Tangis Tanpa Isak

Tangis Tanpa Isak

Tangis Tanpa Isak
Oleh : Fathiyya Rahma

“Maafkan aku datang telat, Mas Arya,” ucap seorang gadis dengan napas memburu. Lalu, duduk di seberang meja seorang pria yang kini menatapnya sambil tersenyum.

“Nggak apa-apa, Na,” ucap pria itu—Arya—sedikit berbohong. Nyatanya dia telah menunggu lebih dari satu jam di cafe itu.

“Oh, iya, Mas. Ada kabar baik,” ucap Nayya dengan wajah semringah.

“Kabar baik apa? Coba katakan.”

“Ehm …,” Nayya berhenti sejenak dan berpikir, “nanti aku cerita, tapi aku pengen denger hal penting yang Mas bilang tadi. Tumben ngajak makan malam di tempat romantis gini.”

Arya tersenyum sambil merogoh saku celana dan mengambil sebuah kotak beludru, kemudian menyodorkan pada gadis di hadapannya.

Mata Nayya membulat saat mendapati sebuah cincin emas putih dengan mata permata kecil yang berkilau. Cantik.

Ada kegembiraan yang hadir, meski hanya sekejap. Sebab, ada kenyataan lain yang meruntuhkan kebahagiaan itu. Matanya mulai berkaca-kaca. ‘Kenapa harus sekarang?’ tanyanya dalam hati.

Arya yang melihat itu berpikir bahwa Nayya begitu terharu hingga mau menangis. Di raihnya jemari sang kekasih, “Menikahlah denganku, Na.”

Dalam hati, Nayya mengiyakan permintaan itu. Namun, dia tidak mampu untuk menyetujuinya. Perlahan dilepaskannya genggaman tangan Arya. Tak mampu menatap dan hanya menundukkan wajah, lalu dia berkata, “Apa kamu yakin, Mas?”

Mendengar itu, ada rasa kecewa menjalar di relung hati Arya. Berpikir apakah dia akan ditolak untuk kedua kalinya? Masih ingat betul saat dulu Arya melamar untuk pertama kali. Kala itu mereka baru menjalin hubungan. Namun, karena merasa cocok dan takut kehilangan, Arya nekat melamar gadis itu.

Mereka pertama bertemu di sebuah apotek. Saat itu Nayya selalu membantu menyiapkan suplemen dan obat-obatan untuk neneknya. Sikap lembut dan paras cantiknya menambah sisi menarik gadis itu. Arya pun jatuh cinta.

Hanya saja ketika itu, Arya baru saja lulus kuliah, belum memiliki pekerjaan tetap. Wajar pikir Arya jika dulu Nayya menolak. Namun, kini keadaan sudah berubah. Meski belum bisa dibilang mapan, akan tetapi penghasilannya cukup untuk modal menikah.

“Aku tentu saja yakin, Na. Apa kamu masih meragukannya?” Ada nada kesal saat Arya bertanya, sulit untuk menyembunyikan rasa kecewa.

“Maafkan Nayya, Mas. Untuk saat ini enggak dulu, tolong tunggu aku beberapa tahun lagi.”

“Oh, Tuhan. Harus nunggu sampai kapan? Kita udah pacaran tiga tahun. Kurang lama? Hah?!” Arya berseru dengan tangan mengepal.

Ada perasaan takut sekaligus sedih melihat amarah Arya. Ingin mengiyakan, tetapi dia sudah terlanjur menerima kesepakatan kerja dengan atasannya. “Aku sangat mencintaimu, Mas Arya. Tapi untuk menikah sekarang aku nggak bisa,” ucap Nayya lirih.

“Haha …,” Arya tertawa, “lucu sekali kamu, Na. Bilang mencintaiku, tapi menolak lamaranku!”

“Aku punya alasan, Mas. Aku bukan menolak, hanya ingin kamu menundanya.”

“Mudah sekali kamu bilang begitu. Ini hati yang punya rasa, jangan seenaknya!” Suara Arya naik beberapa oktaf, sorot matanya tajam menatap Nayya.

Di wajah Nayya tercetak ketakutan, tidak pernah sebelumnya Arya berbicara keras padanya, apalagi sampai membentak. Bulir bening menggenang di pelupuk mata, lalu perlahan turun membasahi pipi. Arya hanya memandang, ada keinginan untuk mengusapnya, tetapi ego menghalangi.

“Sudahlah, tak perlu menangis. Nanti semua orang mengira aku yang udah nyakitin kamu! Padahal, sebaliknya!” ucap Arya cepat. Dia kemudian bangkit, “Aku udah nggak nafsu makan, lebih baik pulang.”

“Mas Arya biar aku jelasin dulu! Tadi aku sudah bilang ada yang mau kukatakan … tolong, Mas,” pinta Nayya sambil menahan lengan Arya.

T, 21 September 2019

Penulis adalah seorang pecinta kopi latte dan penyuka hujan. Salah satu penulis dalam Antologi cerpen Coffee Romance dan Merdeka Itu Kamu. Bisa kenal lebih dekat dengan saya di FB dengan nama Fathiyya Rahma dan fainayya3@gmail.com.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply