Oleh: Fei Ling
“Sayang, apa yang kamu inginkan?”
Aku menatap wajahnya ketika pertanyaan itu muncul. Tidak biasanya dia menanyakan apa yang aku inginkan.
“Hmm … apa ya? Lagi enggak pengen apa-apa sih,” sahutku.
“Aku pengen memberimu uang yang sangat banyak,” katanya sambil tersenyum.
“Amin. Buatku, kamu selalu sehat itu sudah cukup,” tukasku singkat menanggapinya.
Namaku Monik, istri dari Bayu dan ibu dari dua anak yang berusia enam dan empat tahun.
Bayu seorang fotografer yang handal. Dia juga pria yang ringan tangan dan mau membantu melakukan apa saja tanpa aku suruh dan selalu bertanggung jawab dengan semua yang dikerjakannya.
Sebenarnya keuangan kami saat ini mengalami kekurangan karena pekerjaan Bayu hampir semua ditunda bahkan ada yang dibatalkan. Hal ini disebabkan adanya virus yang menyerang negeri. Cerevirus namanya. Virus itu menyerang siapa saja melalui sentuhan, ludah, luka terbuka, dan bahayanya lagi bisa menular lewat udara. Sekolah tempatku mengajar pun akhirnya juga terkena imbas Cerevirus. Kegiatan belajar-mengajar dihentikan untuk sementara waktu. Untuk menyambung hidup, aku mencoba berjualan makanan online.
“Mas, tolong antarkan aku ke Pasar Mulya, ya! Ada beberapa kebutuhan bahan makanan yang harus aku beli,” pintaku kepada Mas Bayu ketika dia sudah menyelesaikan sarapan paginya.
“Oke, sepuluh menit lagi kita berangkat,” sahutnya.
***
Kami sampai di Pasar Mulya jam sembilan pagi. Ya, memang agak terlalu siang, tetapi karena pasar ini lengkap, jam sesiang itu masih banyak pedagang yang buka.
“Dek, Mas mau ke Bank Pasnam dulu, ya. Puji Tuhan ada yang transfer sisa pelunasan job yang beberapa waktu lalu. Uangnya bisa dipakai untuk kebutuhan kita,” tawanya riang menyampaikan kabar gembira ini.
Aku menyahutinya, “Aku tunggu di lorong pedagang ayam dan daging. Mas Bayu kalau sudah selesai urusannya, langsung menyusul ke sana, ya!”
“Oke, tunggu aku bawa uang banyak!” teriaknya sambil melambaikan tangan.
“Eh, bentar bentar, aku mau cium kening kamu dulu,” ucapnya lalu mencium keningku.
“Ish apaan sih! Kayak mau pergi jauh aja,” kataku sambil tersenyum.
Melihat punggungnya menjauh dariku, aku merasakan firasat yang tidak enak. Namun, segera kutepis dengan pikiran positif bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Kulirik jam tanganku, tanpa terasa sudah hampir tiga puluh menit aku menunggunya. Masak iya ambil uang aja bisa selama ini. Apa mungkin antreannya banyak?
Suara ledakan yang sangat keras mengagetkanku dan seluruh pedagang. Ya ampun Tuhan, suara apa itu? Apakah ada ban truk yang meletus? Pertanyaan itu singgah di pikiranku.
Aku lihat sekelilingku tampaknya mereka kembali tenang setelah mendengar suara itu. Memang ada beberapa yang bergegas meninggalkan pasar, tapi sisanya seakan-akan bunyi yang keras tadi biasa di telinga mereka.
“Bom! Ada bom meledak!”
Aku mendengar seruan kencang dari orang-orang yang panik. Seketika suasana yang tadinya sudah tenang, mendadak ricuh akibat teriakan tersebut. Kuhentikan salah satu bapak yang sedang mendekat ke arahku.
“Pak, ada apa?”
“Ada bom Bu. Meledak di Bank Sentosa! Ibu cepat lari sebelum api merembet dan membakar Pasar Mulya. Cepat lari!” teriaknya kencang.
Apa? Bom meledak di Bank Sentosa? Lalu Mas Bayu?
“Mas! Mas Bayu!” Aku meneriakkan namanya dan sengaja berlari ke arah bank tempat Mas Bayu berada. Tak kuhiraukan napasku yang mulai sesak akibat asap, rupanya api sudah membakar area pasar.
“Aduh!” Aku terjatuh akibat dorongan orang-orang yang ingin menyelamatkan dirinya masing-masing.
Selagi mencoba untuk berdiri, aku melihat banyaknya manusia yang mengambil kesempatan dalam musibah. Mereka menjarah apa yang bukan haknya. Beberapa orang aku lihat sedang kerepotan membawa barang curiannya. Tidak sekali pun aku berpikir mengikuti perbuatan mereka, fokusku hanya satu yakni bisa menemukan Mas Bayu.
Seseorang yang entah dari mana tiba-tiba mendorongku dengan keras, alhasil aku terjatuh lagi untuk kedua kalinya. Parahnya lagi kakiku terkilir dan tidak bisa digerakan sama sekali.
“Tolong! Tolong aku!” teriakku memohon pertolongan. Tidak satu pun yang menghiraukan.
Lama-lama napas ini mulai sesak, pandanganku berkunang-kunang.
“Tuhan, aku belum ingin kembali ke rumah-Mu. Selamatkan aku ya, Tuhan. Kasihan anak-anak apabila aku meninggalkan mereka sekarang.” Sebersit doa aku panjatkan kepada Yang Kuasa.
Tak dinyana seseorang yang memegang lenganku, wajahnya terlihat samar, tetapi sepertinya itu sosok Mas Bayu. Dia berusaha memapahku menjauhi kebakaran ini.
Pintu keluar hanya tinggal beberapa meter saja tapi napasku kembali sesak. Energiku rasanya habis untuk menahan sakit karena terkilir ini. Tidak beberapa lama kemudian, gelap menyelimutiku.
***
Bau obat-obatan menyeruak hidungku ketika aku sadar.
Di mana aku ini? Sekelilingku ruangan serba putih. Apakah aku ada di rumah sakit? Sepertinya memang iya aku berada di IGD rumah sakit dekat pasar. Mataku melihat ke jam dinding yang tergantung di tembok. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Kejadian terakhir yang aku ingat adalah bom yang meledak di bank.
Aku langsung teringat suamiku. Mas Bayu di mana?
‘Sekitar pukul setengah sepuluh pagi hari ini, sebuah bom berkekuatan besar meledak di Bank Sentosa dan api ledakan membakar hampir sebagian area Pasar Mulya. Ratusan korban berjatuhan akibat peristiwa ini. Berikut nama-nama korban jiwa dan korban luka-luka.’
Suara reporter dari televisi tersebut terdengar jelas di telingaku. Beruntung aku masih bisa membaca tulisan yang sedang ditampilkan di layar kaca itu.
Jiwaku merasa melayang saat aku baca nama Aloysius Bayu di deretan nama korban meninggal dunia. Kalau suamiku masuk dalam daftar korban yang meninggal, lalu siapa yang menolongku tadi?
Gelap melandaku lagi.
-End-
Surabaya, 24 Desember 2021
Fei lebih suka menghabiskan waktu senggangnya untuk menulis.
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penukis tetap di Loker Kata