Oleh : Ardhya Rahma
Judul : Tanah Tabu
Penulis : Anindita S. Thayf
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 192 halaman
Cetakan 1: Mei 2009
Cetakan 2: November 2015
Blurb :
Mabel percaya takdir akan berakhir buruk jika kita tidak menjaga langkah, apalagi bagi perempuan seperti dirinya. Tapi Mace, sang menantu, belum bisa melupakan trauma pada masa lalu. Sementara Leksi, cucu kesayangan Mabel, masih suka semaunya sendiri. Beruntung ada Pum dan Kwee yang bisa diandalkan. Bersama keduanya, si kecil Leksi belajar menjalani hidup yang keras di atas Tanah Tabu.
Dan, pada kita semua, Mabel berpesan, “Kita harus tetap kuat … Jangan menyerah. Terus berjuang demi anak-cucu kita. Mereka harus mendapatkan kehidupan yang lebih baik.”
Saat membaca blurb-nya yang singkat itu saya sebenarnya tidak tertarik, tetapi ada rasa penasaran kenapa novel ini bisa menjadi pemenang I Sayembara Novel DKJ 2008. Sebagus apa? Pertanyaan itu menggelitik saya dan makin membuat penasaran saat membaca komentar para juri Sayembara Novel DKJ 2008.
“Anindita tidak menulis sebuah novel etnografi dengan semangat eksotisme kolonial, melainkan dengan perspektif emik yang penuh empati. Melalui novel ini saya berkenalan dengan Leksi, seorang bocah Papua, yang dengan kenaifannya justru menunjukkan kritisisme cerdas; juga Mabel yang menjadi eksemplar seorang perempuan hebat tanpa perlu ribet dan genit dengan retorika ia aktivis perempuan menengah-kota.” (Kris Budiman, Kritikus Sastra, Juri Sayembara Novel DKJ 2008)
“Sosok Mabel dalam novel ini menampilkan perempuan yang melawan diskriminasi dalam konteks sosiokultural dan politik masyarakatnya.” (Linda Christanty, Penulis dan Jurnalis, Juri Sayembara Novel DKJ 2008)
“Tanah Tabu menarik bukan saja karena penguasaan atas materi penulisan yang baik, maupun penyusunan komposisinya, tetapi juga urgensi masalah, yang membuatnya sangat penting.” (Seno Gumira Ajidarma, Cerpenis, Novelis dan Wartawan, Juri Sayembara Novel DKJ 2008)
Rasa penasaran itu membuat saya memutuskan membeli novel yang dicetak dengan cover baru ini.
Buat saya cover baru ini pas sekali menggambarkan Papua yang menjadi setting novel. Berwarna cokelat tanah dan bergambar burung cendrawasih sebagai burung khas dari Papua. Juga aneka bunga. Seolah-olah menunjukkan kesuburan Papua.
Novel ini dibuka dengan sebuah quote : “Di ujung sabar ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran, dan air mata hanyalah untuk yang lemah”
Quote ini seolah-olah menggambarkan isi cerita yang suram dan tidak ada kesan manis. Ada benarnya juga. Namun, dengan gaya penceritaan yang unik dari tiga sudut pandang berbeda yaitu sudut pandang anak dan dua ekor binatang teman setianya, membuat cerita ini menarik hingga membuat saya terus membaca sampai usai.
Tanah Tabu adalah tanah keramat warisan leluhur yang harus dijaga atas nama leluhur demi anak cucu mereka. Tanah tabu harus dipergunakan sesuai manfaat dan kebutuhan, serta dijaga kelestariannya. Sayangnya, tanah Papua yang ditabukan, dan diwariskan turun temurun itu kini perlahan-lahan menghilang karena terdesak oleh orang-orang asing yang datang untuk mengeruk kekayaan emas Papua. Bukan hanya itu, kekayaan alam lainnya pun mulai hilang pesonanya. Hutan Papua tidak lagi menghasilkan sagu, sungai mereka pun dipenuhi kotoran yang berasal dari perusahaan tambang. Ironis. Semua akibat tanah keramat yang terusik. Lantas, apa yang tertinggal untuk rakyat Papua? Mungkin perkataan Mabel ini adalah jawabannya, “Kalau anjing setia pada tuannya dan kucing setia pada rumahnya, perusahaan di ujung jalan sana hanya setia pada emas kita. Tidak peduli apakah tanah, air, dan orang-orang kita jadi rusak karenanya, yang penting semua emas punya mereka. Mereka jadi kaya, kita ditinggal miskin. Miskin di tanah sendiri!”
Novel yang sebenarnya mempunyai tema yang kompleks dan berat, tetapi karena ditulis dengan bahasa sederhana membuat saya sebagai pembaca bisa menerimanya dengan mudah. Metafora-metafora yang dihadirkan pun tidak membuat kening berkerut.
Ketika menyindir tentang bagaimana masyarakat Papua menjadi rebutan partai politik, penulis menggambarkannya lewat monolog Pum, ‘Sementara kaus kuning milik warga lainnya telah lama berganti dengan kaus merah, hijau, bahkan kemarin ada yang berwarna biru, dan baru-baru ini ada pula merah muda’.
Atau ketika mengkritik budaya patriarki suku Dani, Mabel berkata, “Sejak dulu hingga sekarang nasib perempuan tidak berubah. Mereka terlalu bodoh untuk melawan, dan terlalu takut untuk bersuara. Ya, jadilah seperti itu. Tertindas di bawah kaki suaminya sendiri. Seumur hidup menjadi budak, hingga kematian memisahkan mereka.”
Paparan data yang lengkap menggambarkan tahun-tahun perubahan Papua tentunya membutuhkan riset yang serius. Dugaan saya itu terbukti. Saya membaca bahwa sebenarnya ide untuk menulis Tanah Tabu datang ketika penulis sedang melakukan riset untuk menulis buku nonfiksi anak tentang keindahan alam Papua. Alih-alih menemukan berbagai keindahan tanah Papua, ia malah banyak menemukan berbagai ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di sana. Jiwanya pun terpanggil untuk menyuarakan ketidakadilan yang ia temui dalam risetnya. Atas dasar itulah maka penulis berganti haluan dari menulis buku nonfiksi ke sebuah novel yang sarat dengan kritik sosial.
Sungguh saya beruntung menemukan novel ini. Riset yang lengkap dan matang menghasilkan novel yang sangat layak dikoleksi. Kalau pun ada kelemahan dalam novel ini mungkin ada sedikit pertanyaan di benak saya. Kalau Pum adalah seekor anjing tua, berapa umurnya? Apakah mungkin anjing bisa hidup selama itu?
***
Surabaya, 15 Desember 2021
Ardhya Rahma, penulis keturunan Jawa dan Kalimantan yang mempunyai hobi membaca dan travelling.
Editor : Rinanda Tesniana
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata