Teman Bermain Luna

Teman Bermain Luna

Teman Bermain Luna

Oleh: Triandira

Malam semakin larut. Desau angin yang mengoyak pepohonan tak lagi terdengar. Begitu juga dengan suara katak di halaman, mendadak lenyap seiring kedatangan Luna bersama teman kecil yang ia dekap. Itu adalah boneka teddy pemberian Ayah yang dianggapnya sebagai benda pembawa keberuntungan. Ke mana pun gadis itu pergi, boneka tersebut selalu ia bawa.

Bagi Luna, teddy bukan hanya teman bermainnya, melainkan juga sahabat yang bisa melindunginya dari marabahaya. Seperti kejadian tempo hari yang telah diceritakannya kepadaku. Gadis itu bilang, si boneka beruang telah menyelamatkannya dari gangguan mengerikan yang pernah ia alami.

Kedengarannya tak masuk akal, tetapi tak ada pilihan selain memercayainya. Setidaknya untuk saat ini, atau mungkin … sampai aku bisa membuktikannya sendiri.

“Kenapa tidak menungguku?” sapanya dengan raut muka kesal. Tak terima dengan sikapku yang seenak hati memainkan barang-barang kesayangannya. “Lain kali jangan diulang lagi.”

“Kalau begitu cepat datang,” balasku tak mau kalah.

“Ya, baiklah. Aku yang salah. Maaf.”

Aku tak menoleh dan hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Beberapa saat kemudian, usai menutup pintu kamar, Luna langsung menghampiriku yang sudah duduk di atas kuda-kudaan miliknya. Sesekali bersenandung dengan tubuh yang mengayun pelan, meniru bunyi dari kotak musik yang masih berputar.

Hadiah yang indah. Aku jadi sedikit menyesal karena tak memintanya juga kepada Ayah di hari ulang tahun kami sebulan yang lalu. Saat itu aku memang belum tertarik untuk memilikinya, dan malah meminta hadiah yang lain.

Aku dan Luna memang terlahir kembar, tetapi selera kami terhadap beberapa hal tak selalu sama. Terutama mengenai warna. Aku suka merah, sedangkan Luna lebih menyukai hitam. Terdengar aneh? Sebenarnya tidak jika mengingat kelebihan yang ia miliki. Ya, meskipun sejauh ini hanya aku yang memercayainya.

Luna bukanlah gadis kecil biasa. Ia bisa melihat makhluk tak kasat mata yang belakangan ini juga sering menganggu Ayah. Seminggu yang lalu, tepatnya ketika aku memutuskan untuk sekamar dengannya, gadis itu semakin sering bercerita. Tentang kejadian mistis yang ia alami. Aku yang sejak awal sudah dibuat penasaran olehnya, begitu antusias saat mendengar cerita-cerita itu. Seperti sekarang, saat tiba-tiba saja Luna membisikkan sesuatu di tengah-tengah permainan.

“Sssttt ….”

“Ada apa?”

“Sepertinya ada sesuatu di luar sana. Kamu dengar itu?”

Aku mengangguk pelan. Memang benar, samar-samar muncul suara aneh dari luar ruangan. Semacam seseorang yang sedang berjalan menggunakan alas kaki. Bukan sepatu, melainkan bakiak. Semakin lama semakin terdengar keras. Entah siapa itu, aku sama sekali tak peduli. Sebab ada hal yang lebih menarik untuk diketahui.

Sementara Luna sibuk mengamati suasana sekitar, perhatianku malah tertuju pada boneka yang ada di dekapannya. Di saat yang sama, tercium aroma bunga yang menyengat hidung. Wangi sekali.

“Kamu takut?”

“Sedikit,” jawab Luna. Tak mampu menyembunyikan perasaannya. Namun, seperti yang sudah kuduga, kembaranku itu semakin mendekap erat teman kecilnya. Kasihan, sepertinya keberuntungan itu tak berpihak lagi padanya.

“Kita harus pergi, Lun,” ajakku kemudian, tak mampu lagi melihat ia ketakutan. Terlebih saat situasi semakin mencekam. Lampu teras berkedap-kedip, padahal sebelumnya mati. Sama seperti ruangan tempat kami berada saat ini.

“Lun …,” bisikku sekali lagi sambil menatapnya lekat-lekat. “Ayo, kita harus cepat pergi dari sini.”

Luna bergeming. Ia hanya berdiri di depanku dengan tatapan kosong, tak berkedip sedikit pun. Tetapi kemudian, ia mengangguk juga. Menuruti permintaanku yang bahkan menyuruhnya untuk meninggalkan si boneka beruang di atas ranjang.

Sekarang rasa penasaranku sudah terjawab. Teddy tidak seistimewa itu hingga layak disebut benda pembawa keberuntungan. Ia hanyalah boneka biasa yang menjadi saksi bisu kepergian kami berdua. Aku dan Luna.

“Jangan cemas. Aku janji kita akan sering-sering mengunjungi bonekamu dan bermain seperti biasanya. Hanya saja ….”

“Apa?”

Aku menyunggingkan senyum, lantas meraih pelan tangan Luna yang tak lagi gemetar. “Kita bisa melakukannya saat malam hari saja, sebelum fajar menyingsing. Tidak masalah, kan?”(*)

Malang, 30 Desember 2018.

Tentang Penulis:

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: wahyutriandira1@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata