Tante Mae

Tante Mae

Tante Mae

Oleh: Aryati

 

Di penghujung tahun yang basah, angin datang membawa sensasi dingin. Sebagian anak-anak perempuan kelas IX hanya duduk-duduk bergerombol di dalam kelas, membicarakan kegiatan-kegiatan apa saja yang bisa mereka lakukan untuk membantu pekerjaan rumah tangga. Lalu, mereka akan membuat kesepakatan untuk bertemu di pusat perbelanjaan. Memilih hadiah-hadiah yang berupa kartu ucapan, rangkaian bunga, juga beberapa barang yang dibungkus kertas berwarna-warni.

 

Dan aku, sama sekali tak tertarik dengan kebiasaan-kebiasaan mereka. Alih-alih menyiapkan hal yang sama atau semacamnya, justru aku memilih keluar sambil mengajak ngobrol Bik Jiah, wanita penjual nasi uduk di ujung jalan, yang setiap bulan sekali selalu menggendong sekarung kecil beras dari toko kelontong depan sekolahku.

 

“Boro-boro ngirimin hadiah. Si Tole nggak minta dikirimin uang saja, saya udah senang banget. Tahu sendiri, kan, Neng, penghasilan jualan nasi uduk enggak seberapa,” ucap perempuan sewaktu aku berkata bahwa teman-teman sekelasku menyiapkan kado untuk ibu mereka.

 

“Neng Luna pasti sudah nyiapin kado juga, kan?” Bik Jiah menyenggol bahuku dengan bahunya. Aku hanya tersenyum sebentar.

 

Ketika perjalanan pulang melewati rumah Han, gadis kecil lima tahun itu sedang duduk di ayunan, sambil didorong pelan oleh ibunya. Aku berhenti sebentar. Aku melihat tubuh kecilku di ayunan itu dan seorang wanita yang tak jelas wajahnya sedang menyuapiku. Terdengar ia tertawa-tawa. Lalu, dalam sekejap suara tawa itu berubah menjadi campuran tawa Han dengan ibunya. Aku terkesiap, lalu berpaling dan melanjutkan perjalanan pulang.

 

Tak sampai sepuluh menit, aku sudah melihat wajah perempuan itu di teras rumah. Wajahnya yang berlapis bedak tebal itu tersenyum semringah. Ia mengajakku masuk. “Mama sudah masak kerang. Ayo kita makan. Paling enak makan saat masih panas-panas.”

 

Aku duduk di belakang meja makan, sedang perempuan itu membuka tutup panci yang berisi makanan berkuah panas kesukaanku. Ia menyendokkan kuah ke dalam mangkok, kemudian hendak menyuapiku.

 

“Aku bukan anak kecil!”

 

“Oke.” Ia tersenyum dan membiarkanku makan hingga selesai. Lalu aku berlalu ke kamar.

 

Perempuan itu, Tante Mae. Papa mengajaknya ke rumah sebulan yang lalu. Ia datang ke rumah ini di saat aku hendak melupakan Leo, teman sekelasku, yang menjadi idola hampir semua anak-anak perempuan seusiaku. Entah karena apa sebabnya, di awal tahun ajaran itu aku merasa ada magnet yang menarik mataku agar selalu memperhatikan Leo. Magnet itu juga selalu menarik tubuhku agar tak jauh-jauh darinya. Anak lelaki tampan yang jarang berbicara, tapi selalu sibuk dengan buku-buku di perpustakaan. Aku berusaha memakai perisai ketika magnet itu mulai menancapkan pengait-pengaitnya di beberapa bagian tubuhku, tapi kekuatannya sungguh luar biasa. Perlahan-lahan perisai itu rontok dan berserakan di lantai. Aku pasrah, mengikuti saja ke mana magnet itu membawaku. Mencandui setiap senyum dan sinar mata Leo. Semenjak itu aku merasakan bahwa setiap hari matahari bersinar cerah.

 

Suatu kali, ketika magnet itu mencengkeram erat tubuhku, aku dibuat tak berkedip memandang Leo. Dan rupanya si empunya seperti merasa diawasi. Ia menoleh ke arahku. Wajahnya tampak datar. Tak ada senyum sedikit pun. Lalu Leo berjalan mendekatiku. Kurasakan ada yang terbakar di mukaku. Ia semakin memangkas jarak.

 

“Jangan pernah berharap padaku. Kau atau siapa pun di kelas ini, tak ada satu pun yang bakal membuatku tertarik.”

 

Aku berlari meninggalkannya. Esoknya, bahkan hari-hari berikutnya, magnet-magnet itu sepertinya sudah tak berfungsi lagi. Mungkin karena magnet itu sudah habis terbakar. Sedekat apa pun posisi tubuhku dengan Leo, aku tak lagi merasa ada magnet di sekitar kami.

 

Kini di saat aku sudah mulai bisa menghapus wajah Leo, aku merasa bahuku seperti perlahan-lahan turun. Aku jadi sering berdiam dalam kamar, hingga berhari-hari tak keluar, kecuali sekolah. Aku jarang menyapa Papa, apalagi Cia, adikku.

 

Tante Mae setiap hari mendatangi kamarku. Ia akan menanyakan apa-apa saja yang kubutuhkan, tapi tak pernah sekali pun kujawab. Ia juga membawakan makanan tiap waktu makan. Bahkan ketika dilihatnya aku menahan kram di perut bagian bawah, perempuan yang wajahnya tak pernah lepas dari bedak itu akan datang dengan sebotol air hangat. Ditempelkannya botol itu di perutku. Kemudian ia menyisir rambut panjangku dan membuatnya jadi kuncir kuda. Ia juga menceritakan tentang kisah cintanya sewaktu seusiaku. Bagaimana ia melewati hari ketika cinta pertamanya  ditolak. Ia menceritakan hal itu sambil beberapa kali tertawa. Mungkin ia menertawakan kekonyolannya waktu itu. Semua yang dilakukan Tante Mae sama persis seperti yang dikatakan Mia, temanku, tentang ibunya.

 

Selama hampir dua bulan ia melakukan hal sama padaku. Terkadang ia mengajak serta Cia, yang tampak sudah akrab dengannya. Tante Mae mulai menceritakan hal-hal konyol lainnya pada kami. Aku tertarik, beberapa kali ikut tertawa bersamanya dan Cia. Aku bahkan beberapa kali menanyakan sesuatu padanya—hal yang bisa dibilang pribadi. Toh, ia tak malu membaginya.

 

Kami semakin hangat. Sedikit demi sedikit bahuku mulai naik lagi. Aku mulai keluar kamar untuk menonton TV bersama, membantu menyiapkan makan malam, atau ke pasar bersama Tante Mae. Aku pun banyak menceritakan hari-hari yang kulewati padanya.

***

Suatu kali, ketika aku melewati rumah Han, aku melihat tubuh kecilku berada di ayunan. Kulihat wajah perempuan yang menyuapiku menoleh ke arah jalan, ke arahku. Wajahnya memang benar wajah Tante Mae. (*)

 

Banjarnegara, 15 Januari 2022

 

Aryati, wanita yang tetap setia dengan hitam dan ungunya. Masih sering baca ketimbang nulisnya.

 

Editor: Inu Yana

 

Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/gPzWqKVYGANVMyc58

Leave a Reply