah dengan kata-kataku kemarin? tanyaku dalam hati.
“Woy, jangan suka ngelamun malem-malem! Kesambet, loh!”
Damar mengejutkanku hingga aku setengah melompat. Tanpa sadar, cowok yang sudah lama kunantikan itu tiba-tiba sudah berada di belakangku.
“Ya ampun, ngagetin aja.” Aku lega, ternyata dugaanku salah.
“Harus pakai jas laboratorium, ya? Biar dikira mahasiswa MIPA sejati gitu?” tanya Damar setengah mengejek.
Aku terkekeh mendengar ejekannya. “Nggak sih, biar keren aja. Aku emang ngerasa keren kalau pakai jas lab.”
Obrolan kami malam ini lumayan dalam, mungkin karena sudah merasa saling kenal dan nyaman. Kami saling menceritakan seputar keputusasaan yang pernah aku dan Damar rasakan. Ternyata kami memiliki masalah yang sama, sempat merasa putus asa karena tekanan dari orang tua yang menuntut nilai kami harus selalu baik, dengan nilai IPK minimal 3,5 di tiap semesternya. Hal ini membuat kami cukup stres. Aku dapat merasakan apa yang Damar rasakan.
Di tengah-tengah obrolan serius kami, tiba-tiba seorang mahasiswa yang tidak sengaja lewat di depan kami menegur.
“Hei, ngapain malam-malam di sini? Hati-hati, loh! Udah pernah denger nggak kalo di sini ada rumor hantu mahasiswa MIPA yang sebulan lalu meninggal? Mayatnya ditemukan di laboratorium, bunuh diri pake kloroform. Ih, ngeri banget.”
Mataku terbelalak mendengar penjelasan mahasiswa cewek yang bercerita dengan bola mata yang celingukan menyisir sekitar tempat kami duduk. Padanganku langsung tertuju kepada Damar, aku melihat mimik wajahnya berubah drastis.
“Ayo, pulang aja. Percaya deh. Daripada kamu digangguin, loh! Merinding gue. Aneh banget kamu, ngapain coba malem-malem di sini sendirian?”
Tenggorokanku serasa tercekat.
“Hantunya cewek. Kalo nggak salah, namanya Paramita Maheswari, mahasiswa Biologi angkatan 2017. Panggilannya Mita, anaknya pendiem banget, kasian nggak punya temen. Ada juga yang pernah liat, hantunya masih pakai jas laboratorium.”
Mendengar hal itu, Damar langsung berdiri dan beringsut menjauhiku. Lalu mengambil langkah seribu tanpa menoleh kembali ke arahku.
Yah, ketahuan deh. Baru punya teman bicara, udah ngilang. Nggak enak ya dirumorin kayak gini. Semoga aku mendapat teman bicaraku selanjutnya, mungkin lain kali aku perlu pakai nama samaran.
Pasuruan, 31 Desember 2020
Ken Izzun Nadhifah Lazuardy. Kelahiran 29 November 1990 di Pasuruan. Hanyalah seorang ibu rumah tangga yang baru belajar menulis di tengah kesibukannya menjadi teman main kedua bocilnya.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata