Tekanan Ketika Menulis

Tekanan Ketika Menulis

Tekanan Ketika Menulis
Oleh: Fitri Fatimah

Di tulisan saya yang sebelumnya saya mengakui bahwa lebih suka membaca daripada menulis, karena jelas membaca lebih mudah, karena menulis memiliki banyak tantangan, karena menulis juga butuh teknik, teori, dan semacamnya, dan semacamnya … dan semacamnya ini sering menggerogoti pikiran. Dia muncul menjadi pikiran-pikiran negatif yang membuat kegiatan menulis jadi terasa berat dan sulit. Dia membuat apa yang awalnya kita niatkan sebagai cara menuangkan pikiran jadi terasa tidak santai lagi … membuat kita tertekan.

Adapun beberapa hal yang menjadi tekanan yang membuat kegiatan menulis jadi tidak mengasyikkan lagi, yang membuat—baru juga dimulai tapi sudah mandek pada paragraf awal, antara lain:

  1. Takut jelek

Sebenarnya takut tulisan jelek ini selain buah pikiran dari berkecil hati juga merupakan pengaruh dari sifat takabur (sombong), karena belum-belum kita sudah berpikir jauh ke depan, ke ketika nanti ada pembaca yang membaca tulisan kita, dan kita mengharapkan (atau bahkan mengharuskan) tulisan kita bagus dan bisa memuaskan mereka, mendapat pujian mereka. Lebih baik jangan berpikiran jauh dulu kalau itu hanya akan jadi tekanan. Lebih baik menulis saja dengan mindset itu hanya akan jadi konsumsi pribadi, seperti menulis diary, dan kita dibebaskan untuk menulis sejelek-jeleknya, seberantakan dan setidakteraturnya, yang penting menulis dulu, menulis tanpa beban. Soal jelek dan berantakan itu urusan belakangan, serahkan pada proses editing.

  1. Kesulitan membuat prolog

Kita sudah tahu ceritanya mau dibawa ke mana, plotnya sudah kita rancang dengan lengkap di kepala, kita hanya tinggal menuliskannya. Hanya tinggal menuliskannya, dan blekk, mandek di prolog. Karena jujur kalimat pembuka juga tak kalah pentingnya dengan inti cerita. Prolog adalah gerbang, dan seringnya, pembaca ketika membaca menilai dari prolognya dulu. Kalau prolognya menarik, bagus, maka dilanjutkan, kalau tidak maka pindah ke cerita lain. Dan prolog menjadi sulit untuk dibuat bukan hanya karena penulis ingin perfeksionis dan membuat awalan yang se-wah mungkin, tapi karena memang, untuk memulai sesuatu kita kadang tidak tahu bagaimana cara memulainya, kita tidak tahu padanan kata yang tepat untuk memulainya. Maka, mulai saja. kalau memang kita kebingungan untuk membuat prolog, sementara plot sudah ada, maka mulai saja langsung dari konflik. Tidak perlu pembuka yang bertele-tele kalau kita bisa langsung ke intinya. Atau apa hal pertama yang muncul di pikiran, jangan berpikir banyak lagi, jangan terlalu banyak menimbang, ambil dan langsung tuliskan.

  1. Perfeksionis

Tak ada yang salah dengan menjadi perfeksionis. Tapi kalau itu kemudian menghambat kita untuk menulis produktif, membuat kita berlarut-larut dalam satu tulisan tanpa banyak melakukan kemajuan, atau bahkan menjadi tekanan, maka mungkin kita harus sedikit let it go. Guru saya pernah berkata seperti ini, otak itu seperti arit, arit apabila sering digunakan/diasah, maka ia akan semakin tajam. Dan sama halnya seperti menulis, apabila sering dilatih setiap hari, ia akan menjadi kebiasaan, kita akan terampil. Kalau kita menulis lalu mandek di tengah, itu berarti kita belum terampil, tapi baru bisa. Jadi mungkin kalau kita sangat bertekad menjadi perfeksionis, kita harus lebih dulu terampil, harus lebih dulu melatih menulis terus menerus, dimulai dari tulisan acak-adut penuh cela dan dosa, lalu hari demi hari, kalau kita istikamah/konsisten, tulisan itu akan berkembang menjadi lebih bagus, semakin bagus, hingga akhirnya sangat bagus. Lalu kemudian, menjadi perfeksionis tak akan lagi sulit.

 

Fitri Fatimah, lahir di Sumenep, 1996. Suka membaca dan mencoba menulis. Menulis baginya akhir-akhir ini tak bisa lepas dari kopi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply