Tekad yang Berkarat

Tekad yang Berkarat

Tekad yang Berkarat

Oleh: Erlyna

Terbaik ke-6 Tantangan Lokit 13

Sebuah tangan kekar menyentuh tanah. Pemiliknya berlutut, memeriksa tubuh di depannya dengan saksama. Ia meraba dada yang dipenuhi darah, sebelum akhirnya sepasang penjepit yang baru saja dimasukkan, mencabut peluru dari salah satu lubang di sana.

“Angkut!”

***

Asap! Sejauh mata memandang yang terlihat hanya asap. Bahkan kehidupan manusia yang digadang-gadang telah memasuki era teknologi, seperti hilang dari pandangan. Kemanusiaan sendiri telah ditelan bulat-bulat oleh kegelapan yang membuat dada sesak.

Rombongan tentara berjalan sambil menyokong senjata. Mata mereka menatap sekeliling, bersiaga terhadap sisa-sisa penduduk nekat yang masih terus mencoba melawan. Sementara itu, di balik sebuah gedung yang bagian atasnya telah hancur, Atai mengencangkan ikatan di kepala dan lengan kiri. Napasnya memburu, dengan sorot mata tajam.

Dipandangnya sekali lagi anggota kelompok yang semakin sedikit. Bahkan pasukan kiriman dari sahabat yang kemarin diselundupkan diam-diam, tidak banyak membantu. Sistem pemerintahan yang baru, benar-benar membuat laki-laki berusia 30 tahun itu gila.

“Kalian siap?”

Atai menatap kelompoknya sekali lagi. Kemudian laki-laki itu menunduk, mengingat potret-potret jahanam yang dilakukan pemerintah sableng. Tanpa ampun, para tentara utusan pemerintah melemparkan bom ke kawasan padat penduduk dengan wajah semringah tanpa dosa. Penduduk yang tidak bersalah, dihabisi tanpa hati.

“Ayo kita—”

Atai belum menyelesaikan perkataannya, saat tiba-tiba sebuah tangan menahannya.

“Jangan!”

“Kenapa?”

“Kita harus mundur. Pasukan kita butuh istirahat.”

“Keadaan negeri kita sudah seperti ini dan kamu menyuruhku beristirahat?”

“Setidaknya kita perlu mengumpulkan tenaga.”

“Diam kamu! Jangan menghalangiku. Jika mereka tidak ikut, aku akan maju sendiri.”

“Jangan bodoh! Kamu bisa apa di hadapan ratusan senjata yang siaga itu? Bunuh diri?”

“Setidaknya aku bukan pengecut sepertimu!”

“Tunggu, Atai! Jangan jadikan pengorbanan Ibu dan adikmu sia-sia. Kita tidak boleh mati, kita harus bertahan. Kita harus mencari bantuan.”

Seketika lutut Atai lemas. Emosinya yang sejak tadi meluap-luap kini bersiap menumpahkan tangis. Matanya yang mulai basah dipenuhi bayangan penuh darah. Darah yang berasal dari dada Ibu dan adik perempuannya. Mereka berdua mati. Mereka mati demi melindungi dirinya.

“Tenang, Atai. Kita harus tenang. Jangan bertindak gegabah.”

“Kenapa? Kenapa mereka harus mati, Bim? Kenapa bukan aku? Kenapa harus mereka?”

“Karena mereka percaya padamu. Mereka percaya kamu bisa membawa negeri ini kembali damai. Mereka percaya kamu bisa menghapus pemerintahan yang keji ini.”

Atai mengangkat kepala. Dipandangi Bima yang ikut berlutut di hadapannya. Sahabat sekaligus lawan bebuyutan di sanggar bela diri itu menatap dengan pandangan teduh, seperti biasanya.

“Apa yang harus aku lakukan, Bim?”

“Aku belum tahu, tapi yang paling penting sekarang, kita tidak boleh mati hari ini, terutama kamu.”

***

Dalam remang-remang cahaya, di antara aroma timbal dan belerang yang menguar, seorang laki-laki bertangan kekar menatap deretan tabung-tabung kecil di hadapannya.

“J20, coba cek darah-darah ini. Beri tahu saya jika sudah menemukan identitas mereka semua.”

“Siap, Pak!”

***

“Aaa!”

Sebuah jeritan memilukan memecahkan pagi buta. Puluhan penduduk yang beberapa menit lalu masih terlelap, kini terkapar di jalanan dengan napas tertahan di tenggorokan.
Di hadapan mereka, dua sosok berbadan besi mendekat, sambil mengacungkan senjata.

Warga yang masih bisa bergerak berusaha mundur untuk menghindar. Namun, langkah mereka kalah cepat. Peluru berkaliber setengah sentimeter itu meluncur menembus tubuh mereka dalam hitungan detik.

“Bagus! Kalian berdua kembalilah ke markas.”

Samar-samar, terdengar komando dari pengeras suara pada dua sosok berbadan besi itu.
Keduanya berbalik, berjalan mendekati sebuah jip yang sejak tadi mengawasi.

“Wilayah 21 beres, Pak!”

“Bagus! Segera kembali. Masih banyak tempat yang harus kita rapikan.”

“Siap!”

***

Atai membersihkan golok yang menggantung di pinggangnya. Dirabanya ukiran bunga matahari pada pegangan golok itu. Tiba-tiba Atai menggenggam erat lengan kirinya yang dibalut kain batik.

“Ingat Bapak?”

Dari arah belakang, tiba-tiba Bima muncul sambil membawa sehelai selimut yang penuh debu.

“Dia tidak pantas lagi dipanggil Bapak.”

Atai menerawang, menatap langit subuh yang lagi-lagi dipenuhi asap dan aroma mesiu.

“Di dunia ini, tidak ada kata “mantan” untuk sebuah keluarga,” ucap Bima pelan.

“Apa laki-laki yang meninggalkan anak-anak dan istrinya pantas dipanggil Bapak?” tanya Atai dengan suara tercekat.

“Beliau tidak meninggalkan kalian. Percayalah! Aku punya firasat, beliau akan kembali. Seperti janjinya.”

Atai tiba-tiba tertawa mendengar ucapan Bima.

“Kembali? Yah, jika dia masih hidup. Kalau dia sudah jadi korban seperti jutaan manusia malang yang lain? Bagaimana? Kamu berharap aku menemui dia meski sudah jadi sosok hantu?”

“Kamu bilang, dalam golok yang kamu pegang ada ukiran bunga matahari, kan?”

“Ya.”

“Kamu tahu apa artinya?”

Hening.

Atai seperti diserbu oleh ribuan petuah-petuah yang selalu didengarnya saat kecil. Laki-laki itu menunduk, enggan menjawab pertanyaan Bima.

“Kamu tahu, kan? Bunga matahari adalah simbol sebuah harapan. Bagaimanapun, harapan itu akan selalu ada. Aku yakin, itu alasan beliau mentato tangan kalian,” ucap Bima pelan.

Dor!

Atai dan Bima yang sedang bercakap-cakap terlonjak kaget mendengar sebuah tembakan tepat di atas mereka. Keduanya bergegas bangkit dan membangunkan kelompoknya yang sedang beristirahat untuk bergegas pergi. Atai berlari sekuat tenaga. Demi harapan dalam genggaman, dirinya tidak boleh mati. Tidak hari ini.

Sementara di belakang mereka, dua sosok bertubuh besi berjalan mendekat dengan dada menyala. Kepala mereka berkedip-kedip, pertanda target sudah ditemukan dan siap dirapikan.
Tembakan kembali diluncurkan. Kali ini lebih cepat dan akurat. Beberapa mengenai wanita dan anak-anak yang tertinggal di belakang. Mereka menjerit dengan suara menyayat, sebelum akhirnya tidak bergerak.

Atai mempercepat langkah. Di belakangnya, Bima berlari sambil membantu beberapa lelaki yang terjatuh karena kelelahan.

“Cepat! Kita tidak boleh mati hari ini!” seru Atai memberi semangat.

***

“Ini data-data yang Anda minta, Pak.”

“Baik. Taruh di meja. Panggil A99 untuk menghadap, saya membutuhkan sesuatu darinya.”

“Siap, Pak.”

Laki-laki bertangan kekar itu membaca data yang baru saja berhasil diverifikasi. Sepasang matanya tiba-tiba berembun saat membaca dua baris nama yang begitu familier.

Ia bergegas menyeka air mata yang hampir jatuh, saat pintu ruangan miliknya terbuka. Seseorang dengan jas putih panjang mengangguk lalu berjalan masuk.

“Anda mencari saya, Pak?”

“Barang yang baru sudah siap?”

“Sudah, Pak. Tim uji coba sudah memeriksa dan memastikan tidak ada kebocoran.”

“Kalau begitu … bangunkan K33 dan P02 yang kita temukan kemarin.”

“Siap, Pak!”

Laki-laki bertangan kekar itu menatap lengan kirinya yang penuh luka bekas sayatan. Sayatan yang digunakan untuk menutupi tato bergambar bunga matahari.

“Delia dan Amanda … kalian akhirnya pulang.”

***

Atai dan kelompoknya bersembunyi di dalam sebuah gua. Mereka mengatur napas, sambil mengobati beberapa yang terluka.

“Bim! Ke mana kita harus mencari bantuan. Sudah tidak ada siapa-siapa di sini selain kelompok kita. Semuanya sudah ….”

Atai tidak melanjutkan ucapannya. Laki-laki itu muntah karena mencium anyir darah yang begitu kental di sekitarnya.

“Bagaimana dengan Robert? Apakah dia ….”

“Tidak. Aku sudah tidak bisa menghubunginya lagi sejak dia menyelundupkan bantuan untuk kita tempo hari. Sepertinya jaringan komunikasi benar-benar sudah terputus, atau ….”

“Robert tidak akan mati semudah yang lainnya. Pria jangkung itu lebih cerdas dari kita, dia pasti memiliki rencana,” ucap Bima optimis.

Atai dan Bima terdiam. Keduanya saling tatap, seperti sedang berbagi kegelisahan masing-masing.

“Negeri baru yang akan diciptakan presiden kita itu, apakah benar-benar akan terwujud?”

“Dia bukan presiden, Bim. Dia pembunuh. Pembunuh paling keji yang berniat meratakan seluruh manusia di bumi dan menggantinya dengan robot. Dia benar-benar sakit jiwa.”

“Atai! Satu-satunya cara, kita harus mencari bapakmu.”

“Tidak! Demi kiamat sekalipun, aku tidak akan pernah menemui laki-laki pengecut itu.”

“Tapi ….”

“Diam, Bim! Jangan menyebutnya lagi, atau aku akan pergi.”

***

Laki-laki bertangan kekar itu berjalan menuju sebuah ruangan. Ia mendekati sebuah layar kecil dan mengetik beberapa kode. Selanjutnya ia mengambil pisau lipat dari saku, menyayat lengan kiri lalu menempelkan darah yang keluar ke layar kecil di hadapannya.
Layar itu berkedip-kedip, memproses data sebelum akhirnya lampu merah di sekitarnya berubah menjadi hijau.

Pintu besar ruangan itu perlahan terbuka. Aroma formalin bercampur air keras menampar penciuman. Laki-laki itu memakai masker khusus, lalu berjalan menyusuri deretan tabung-tabung raksasa berisi tubuh-tubuh membiru.
Langkahnya terhenti di hadapan sebuah tubuh yang sangat dikenalnya. Tubuh yang juga memiliki tato bunga matahari di lengan kirinya.

“Sayang,” bisiknya.

***

Matahari pagi benar-benar meredup. Sehelai selimut tebal terus menghalanginya untuk melakukan tugas mulia. Selimut tebal itu berupa asap super pekat dengan aroma anyir darah bercampur mesiu.

Atai melangkah keluar dari persembunyian untuk melihat situasi. Laki-laki itu lengah, atau barangkali sisi manusianya menolak untuk terus menerus berpikiran negatif. Ia berjalan pelan sambil memeriksa lautan tubuh bersimbah darah di hadapannya. Dia sungguh tidak menyadari, sebuah cahaya berwarna merah sejak tadi bergerak-gerak tepat di dadanya.

Sebuah ledakan terdengar tidak lama setelahnya. Tubuh Atai terpental, bersama tubuh-tubuh lain yang saat itu sedang bercakap-cakap dengan mimpi masing-masing.
Tak lama keadaan kembali hening.
Hening yang mencekam. Hening yang seolah-olah ikut menangisi berakhirnya kehidupan.

***

“Mereka sudah tiba, Pak!”

“Masukkan mereka ke blok sepuluh.
Bantu saya awasi para pemudanya, terutama yang memiliki tato bunga matahari di lengan kirinya itu.”

“Apakah Anda ingin melakukannya sendiri, Pak?”

“Tidak! Dia sangat benci pada saya. Masukkan baterai ultrasonik yang ada di punggung saya ke punggungnya. Lakukan dengan hati-hati, dia benar-benar tidak boleh mati.”

Purworejo, 24 November 2019

 

Komentar juri:

Lebih panjang karya, tidak mesti menjamin ia menjadi lebh bagus. Kadang ada beberapa hal yang justru mengurangi kekuatan cerita di dalamnya. Berbeda dengan itu, cerita yang cukup singkat ini memberikan ketegangan, ironi, dan drama yang pas. Beberapa hal yang tidak dijelaskan, tidak serta merta menjadi kekurangan, tetapi menjadi hiburan imajinatif bagi pembaca. Menjadi hadiah yang menyenangkan untuk diolah setelah selesai membaca. 😀

-Berry Budiman

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply