Telaga Angker dan Mimpi Pertamaku

Telaga Angker dan Mimpi Pertamaku

Telaga Angker dan Mimpi Pertamaku
Oleh : Gloria Pitaloka

Talaga Arum, orang menyebut nama telaga angker itu. Letaknya di ujung barat desaku, tepatnya di kampungku. Lokasinya di antara perbatasan kampung dan hutan di kaki bukit Angsana, tak jauh dari gunung Hitam yang sangat terkenal keangkerannya.

Nenek selalu melarangku pergi ke sana. Padahal, tempat itu adalah satu-satunya tempat yang membuatku gembira dan melupakan kesedihan setiap pulang sekolah. Saat teman sekolahku mengejek aku anak miskin dan tak punya ayah-ibu, maka ke sanalah aku melarikan dan menghibur diri.

Seperti juga saat ini. Setelah perkelahian di sekolah aku sudah melompat ke dalam telaga. Airnya sangat jernih, ikan-ikan pun terlihat dengan jelas. Sangat banyak dan tak ada yang berani mengambilnya. Karena itu mereka terpelihara hingga tua, sampai ada yang ukurannya sebesar bayi.

Benar saja, dinginnya air danau yang menerpa kulitku dapat segera menghapus duka di hatiku. Namun, tidak dengan lukaku. Rasa lapar karena sejak pagi tak ada sarapan yang kumakan, membuat tangan terampil ini menangkap mereka dengan tangan begitu saja. Terkadang menggunakan ayakan, tentu saja aku menangkapnya hanya pada ikan yang terjebak di antara semak-semak air. Mereka kecil-kecil, tetapi cukuplah untuk mengganjal perutku yang lapar.

Bau gurih daging ikan yang terbakar membuat perut berbunyi dan air liurku nyaris menetes. Wangi dan terlihat enak. Daging putih ikan yang merekah matang, tampak mengepulkan asap. Aku tak sabar dan mencomotnya dengan jari telanjang. Panas! Aku meniup-niupnya dan memakan perlahan. Tak sia-sia garam dan cabe yang kupisahkan tadi pagi di dapur nenek.

Satu ikan sebesar telapak tangan orang dewasa, cukuplah membuatku kenyang sampai nanti malam. Sebagai makanan penutup, buah ciplukan, arbei, dan berry liar lainnya, serta daun mint yang kupetik di semak sekitar telaga, mampu menghilangkan bau amis di mulutku. Beberapa biji kusisisakan untuk adikku semata wayang, Caca, yang selalu menunggu di rumah. Mata beningnya yang selalu membuatku ingin menyerahkan barang sebiji-dua biji permen atau cokelat. Namun, jajanan itu tak bisa setiap hari aku beli karena tak ada uang. Maka, buah liar hasil perburuanku sepanjang jalan pulang dan sekitar telaga adalah hadiah berharga untuknya. Aku selalu merasa puas melihat matanya berbinar-binar menerima buah liar dengan senyum ceria. Dia akan memakannya lamat-lamat agar lebih lama habisnya. Begitulah, caranya menikmati pemberianku.

Dua ekor ikan gabus yang sudah ditusuk insangnya dengan batang rumput, tergeletak begitu saja di atas rerumputan. Dua ekor, cukuplah untuk membuat nenek dan Caca tak kelaparan semalam. Mereka tak pernah curiga dari mana aku menangkap ikan karena tak ada yang tahu aku bermain di telaga yang nyaris tak pernah disambangi orang. Aku pun pernah mengatakan mendapat ikan dari sungai di tepi sawah ketika aku pertama kali menangkap ikan. Benar adanya waktu itu. Aku tidak pernah berbohong. Dan sepertinya sampai saat ini mungkin nenek masih percaya padaku. Jadi, ya sudahlah kubiarkan saja begitu. Selama beliua tak bertanya, aku perlu menerangkan dari mana ikan itu berasal.

Saat aku akan beranjak sambil menenteng ikan yang terikat itu, aku melihat kecipak seekor ikan berwarna keemasan terjebak di antara rumput yang batang bawahnya terendam air.

“Ikan emas besar?” Bukankah itu ikan larangan yang dibilang nenekku? Ikan siluman! Aku heran mengapa ada ikan besar terjebak di sana. Biasanya mereka hanya hidup di tengah danau.

Warna sisik keemasan pada ikan itu sangat menarik perhatianku. Kuperhatikan saja. Tak ada niat menangkapnya. Rupanya dia terjebak semak. Maju kena, mundur kena. Untuk beberapa saat aku hanya mengamatinya. Bagiku ikan itu sangat unik dan lucu. Dia seakan kebingungan. Matanya yang besar menatapku seakan-akan meminta pertolongan, sedang mulutnya mangap-mangap.

Aku tertawa dalam hati. Matanya itu, sangat bening mengingatkanku pada Caca. Kulitnya sangat bersinar, ekornya juga sangat indah. Warnanya kuning semua. Biasanya ikan emas ada warna merah-merah pada siripnya. Ekornya bergerak-gerak seperti ekor anak anjing yang pernah kutemukan. Lucu.

“Hei, ikan, apa kamu butuh pertolongan?”

Ikan itu hanya bergerak-gerak seakan-akan mengerti ucapanku. Kata guru ngajiku, binatang pun berzikir dan memahami bahasa manusia, hanya saja manusia yang tak mampu memahami mereka. Benarkah?

“Hei ikan. Kamu terlihat sendirian dan kesepian sama seperti aku. Kamu tak punya teman, ya?”

Ikan itu bergeming.

“Kamu tahu, sendirian itu menyedihkan. Apa kamu tak punya orangtua juga?”

Hah, apa ikan benar-benar mengerti ucapanku?

“Aku tak punya orangtua. Dan itu membuatku dihina teman sekolahku.”

Aku menghela napas.

“Kamu bertanya bekas luka ini?” Hah, aku sudah gila rupanya mengajak ikan mengobrol. “Ya, luka ini kudapat karena mereka tak suka seorang anak tak berayah-ibu dan miskin sepertiku menjadi teman mereka.”

Suarana sekitar telaga terasa sangat hening hingga kecipak ikan itu terdengar jelas.

“Kita senasib.” Aku menghela dan mengembuskan napas.

“Hei, karena kita sama, maukah kamu menjadi temanku?”

Benar. Aku benar-benar sudah gila! Mengajak seekor ikan bicara keresahanku. Namun, tanpa diduga ikan itu bergerak-gerak terlihat seakan-akan mengangguk-angguk menyetujui sambil menatapku seakan-akan dia paham.

“Hah.Terima kasih, ikan. Meskipun kamu tidak paham, dan aku juga sama, tetapi kamulah teman pendengarku yang pertama.”

Kemudian aku terdiam cukup lama. Ikan itu bergerak-gerak kembali. Sebagian batang rumput bergoyang-goyang karena gerakannya.

Lama-lama aku kasihan melihatnya terbelit di antara batang rerumputan itu. Di sana airnya dangkal. Tentu tak akan menyenangkan dengan badannya yang besar jika ia terjebak di sana jika air telaganya surut. Bisa-bisa ikan itu mati begitu saja.

“Ikan, aku akan menyelamatkanmu.” Perlahan tanganku mengangkatnya. Ikan itu bergerak-gerak lincah dan terasa licin.

“Diamlah, aku tidak akan membunuhmu.”

Kutangkap ikan emas itu. Tubuhnya terasa licin dan berbau amis. Warna keemasannya terlihat jelas tertimpa sinar matahari hingga berkilauan saat aku mengangkatnya ke atas.

“Seandainya kamu emas, mungkin bisa kujual untuk beli baju Caca,” gumamku.

Ikan itu lagi-lagi hanya menatapku. Mulutnya masih mangap-mangap. Kuletakkan dengan hati-hati di tepi telaga yang airnya cukup dalam dan tak ada rumputnya.

“Nah, sekarang pergilah. Jangan terjebak lagi.”

Seakan-akan mengerti, ikan itu bergerak-gerak perlahan, berenang berputar-putar lalu berbalik menatapku. Ikan yang aneh.

“Kamu tak pergi?” Dia hanya berenang-renang.

“Kamu mau mengucapkan terima kasih padaku?”

Entah mengapa hanya itu yang terpikirkan olehku. Heh, aku mungkin sudah gila. Masa ikan mengerti bahasa manusia? Akan tetapi, ikan itu berenang maju mundur membuatku ternganga.

“Kamu ikan yang aneh. Benar-benar aneh.”

Mata ikan itu bergerak-gerak kembali.

“Sudahlah, pergi sana. Kalau umurku dan umurmu panjang, kita akan bertemu lagi.”

Aku bergegas meninggalkannya. Tak ingin menoleh-noleh lagi, karena warna dan sisiknya sangat memikat. Begitu juga tingkah lakunya. Sangat aneh.

Setiba di rumah, Caca menyambut oleh-olehku dengan gembira. Nenek tersenyum dan segera membuat api dan menyiapkan cabe hijau kecil, biji merica, dan garam. Nenek akan membuat cobek ikan bakar kesukaanku!

Malam hari aku bermimpi, ikan emas itu menjelma menjadi sesosok ratu yang sangat cantik. Namun, hanya setengah badan saja ke atas. Bagian bawahnya ekor yang bersisik. Akan tetapi bukan ekor ikan, lebih tepatnya ekor ular yang sangat panjang berwarna keemasan. Makhluk itu tersenyum manis meskipun terlihat sangat mengerikan karena setengah siluman. Namun, anehnya aku tidak merasa takut. Malah merasa nyaman dan ingin memeluk dan menciumnya.

“Kamu boleh mencium dan memelukku, Kun. Karena aku adalah istrimu, milikmu.”

Hah? Apa yang dia katakan?

Kemudian dia mengatakan jika aku adalah suaminya sejak saat aku menyentuhnya dan memperkenalkan diri sebagai ratu ular dan akan menjaga serta melindungi seumur hidupku.

“Ra-ratu ular?” Ja-jadi di bukan ikan emas, ya?

Kemudian aku terbangun dengan kain sarungku yang basah dan teriakan Caca mengatakan aku ngompol. Sialan, padahal aku sudah besar tapi kok bisa ngompol?(*)

Titimangsa: Lembang, 20 November 2021

Gloria Pitaloka, penyuka petrikor, bunga lili dan senja. Suka menulis tentang budaya lokal.

Editor : Uzwah Anna

Gambar : https://pin.it/31JMbmh

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply