Tanah dan Rumah ini Dijual
Oleh: Cokelat
Aku membaca sekali lagi tulisan pada tripleks yang sedang dipalu oleh Pak Kardi, tetangga kami. Walaupun kubaca berkali-kali, tulisan pada tripleks yang sedang dipalu pada pagar rumah kami itu tidak akan berubah.
“Sudah selesai, Neng. Bagaimana? Sudah pas posisinya?” Pak Kardi menoleh ke arahku.
Aku segera mengerjap, berusaha menyembunyikan mataku yang mulai berair.
Sepertinya Pak Kardi paham. Tentu saja lelaki tua yang baik hati itu paham. Dia tahu keadaan kami.
Pak Kardi meletakkan palu ditangannya ke tanah, lalu melangkah mendekatiku.
“Neng Tini yang sabar, ya. Semoga ini yang terbaik. Bagaimanapun, kalian butuh uang buat Ibu kalian berobat.”
Aku hanya mengangguk. “Tini ga apa-apa kok, Pak. Hanya sedih, aja. Bakal ninggalin tempat ini. Kita semua di kampung udah kayak saudara. Tini dan Tina lahir di sini. Bapak meninggal di sini. Seandainya bisa memilih, kami pasti tidak akan menjual rumah ini, Pak.”
“Sabar. Ingat, ada Allah yang akan selalu menolong hamba-Nya. Jangan pernah lupa itu, Neng.” Pak Kardi menepuk-nepuk bahuku lembut. Lelaki tua ini sudah seperti bapak bagiku dan Tina, saudara kembarku.
***
Tina masuk ke kamarku sambil mengumpat. Aku yang sedang melipat pakaian di tempat tidur mengernyit melihat kelakuannya. Menurut semua orang, Tina memang lebih aktif, agresif, dan sedikit lebih emosional dibanding aku.
“Tahu siapa yang barusan menelpon? Pakde Haryo! Tahu apa yang dia bilang? Pakde mau aja bantu kalian, tapi rumah kalian itu sudah ga ada harganya. Pakde mau bayar harga tanah saja. Astagaaa … itu adiknya almarhum Bapak atau bukan, sih? Tega!!!” Tina menjelaskan dengan nada tinggi penuh emosi sambil membanting tubuhnya ke atas kasur.
Aku menghentikan kegiatan melipat pakaian dan memandang Tina dengan kesal. “Suaranya pelan dikit, bisa? Jangan sampai Ibu dengar. Kamu mau Ibu kena serangan lagi?”
“Iya, maaf … maaf. Habis aku kesel banget sama Pakde Haryo.”
“Ya, udah. Kalau ga mau jual ke Pakde Haryo, kita nunggu pembeli yang lain. Mudah-mudahan ada yang mau beli rumah sekaligus tanah kita.” Aku mulai melipat kembali.
“Sampai kapan kita menunggu? Sementara jantung Ibu harus segera dipasangi ring.”
Aku tak bisa menjawab pertanyaan Tina. Sungguh, cobaan kali ini terasa begitu berat. Semoga semua ujian ini karena Allah sayang kepada kami.
Sudah lewat dua bulan, dan kami belum menemukan pembeli yang sesuai dengan harga yang kami tawarkan. Sementara keadaan Ibu semakin mengkhawatirkan.
Aku dan Tina sudah mengajukan pinjaman ke beberapa bank dan koperasi, tapi semuanya ditolak. Jaminan gajiku sebagai karyawan di sebuah mini market terlalu kecil untuk memenuhi persyaratan pinjaman. Apalagi Tina, yang hanya seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar.
“Ya, sudah. Biarkan Pakde Haryo yang ambil rumah ini. Ibu lebih suka kalau rumah ini jatuh ke tangan pakde kalian dari pada ke tangan orang lain.” Malam itu, Ibu yang selama ini diam, akhirnya mengutarakan pendapatnya. Aku dan Tina saling bertatapan.
“Tapi, Bu. Harga dari Pakde Haryo terlalu rendah. Masih ada yang nawar di atasnya, kok. Bapak-bapak yang datang sama istrinya itu, yang pengusaha mebel. Kita kasi ke bapak itu aja.” Aku mengangguk. Setuju dengan pendapat Tina.
“Kalau harga penawarannya tak beda jauh, kasih pakdemu saja, Nak. Mungkin dia juga ingin mengenang masa kecil di rumahnya ini. Bagaimanapun, Pakde dan bapakmu dibesarkan di rumah ini. Ibu rasa itu salah satu sebab Haryo ingin membeli rumah ini.” Ibu masih ngotot dengan keinginannya.
Aku mendengar Tina menghela napas panjang. Ibu benar-benar lugu. Dia tidak tahu kalau adik iparnya itu malah mencela rumah kami ini dengan mengatakannnya sebagai rumah tua yang bobrok dan tidak ada harganya lagi.
Mengenang rumah masa kecil, kata Ibu? Mengenang apanya. Pakde kami itu sudah terlalu nyaman di rumah besarnya yang mewah bersama istri dan anak-anaknya. Berkunjung ke sini saja, semenjak Bapak meninggal, hanya dua kali setahun, saat Idul Fitri dan Idul Adha.
“Lagipula, saat bapak kalian memberi uang pada Haryo sebagai bagiannya atas rumah ini, dia menerima dengan sabar tanpa banyak protes. Jadi menurut Ibu, biarlah pakde kalian yang membeli rumah ini. Hubungan kekeluargaan lebih penting dari pada uang.” Ibu kembali berusaha membujuk aku dan Tina.
Kami berdua kembali berpandangan. Kepalaku tiba-tiba pening. Kalau sudah seperti ini, Ibu tak bisa lagi dibantah.
Ah, ibu memang perempuan cantik berhati lembut. Bagaimana bisa Ibu bilang Pakde Haryo menerima uang bagiannya atas rumah ini dengan sabar dan tanpa protes? Itu bukan sabar, tapi karena memang seharusnya seperti itu.
Pakde Haryo tak akan menjadi pengusaha besar seperti sekarang kalau bukan karena Bapak yang menyekolahkannya sampai sarjana. Mereka dua bersaudara yatim piatu. Bapak yang merawat Pakde Haryo sejak kecil.
Saat Bapak dan Ibu menikah, Ibu membantu dengan membuat kue dan menitipkannya di warung-warung. Aku ingat betul cerita Bapak. Semuanya mereka lakukan agar bisa menghidupi aku dan Tina yang masih kecil sekaligus untuk menyekolahkan Pakde Haryo.
Setelah sarjana, Bapak pun ikut memberi modal pada Pakde Haryo yang mulai membuka usaha kecil-kecilan. Kurang baik apa kedua orang tua kami pada adiknya itu? Mengapa sekarang dia begitu perhitungan pada kami? Aku berusaha keras menahan air mata yang akan jatuh. Sedih rasanya melihat Ibu yang begitu peduli pada Pakde Haryo, tapi tidak sebaliknya.
“Baiklah, kalau Ibu maunya seperti itu. Aku dan Tini ikut saja.” Tina yang akhirnya bersuara, mewakili pendapat kami berdua.
“Kalau begitu, besok kita pindahan. Aku sudah ketemu kontrakan kecil yang dibayar perbulan. Sambil kita cari-cari rumah yang harganya sesuai dengan sisa pengobatan Ibu nanti. Sekarang Ibu istirahat. Sini, Tina antar ke kamar.” Tina berdiri dan membantu Ibu berjalan ke kamarnya. Sementara aku masih terpaku di kursi, sibuk memikirkan Pakde Haryo yang begitu tega pada kami.
Ponselku berdering saat aku membantu Ibu meminum obatnya. “Ngapain aja, sih? Kok ga lihat kiriman videoku?” Suara Tina terdengar tidak terlalu jelas sesaat setelah aku membalas salamnya.
“Habis suapin makan siang Ibu trus kasih minum obat.”
“Kalau gitu, keluar ke teras. Jangan sampai Ibu dengar suara videonya. Ingat, Ibu ga perlu tahu. Ya, udah, aku tutup teleponnya.” Tina seperti berada di tengah keributan. Di mana dia sebenarnya?
Setelah membaringkan Ibu, aku pamit keluar kamar. Ucapan Tina membuatku penasaran. Video apa yang dia kirim sampai Ibu tidak boleh melihatnya?
Aku duduk di kursi teras kontrakan kami dan mulai membuka video kiriman Tina. Tampak sebuah buldozer yang maju perlahan dan mulai menghancurkan bangunan rumah lama kami.
Ya Tuhan …! [*]
Kamar Cokelat, Mei 2022
Bionarasi:
Cokelat, seseorang yang baru belajar menulis.
Editor: Nuke Soeprijono
Sumber gambar: Google