Teman Bermain Dedek

Teman Bermain Dedek

Teman Bermain Dedek

Oleh: Noery Noor

“Dek! Dedek di mana?” panggilku sambil mengitari halaman rumah. Di halaman samping, depan bahkan belakang rumah aku tak menemukan sosok bocah berusia tiga tahun yang biasa bermain masak-masakan di dekat tangga yang tersandar samping rumah.

Baru saja aku mendengar celotehnya di sini. Begitu cepat ia menghilang.

Segera aku berlari ke jalan. Barangkali Dedek ada di sana.

“Lihat Dedek?” tanyaku pada Vania yang sedang bermain di dekat rumah. Bocah seusia Dedek itu cuma menggeleng. Matanya yang polos menatapku kemudian berlari menjauh.

“Lihat Dedek?” tanyaku pada Toni yang sedang bermain sepeda.

“Tadi bermain di situ,” katanya sambil menunjuk tangga yang tersandar di dinding.

Iya, aku tahu … memang tadi kudengar suara Dedek bercerita di sana.  Entah dengan siapa.

“Biasa, Bun … anak-anak memang suka sekali berkhayal seolah-olah dia berbicara dengan seseorang. Hampir semua anak seperti itu,” demikian penjelasan guru playgroup-nya saat aku menceritakan keadaan Dedek.

Sejak itu aku jadi terbiasa, membiarkan Dedek bermain dengan teman imajiner-nya.

“Bunda … aku di sini… Bunda tidak lihat, ya? Dari tadi aku di sini, loh!” sebuah  celoteh terdengar di belakangku. Ia muncul begitu saja setelah aku lelah mencari di sekeliling rumah.

Aku kaget, tapi bahagia. Dari mana makhluk berkuncir dua ini muncul?

Segera kusambut dia dengan pelukan. Memberinya beberapa pertanyaan dengan gemas. Dedek hanya tertawa-tawa saat aku gelitik dan kuciumi perutnya.

Sejak itu, aku tak lagi mencemaskannya, bila tiba-tiba bocah itu menghilang. Namun hari ini sudah begitu sore saat Dedek belum juga kembali. Aku bahkan menelpon Mas Fariz agar segera pulang.

Kami segera mencari di sekeliling rumah. Dedek tidak juga ditemukan.

“Biasanya dia akan kembali menjelang sore, Mas. Sebelum waktu asar pasti sudah pulang,” kataku bercampur tangis.

Beberapa tetangga mendekat. Sambil menangis kuceritakan kebiasaan aneh buah hatiku itu akhir-akhir ini.

“Anak saya dulu juga begitu, Bu … bisa berjam-jam ngobrol entah dengan siapa. Kalau ditanya katanya itu temannya,” Bu Mimin menceritakan pengalamannya sewaktu Erin masih kecil, ”tapi memang tidak pernah sampai menghilang,” lanjutnya lagi.

Hingga malam Dedek tidak juga di temukan. Aku semakin gelisah dan khawatir seandainya terjadi sesuatu pada anak itu.

Dedek masih kecil. Bocah ceria itu tidak pernah pergi jauh dari rumah kecuali bersamaku.

“Dedek … Kamu di mana, Sayang?” aku melolong perih karena kehilangan. Aku merasa sangat putus asa.

Para tetangga saling berbisik, mungkin Dedek sudah menjadi korban penculikan. Berkali-kali dugaan seperti itu terlintas di pikiranku. Tapi kurasa itu tak mungkin. Rumah kami ada di sebuah gang sempit. Rumah-rumah saling berhimpit, ada banyak warung nasi di sepanjang jalan, karena ini komplek kos-kosan anak sekolah.

“Pak Fariz, mari kita lapor polisi saja. Barangkali mereka bisa membantu,”  akhirnya Pak Ketua RT mengambil langkah setelah sampai malam Dedek belum kembali. Mas Fariz menyetujui dan mereka segera pergi meninggalkan aku bersama beberapa tetangga yang menemaniku.

Hingga esok paginya Dedek tak juga kembali. Hatiku semakin terasa perih. Takut sesuatu telah terjadi dan menimpa dirinya. Seharian tak henti aku menjerit memanggil-manggil dia supaya kembali.

“Bunda tidak akan marah, Nak … kembalilah, Dek!” aku tak henti memanggilnya.

Antara percaya dan tidak, tiba-tiba aku melihat Dedek bermain di dekat tangga itu.

“Dedek!” seruku riang sambil berlari untuk memeluknya.

Namun … bayangan Dedek tiba-tiba menghilang. Aku tertegun dan kecewa. Kembali aku menjerit histeris. Beberapa tetangga memegangi tubuhku, dan membimbingku kembali ke rumah.

Apakah aku hanya berhalusinasi? Mungkin aku frustrasi, stres atau bahkan depresi karena kehilangan Dedek, putri semata wayang kami. Bocah yang lucu dan menggemaskan tingkahnya.

Mutiara hati Ayah dan Bunda, kamu di mana, Nak?

Airmataku seolah mengering. Hatiku terasa kosong dan hampa. Hati seperti tersayat sembilu. Tak ada kesedihan yang lebih dalam selain hati seorang ibu yang kehilangan anaknya.

“Dedek … Dedek …,” panggilku berulang-ulang dengan suara yang kian lirih, karena hanya memanggil dan memanggil namanya, itulah yang bisa aku lakukan.

Hari kedua Dedek belum juga ditemukan.

Beberapa kali aku melihatnya bermain di dekat tangga itu, namun selalu menghilang saat aku dekati.

“Berdoa, Ti … semoga Dedek segera ditemukan,” nasihat Ibu yang datang dari kampung untuk menemaniku.

“Aku yakin dia ada rumah ini, Bu,” kataku sambil menatap wajah Ibu. Ibu mengelus keningku untuk menenangkan hatiku yang makin tak karuan. Rasa kecewa, marah dan menyesal teraduk jadi satu.

Berkali-kali mataku melirik ke arah tangga di samping rumah. Berharap Dedek ada di sana.  Bocah itu biasanya betah berjam-jam bermain di sana, bercerita bahkan tertawa-tawa riang. Sore hari sambil mandi ia akan bercerita padaku tentang teman bermainnya itu.

“Namanya Sekar, dia tinggal dekat sini,” kata Dedek pada suatu sore saat aku memandikannya.

“Dedek pernah ke sana?” tanyaku iseng.

“Sering …,” jawab Dedek sambil memercikkan air ke wajahku. Aku tertawa karenanya. Lalu aku balas dengan memercikkan air ke wajahnya.

“Mengapa Bunda tertawa? Bunda tidak percaya, ya?” rajuk Dedek. Aku semakin tergelak karenanya.

Tapi semua itu seolah tinggal kenangan. Tak akan ada lagi celoteh lucu atau cerita  tentang sahabatnya.

Kembali aku turun ke halaman. Kutatap tangga itu dengan tatapan kosong. Tak ada Dedek yang bermain di sana. Tak ada lagi kisah berbagi mainan dengan sahabatnya itu.

Sepi ….

Saat memegang tangga itu aku jadi berpikir, mungkinkah Dedek memanjat tangga itu, lalu bersembunyi di sana? Atau terjadi sesuatu sehingga dia tidak bisa turun?

Sekali lagi kuamati tangga itu dengan cermat. Anak tangganya terlalu panjang. Kaki Dedek yang mungil takkan mungkin bisa menjangkau anak tangga di atasnya. Berkali-kali aku meminta Mas Fariz untuk menyingkirkan anak tangga itu.

“Biar saja, toh Dedek tidak mungkin bisa memanjatnya,” kilah Mas Fariz saat itu.

Tidak mungkin Dedek naik ke sana, tegasku dalam hati.

“Bunda … aku di sini … Bunda tidak lihat, aku ya?” tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku.

Jlebbb!! Aku kaget.

Bocah berkuncir dua itu tiba-tiba muncul di belakangku. Mataku nanar melihatnya. Jelas, nyata. Itu Dedek!

“Bunda ini Dedek.”  Aku masih berdiri mematung. Ragu untuk bergerak. Pasti ini hanya halusinasiku saja. Dia akan menghilang begitu aku mendekat.

Pandangan mataku terasa kabur. Ada rasa yang membuncah dalam diriku. Rasa senang yang tak bisa aku lukiskan.

Tidak! Aku tidak akan mendekat.  Aku  ingin  tetap menatap wajah itu. Aku tak ingin Dedekku menghilang lagi.

“Dedek …,” panggilku lirih, takut dia menghilang.

Tak kusangka kaki-kaki kecil itu mendekat. Tangan lembutnya memegang tanganku. Baru aku sadar ini bukan halusinasi. Ini Dedekku!

“Dedek!” panggilku histeris sambil meraih tubuh montok itu dan membawanya ke dekapan.

Ini benar Dedek.

Aku bisa memeluk dan menciumnya. Aku bisa mengendongnya lagi. Sambil kupeluk erat-erat Dedek aku bawa masuk. Ibu keluar dengan tergopoh-gopoh. Matanya nanar menatapku. Tapi aku tak peduli.

Dedek aku bawa masuk ke kamar. Aku rebahkan di ranjangnya. Wajahnya tampak begitu lelah. Sedikit pucat dan terasa dingin. Tentu saja, sudah dua hari dua malam dia tidur di luar. Pasti lapar dan kedinginan.

“Sadar, Ti, itu bukan Dedek. Itu pakaian Dedek yang tadi Ibu jemur…,” suara Ibu terdengar memelas mengelus pundakku.

Aku tertegun menatap ranjang yang kosong, tak ada Dedek di sana. Hanya sehelai pakaian milik Dedek yang terhampar di sana.

Aku menjerit histeris sambil menciumi baju itu.

Ibu membujukku agar tenang lalu  membawaku duduk  tepi ranjang.

“Tenangkan dirimu, Ti. Ini cobaan buatmu.  Berdoalah semoga Dedek segera ditemukan,”  Ibu terus membujukku.

“Dedek di mana,Bu?” serak suaraku di antara isak tangis. Kupeluk Ibu seperti saat  aku masih kecil dan kehilangan boneka yang disembunyikan kakakku.

“Di mana pun dia berada semoga dia sehat dan dalam lindungan-Nya,” Ibu menasehatiku, “tenangkan hatimu. Perbanyak salat dan doa.”

Kuucap istighfar beberapa kali, hingga aku merasa lebih tenang.

“Peristiwa ini terjadi di rumah Ibu, saat Dedek bersama Ibu, jadi Ibulah yang paling tahu apa yang sebenarnya terjadi,” seorang polisi wanita sore itu mendatangiku.

“Jadi Ibu mencurigai saya sengaja menghilangkan anak saya sendiri? Astaghfirullah haladzim,” seruku menahan marah.

“Maaf bukan itu maksud saya. Dua bulan yang lalu ada sebuah keluarga yang menempati rumah ini. Mereka mempunyai anak seusia putri Ibu. Anak tersebut dikabarkan hilang. Tak lama setelah itu mereka pindah dari sini lalu keluarga Ibu menempati rumah ini.”

Sejenak aku tercenung mendengar cerita polisi wanita itu. Lalu apa hubungannya dengan hilangnya Dedek. Karena mereka sama-sama menghilang? Memang benar, baru dua bulan kami menempati rumah ini. Kami pindah ke sini karena Mas Fariz mendapat pekerjaan baru dekat dengan rumah ini. Selama ini tak pernah ada kejadian aneh. Dedek bermain sepanjang hari dengan ceria. Sepulang dari playgroup dia akan bermain di dekat tangga itu seharian. Sambil bercakap-cakap, bahkan bercanda dengan seseorang. Dia akan berhenti saat mendengar suara azan Zuhur untuk makan siang dan minum susu, lalu ikut-ikutan aku salat Zuhur. Setelah itu akan kembali bermain di sana sampai saat asar tiba.

Dua orang polisi laki-laki mencoba memanjat tangga itu. Aku bersama Ibu mencoba naik lewat tangga yang ada dalam rumah.  Meskipun ragu, aku tetap membantu kedua polisi tersebut. Kucari sakelar lampu yang terhubung ke ruang itu, namun tak kutemukan

Selama ini aku  tak memperhatikan ada ruangan di atas dapur. Lagi pula kami tak pernah punya kepentingan untuk melihat tempat itu. Kesibukanku dan Mas Fariz membuat kami tidak sempat membersihkan atau sekadar memeriksa ruangan-ruangan di rumah yang kini aku tinggali.

Akhirnya aku temukan senter yang biasa digunakan Mas Fariz  saat ronda.

Bersama Ibu aku menaiki anak tangga menuju ke loteng. Para polisi itu sudah lebih dulu sampai di atas. Senter aku arahkan ke setiap sudut ruangan. Dan di salah satu sudut….

Heghh…

Jantungku serasa berhenti berdegup. Gaun pink dan pita merah….

“Itu Dedek…” seruku tertahan. Ibu menahanku agar tak berlari mendekati Dedek. Terlintas dalam hati sebuah keraguan, bisa jadi itu bukan Dedek, seperti kejadian yang sudah.

Dengan cepat kedua polisi segera berlari ke arah yang aku tunjuk.

“Tidak ada apa-apa. Hanya gaun pink dan pita merah,” kata salah satu polisi itu.

Aku dan Ibu berpandangan. Pasrah. Di mana pun kau berada, semoga Allah selalu melindungimu, Dek. Dalam hati aku terus berdoa.

Aku sudah jauh lebih tenang. Aku sudah pasrah, meskipun takkan pernah siap menghadapi situasi terburuk.

“Kalau ada perkembangan silakan Ibu menghubungi kami,” kata polisi wanita itu simpatik. Ikut prihatin.

Aku mengangguk. Lelah, lesu dan tanpa semangat.

Sudah dua kali polisi bolak-balik memeriksa loteng di atas dapurku. Aku tak tahu  apa yang mereka cari di sana. Berkali-kali pula aku dimintai keterangan. Aku jawab seperti yang aku bisa. Mereka seolah-olah mencurigaiku telah dengan sengaja menghilangkan Dedek.

Ada sebersit rasa marah bila aku mengingatnya, meskipun kemudian segera tenggelam dalam kesedihanku.

Aku sendiri sudah pasrah dan menerima apa pun yang terjadi sebagai bagian hidup yang harus aku jalani. Rasa penyesalan diam-diam sering menyelinap dalam hatiku. Andaikan  bisa menjaganya dengan lebih baik, mungkin hari ini aku masih bisa bersama Dedek. Namun demikian air mata masih sering menetes, atau bahkan meluncur deras diantara malam-malamku saat aku terbangun dan Dedek tidak kutemukan di sampingku. Sesekali aku merintih sambil memanggil namanya.

Kenangan hari-hariku bersama Dedek  bagai sembilu yang mengiris jantungku. Setiap sudut rumah ini mengingatkan aku pada Dedekku. Celotehnya yang lucu sering membuatku tergelak-gelak sampai meneteskan air mata. Tapi semua itu kini tinggal kenangan yang semakin menyakitkan setiap aku mengingatnya.

“Bunda bersabarlah,” bujuk Mas Fariz pada suatu sore.

Sudah dua kali polisi bolak-balik memeriksa loteng di atas dapurku. Aku tak tahu  apa yang mereka cari di sana. Berkali-kali pula aku dimintai keterangan. Aku jawab  yang aku bisa. Mereka seolah-olah mencurigaiku telah dengan sengaja menghilangkan Dedek.

Tetangga pun mulai saling berbisik tentang hilangnya Dedek. Akhir-akhir ini banyak anak meninggal akibat kekerasan yang dikabarkan hilang, tak jarang  pelakunya keluarganya sendiri.

Ada sebersit rasa marah saat mengingatnya. Tetapi akan segera tenggelam dalam kesedihanku.

Namun sosok Dedek tak juga kutemukan.

Pagi itu kepala polisi itu kembali menemuiku. Aku terkejut saat mereka memintaku untuk datang ke kantornya.

“Aku ditangkap?”  tanyaku pada Mas fariz. Mas Fariz hanya menatapku, tanpa bisa kubaca makna tatapannya. Bahkan dia tak berusaha untuk melindungiku.

“Kami hanya ingin meminta keterangan lebih detail tentang Dedek,” kata polisi wanita itu padaku.

“Ibu menuduh saya?” tanyaku meradang.

“Nanti kita bicarakan lebih lanjut di kantor,” jawabnya datar. Karena kesibukannya di kantor, Mas Fariz tidak bisa mendampingiku.

“Sabar, Ti. Semua ini cobaan buatmu,” kata Ibu sambil memelukku.

Aku tak pernah berpikir akan seperti ini jadinya. Kesedihan yang mendalam karena berpisah dengan Dedek belum menghilang. Lebih menyakitkan lagi kini semua orang mengira akulah pelakunya.

Aku merasa benar-benar lelah. Lelah lahir batin.

Dedek, kembalilah untuk Bunda, Sayang … kalaupun telah terjadi sesuatu denganmu, Bunda hanya ingin bersamamu. Bunda hanya ingin meringankanmu. Menyeka peluhmu, atau air matamu. Menidurkanmu dalam buaian Bunda, Sayang … Bunda ingin Dedek Kembali.

Aku baru mau merebahkan tubuhku di kursi teras rumah saat siang itu sebuah mobil berhenti di depan rumahku.

Pintu terbuka, dan sepasang suami istri keluar dari mobil. Aku menatapnya ramah, tanpa semangat.

Jantungku berdetak kencang saat seorang bocah seusia Dedek turun dari dalam mobil. Aku menatapnya lekat. Mungkin itu bukan Dedek, tapi setidaknya aku bisa menikmati wajah itu lagi. Wajah dan kucir dua itu mirip Dedek. Tangan mungil yang memeluk leher laki-laki itu  mirip tangan Dedek! Itu Dedek!

Aku masih berdiri mematung di teras, saat sepasang suami-istri itu tepat di hadapanku. Mereka saling berpandangan, heran.

“Bunda …,” kudengar suara itu, suara Dedek. Kusambut uluran tangannya, meskipun penuh ragu.

Airmataku berjatuhan saat aku rasakan hangat tubuh bocah itu bersentuhan dengan kulitku.

“Bunda, mengapa Bunda menangis? Marah sama Dedek?”

Tak ada kata atau suara yang keluar dari tenggorokanku. Hanya kueratkan pelukanku dan kuciumi wajah yang selama ini kurindukan. Tangannya yamg halus menyentuh kulit wajahku, mengusap air mataku yang terus berjatuhan.

“Ini Dedek?”  akhirnya keluar juga kata-kata itu.

“Bunda lupa?” tanya Dedek dengan wajah ketakutan.

“Ini benar Dedek?” tanyaku masih ragu. Kini dia tampak kebingungan.

“Ini Dedek, Ti … Ini Dedek,” suara Ibu menyadarkanku. Entah perasan apa sedang berkecamuk dalam hatiku dalam hatiku. Bersyukur, senang, bahagia atau entahlah aku tak tahu.

“Maaf Bapak dan Ibu ini siapa?” tanya Ibu sambil mempersilakan mereka untuk duduk.

“Kami dulu pernah tinggal di rumah ini, Bu,” kata wanita yang  duduk di depanku. Sejenak kami saling bertatapan.

“Dedek selama ini ke mana saja, Sayang?” tanyaku hati-hati sambil menciumi wajah polosnya.

“Ke rumah Sekar,” jawab Dedek sambil memainkan bonekanya.“Boneka ini milik Sekar Bunda, boneka ini dia berikan padaku.”

“Dedek?” aku menatapnya, dengan maksud memperingatkan.

“Biar saya jelaskan, Bu,” kata wanita itu menyela.

“Sebelum rumah ini Ibu tempati, dulu kami yang tinggal di sini. Kami punya putri seusia Dedek.” Aanita itu berhenti sejenak. Sebutir air mata jatuh di pipinya yang kuning langsat. Dia menghela napas panjang.

Hening.

Kami semua tercekat. Dedek berlari ke luar, di tempat biasa bermain.

“Tapi dia sudah tidak ada.” Wanita itu berhenti lagi. Air mata kini meluncur deras di pipinya. Aku bisa merasakan kesedihan itu.

“Suatu saat ia memanjat tangga di samping rumah ini dan terjatuh. Lalu meninggal. Jenazahnya kami kuburkan dekat tangga itu. Karena kami warga baru, jadi belum banyak bergaul dengan warga di sini.”

Aku menoleh ke arah tangga yang bersandar di dinding, tempat Dedek biasa bermain. Bulu kudukku tiba-tiba meremang. Kulihat Dedek sudah asyik bercakap-cakap dengan sahabatnya.

“Beberapa hari yang lalu kami menemukan putri Ibu di ujung jalan ini. Karena kami tergesa-gesa, dia kami bawa pulang. Dia tidak ingat di mana rumahnya, kami juga sudah berusaha untuk mencari rumahnya, tapi karena tidak ada petunjuk yang jelas baru kali ini bisa kami temukan, itu pun karena istri saya ingin sekali menengok rumah ini,” Ayah Sekar menjelaskan.

Aku hanya manggut-manggut mendengarnya. Tanpa sengaja kutatap tangga itu, Dedek sudah kembali asyik bermain dengan Sekar, sahabatnya.(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita