Te Iubesc

Te Iubesc

Te Iubesc

Oleh: Nurul Istiawati

“Tunggu Ayra! Kamu tidak bias pergi tanpa ini,” ucap seorang anak laki-laki yang berlutut pasrah terlihat punggungnya berdarah-darah. Aku menoleh, tak ada pisau di tangannya juga tak ada orang lain selain kami di sini. Tapi entah kenapa lukanya nampak parah. Mata birunya basah menahan luka dan ia meringis kesakitan.

Betapa terkejutnya diriku melihat ia tertatih lalu mengulurkan sepasang sayap kepadaku. Aku berpikir mungkin sayap ini yang membuat punggungnya berdarah. Ah! Aku mengenalnya. Dia seperti seorang anak yang kubuang jauh dari ingatanku.

“Terbanglah menggunakan sayapku. Kamu akan benar-benar bebas, Ayra. Cepatlah!”

“Tapi aku tidak bias menerimanya.” Belum selesai aku bicara, tubuh anak itu perlahan menghilang. Seperti debu yang melayang diterpa angin, jari-jari kecilnya mulai tak tampak.

Ia tersenyum melemparkan lesung pipi untuk terakhir kalinya. Cukup ngeri bagiku menatapnya menghilang dengan luka parah. Kupejamkan mata tak sanggup melihatnya. Perlahan kubuka mata. Ah sial! Ternyata semua ini hanya mimpi.

Remang-remang mimpi tadi masih berkabut di otakku. Mimpi itu berhasil merusak hariku. Dan ada satu hal lagi yang memorak-porandakan suasana hatiku. Ialah kemacetan kota Buchares tpagi ini. Bucharest tidak jauh beda dengan Jakarta.Tapi ada untungnya aku tinggal di sini, aku bias lari dari kenangan.

Bună ziua, Tante Alya,” ucapku kepadanya yang artinya selamat siang. Aku tinggal dengannya sampai nanti aku wisuda di University Politehnica Of Bucharest.

Bună ziua! Tadi ada yang menelpon, Ra”

“Siapa, Tante?”

“Arza, Ra. Dia akan datang besok,” ucap Tante Alya.

Seketika gelas di tanganku jatuh setelah mendengar nama itu. Nama yang kusebut sebagai masa laluku. Kepingan kenangan yang sudah kubuang jauh dari hidupku. Bagian terburuk dalam sejarahku.

“Berhenti lari darinya, Ra. Kalian sudah bersahabat sejak kecil dan hanya karena alasan itu kamu menutup semua pintu maaf baginya. Jangan egois, Ayra,” ucap Tante Alya dengan sinar mata yang berkaca-kaca. Aku sudah membunuh Arza. Membunuhnya dari ingatanku. Butuh satu detik buat Arza menghancurkan hatiku. Hingga yang tersisa dalam diriku hanya serpihan kisah pohon duka di tubuhku. Akarnya mencengkeram jantungku sampai ingin rasanya kuhentikan degup ini.Aku benci persahabatanku dengannya dulu. Aku membenci semua tentangnya.

Memoriku kembali berputar mengulang masa kelam itu. Tepat 22 Mei 2015 hari yang seharusnya menjadi sejarah pernikahanku dengan Arza. Namun justru menjadi hari kehancuranku. Saat itu, aku pengantin wanitanya Arza tersipu malu menjelang akad nikah. Betapa bahagianya aku bisa membangun mahligai rumah tangga dengan Arza, orang yang kucintai sejak kecil sejak kami bersahabat. Di ruang hias pengantin, Arza menghampiriku dan berkata “Aku tak bisa menikahimu hari ini. Ada tugas negara yang sangat penting. Dunia membutuhkanku. Aku harap kamu mengerti, Ra.”

Bayangkan dia memilih pergi untuk tugas sialan itu daripada menikahi cintanya.

Drrtt… drrtt….

Ponselku bergetar dan kulihat ada pesan masuk. Mataku terbelalak membacanya.

To: Ayra Ayodya

Temui aku sekarang di Herastau Park. Ini adalah pertemuan terakhir sebelum kita benar-benar saling pergi.

Tidak mungkin! Dia benar kemari seperti yang dikatakan Tante Milla. Belum kering air mataku karena memutar memori kelam itu, sekarang aku harus menghadapi kesedihan yang mendalam lagi. Aku menemuinya untuk mengakhiri segalanya di antara kami.

Kupandangi sekeliling taman dan kutemukan seorang pria bertubuh kekar atletis berdiri tak jauh dariku. Pria itu membalikkan badan lalu kulihat wajahnya sama seperti anak laki-laki yang hadir di mimpiku. Persis sekali, mata birunya yang tampak basah dan lesung pipinya yang seolah menunjukan kebahagiaan padahal ia terluka. Pria itu adalah Arza. Dan anak kecil yang hadir di mimpiku juga Arza, Arza kecil.

“Aku minta maaf karena meninggalkanmu di hari pernikahan,” kata Arza dengan berlutut pasrah di hadapanku. Caranya menyesal sama seperti di mimpi kemarin. “Aku takut kehilangan dirimu, Ayra. Sangat takut,” ucap Arza lirih seolah membawa luka yang dalam.

”Tatap aku, Komandan! Kenapa sekarang kau menundukkan kepala saat bicara kepadaku sedangkan dulu kau pergi dengan mengangkat kepala angkuhmu dan meningalkanku. Kau lebih mencintai negaramu, ‘kan? Pergilah! Tiada tempat yang pantas untuk kehadiranmu dalam hidupku,” bentakku kepadanya.

Dengan menyeka air mata yang mengalir, aku meninggalkannya sendirian. Persis seperti kejadian di mimpi, aku tak tega menatapnya terluka. Ia sangat terluka saat melepasku pergi. Arza, Te Iubesc (aku mencintaimu) tapi aku tak ingin terluka kembali. Air mata mengalir deras mengikuti langkahku yang meninggalkan jejak masa laluku.(*)

Nurul Istiawati, gadis 17 tahin yang hobinya dengerin musik klasik

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply