Tangan-Tangan Ajaib

Tangan-Tangan Ajaib

Tangan-Tangan Ajaib
Oleh : Widi Lestari

Lama sekali saya tidak mengunjungi rumah Bude Ramli di Kebumen. Halaman yang luas Bude sekarang sepi, tidak ada anak-anak bermain gundu, karet, gobak sodor, dan tapak gunung.

Saya masih ingat, dulu sewaktu kecil akrab sekali dengan permainan tersebut. Sebagai anak kecil, saya seringkali mendapat omelan Ibu lantaran pulang sore. Terlalu asyik melompat dengan satu kaki pada petak-petak yang sudah digaris saat bermain tapak gunung, atau beramai-ramai saling memegang bahu teman untuk bermain tam-tam buku dengan menyanyi lagu bersama sampai anak paling belakang akan ditangkap.

Di era modern ini, anak-anak sekarang lebih betah berlama-lama bermain gadget daripada bersosialisasi dengan anak-anak sebaya. Duduk bersebelahan, tapi sibuk bersama ponsel masing-masing.

Pandangan saya menelusuri halaman luas yang sudah ditanami aneka bunga. Rumah Bude sudah direnovasi, jendela bergambar merak khas dulu sudah diganti. Lama sekali saya tidak ke sini, semenjak Bapak meninggal sepuluh tahun lalu dan kami pindah ke Jambi.

Bude sedang memindahkan tanaman hias ke pot-pot saat saya datang. Perempuan berusia lima puluh tahun itu langsung menyunggingkan senyum, meletakkan pot-pot tanaman, dan berjalan ke keran air di sebelah kanan untuk mencuci tangan.

“Resti, ini benar kamu, Nak?” Mata Bude berbinar, dia senang dan langsung memeluk sekaligus mengajak saya masuk ke rumah.

Banyak perubahan di rumah Bude, ruang tamu berubin semen sudah dikeramik putih. Dinding batu bata ditembok abu-abu. Ventilasi bentuk persegi panjang, sekarang diganti kotak-kotak. Saya disuruh duduk di sofa memanjang dekat jendela.

Bude menyuguhi bermacam-macam makanan, katanya sewaktu kecil saya suka jajanan pasar buatannya. Sengaja Bude membuatnya begitu saya mengabari lewat telepon akan berkunjung.

Kami memang sering berkomunikasi lewat telepon genggam. Kata Bude bisa mendekatkan yang jauh. Pekerjaan saya di Jakarta padat. Cuti pun jarang. Sehingga hanya sempat pulang ke Jambi. Baru sekarang meluangkan waktu menengok Bude.

Di telepon, Bude sering mengeluh bisnis riasnya yang sepi. Bude punya galeri rias di sebelah rumah. Saya ingat tangan ajaib Bude pernah mengubah wajah kucel saya saat kecil menjadi secantik Cinderella. Tepat saat ada acara pergelaran di Sekolah Dasar.

“Sekarang galeri Bude sepi, orang-orang lebih suka pakai tata rias baru.” Bude bercerita suatu sore dengan raut sedih. Berkali-kali menghela napas panjang.

Dahi saya sedikit mengernyit, memang tujuan saya datang sekalian melihat keadaan galeri Bude. Seingat saya dulunya ramai, tangan ajaib Bude sudah terkenal satu kabupaten. Bahkan pernah dipanggil ke luar kota merias orang-orang penting.

“Kamu lihat sendiri, sejak pagi baru satu orang yang mempercayakan riasan mantennya sama Bude?”

Saya mengangguk. Memang ada tiga calon pengantin survei ke lokasi, tapi hanya satu yang memutuskan memakai jasa Bude.

“Padahal pengantin yang Bude dandanin selalu terlihat pangling,” ujar Bude, yang sejak dulu konsisten puasa sebelum merias pengantin.

Dulu saya pernah curi-curi dengar obrolan Bude dan Ibu. Bude bilang bahwa dia selalu tahu kalau ada pengantin yang tidak gadis dari riasannya terlihat tua, meskipun sudah disuruh puasa.

Saya berjalan ke arah gaun-gaun pengantin. Lalu meneliti satu per satu. Salah satu kesalahan Bude mungkin tidak mengikuti perkembangan zaman. Di era modern, orang-orang tidak akan suka mengenakan kebaya dengan payet-payet dan model terkesan kuno.

“Bude, apa sudah diposting di media sosial?” tanya saya mengingat zaman milenial orang-orang lebih suka mencari referensi di media sosial.

“Sudah, di foto-foto sama Salman dan diunggah di facebook,” ujar Bude menyebut anak bungsunya lima tahun di bawah saya.

“Mungkin fotonya perlu diedit. Kalau pakai ponsel kurang bagus hasilnya, Bude,” saran saya.

Bude terlihat berpikir. Lantas berucap, “Pernah di foto sama kang Amin, hasilnya tetap sepi.”

Kang Amin merupakan fotografer yang sering bekerja sama dengan Bude setiap ada mantenan. Bude selalu memakai jasanya untuk urusan dokumentasi.

“Ponsel Bude android?” saya bertanya lagi.

Bude menggeleng. “Ponsel zaman dulu masih bagus, asal bisa buat telepon sama sms. Buka facebook juga bisa.”

Saya tersenyum. Menemukan lagi penyebab galeri Bude sepi. Di zaman serba digital, orang-orang akan melihat testimoni di media sosial. Tinggal mengetik rias akan muncul berjibun nama-nama, menawarkan make up paling bagus, meningkatkan promo dengan kalimat memikat. Beberapa akan mengedit foto, dan menambah caption dengan kata-kata yang menggerakkan alam bawah sadar agar tertarik.

Cara memilih referensi lewat media sosial memang sangat membantu. Sebelum benar-benar yakin akan survei langsung ke lokasi, daripada mendatangi satu per satu tempat rias hingga kerap bikin pusing.

Saya mengambil album foto di meja, membuka lembar demi lembar dan mempelajari isinya. Rata-rata riasan Bude masih tertinggal. Paling akan dipakai orang-orang desa yang tidak mengikuti tren. Apalagi gaya hidup milenial masa kini selalu meng-update cara berpakaian sehari-hari, tentu pakaian pengantin akan dipikirkan matang-matang, tidak asal pilih.

Kalau boleh dibilang tangan ajaib Bude saja tidak cukup menarik perhatian tanpa mengikuti perkembangan zaman. Memang hasil riasan Bude sangat halus dan manglingi. Tapi bagaimanapun juga masih perlu poin lain sebagai penunjang bisnis rias Bude.

“Bude, saran saya harus diubah total. Sekarang teknologi canggih, makan saja tinggal ketik di ponsel akan diantar. Orang-orang lebih suka praktis. Bude harus mengikuti perubahan zaman.”

Bude menarik kursi di depan saya, siap-siap menyimak ide. Langsung saya menyarankan mengganti gaun dengan modern, menawarkan beberapa konsep mulai vintage, neutical, adat Jawa, Sunda, kalau perlu India.

Saya merogoh ponsel di tas clutch, menggulir layar mengetik model-model baju pengantin di internet. Muncul banyak inspirasi dari gaun-gaun modern yang membuat Bude berdecak kagum.

“Lalu kita promo memanfaatkan media sosial, kita tulis kata-kata yang mampu menarik perhatian.” Saya menyarankan. Pasalnya teman di kota membuka wedding organizer dengan penawaran berbagai konsep pernikahan unik, nyatanya sukses.

Sekarang tidak cukup mengandalkan keahlian, harus pintar-pintar mencetuskan ide baru agar tidak tenggelam seiring perkembangan zaman. Saya juga menyarankan make up-nya agar mengganti dengan brand-brand terbaru. Selain itu, riasan menor sudah tidak digemari mayoritas orang. Saya menyarankan Bude memoles dengan warna-warna cerah dan segar yang terlihat natural.

“Tapi ini ajaran turun-temurun dari nenek kamu,” ujar Bude seakan-akan keberatan.

Saya mendesah panjang. “Bude, selera orang dulu dan sekarang berbeda. Bude punya keahlian merias wajah orang biasa menjadi sangat cantik, sayangnya warna-warna yang Bude pilih terlalu terang. Kita coba meminta orang untuk dirias berbagai model, lalu posting. Gimana?”

Bude berpikir sebentar, lalu mengangguk-angguk.

Keesokan harinya saya membantu Bude belanja alat make up, memilih bahan-bahan untuk membuat gaun, lewat internet saya mencarikan contoh-contoh gaun yang pasti disukai orang-orang masa kini. Dengan telaten berbulan-bulan Bude mengikuti ide saya, menunggu reaksi orang-orang dari postingan di media sosial.

Perlahan-lahan jasa Bude terkenal lagi, orang-orang berdatangan sampai Bude memperkerjakan lima orang. Namun, lagi-lagi Bude tidak melakukan perubahan lima tahun ke depannya, sehingga anak muda yang merintis usaha rias manten saling berlomba mencetuskan ide-ida baru merebut semua pelanggannya.

“Resti, kapan ke Kebumen lagi? Usaha Bude mulai sepi seperti dulu,” keluh Bude di ujung telepon. Saya hanya menghela napas panjang sudah menduga Bude tidak update selera pasar.(*)

Widi Lestari, gadis kelahiran Kebumen yang baru belajar menulis.

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Memgirim/menjadi penukis tetap di Loker Kata

Leave a Reply