Takut Jatuh Cinta

Takut Jatuh Cinta

“Jatuh cinta adalah menanam luka yang kau pupuk sempurna dengan rasa bahagia.”

Jam sembilan malam, aku bergolek di atas dipan kamarku. Suasana lengang, di kamar yang sunyi tiada suara, hanya suara jangkrik sesekali bernyanyi dari balik dinding berbalut tripleks ini.

Aku asik bermenung hingga aku tak bisa mengendalikan lagi, seperti orang yang tengah ngantuk berat lalu ketiduran. Renungan itu melelapkan aku kepada berbagai khayal.

Suatu kali, dia membawaku pada aku yang tengah jatuh cinta. Aku menyaksikan diriku bertemu dengan seorang gadis berbalut jilbab merah jambu, siapa dia? Aku tidak mengenalnya. Lalu aku saksikan diriku bercengkerama dengannya di tepi sungai kala senja, dia menatapku sangat dalam seperti ingin menelan mataku.

“Kau menganggap jatuh cinta itu apa?” tanya gadis itu

“Ya, jatuh cinta. Jatuh dan cinta, sebenarnya aku lebih suka membalikkan kata itu,” jawabku menatap senja nan merona.

Suasana seperti meminta kami untuk melakukan hal-hal romantis untuk disimpan di memori, agar suatu saat menjadi hal yang akan mencurahkan air mata setiap bersanding dengannya.

“Kenapa?”

“Ya, jatuh cinta itu dibalik. Cinta dan jatuh, karena aku berpikir bahwa jatuh cinta itu seperti pohon, tumbuh subur dan lalu mati.”

Dia menoleh, berkerut kening menatapku. Aku tersenyum saja, aku lempari dia dengan senyum agar dia paham maksudku. Ternyata tidak, senyum itu malah membuatnya semakin ketagihan menunjukkan rasa penasaran.

“Coba jelaskan lagi,” pintanya.

“Jadi jatuh cinta itu seperti menyimpan rasa sakit, atau bisa jadi menciptakan kebahagiaan untuk menjadikannya air mata ketika mengenang kala kau tak bersama lagi,” jelasku menatapnya.

Dia hanya terdiam, memainkan bibir mungilnya lalu menatapku lagi, seolah ingin mengungkapkan sesuatu.

Namun, sebelum aku bisa mendengarkan apa yang akan dikatakan gadis itu, aku kembali tersadar dari lamunan itu. Tak sengaja seekor nyamuk mencium mesra pipiku, aku memukulnya tanpa kasihan. Dia telah kenyang rupanya, tubuhnya penuh darah. “Serakah” kataku pada nyamuk yang menggangu lamunan yang tengah tergantung itu.

Lalu, aku berusaha kembali untuk bisa larut dalam lamunan. Aku menopang dagu dengan tangan, tapi belum juga bisa. Dan aku coba mengambil bantal guling usang milikku, kata Ibu, bantal itu sudah seumur denganku. Karena hingga jenggot mulai tumbuh saat ini, aku masih belum bisa tidur kalau tiada bantal ini di sampingku.

Aku merebahkan dagu di atas bantal itu, lalu menatap dinding tripleks kamarku. Akhirnya, cara ini berhasil. Namun, aku tidak bertemu dengan aku yang tengah jatuh cinta tadi. Melainkan aku yang tengah berbahagia bercumbu cinta bersama seorang gadis yang juga entah siapa, aku juga tak mengenalinya.

“Sayang, coba lihat senja itu,” katanya menggenggam tanganku

Aku meliriknya, dia hanya sibuk memandang langit nan merona. Seperti dia, manis seperti gula. “Aku tak ingin menikmatinya dengan serakah, nanti aku pasti akan sakit kelebihan gula,” gumamku dalam hati

Aku juga ikut melakukan aktivitasnya, menatap jingga senja dan sesekali memintanya untuk memandangku.

“Apakah kita akan seperti ini selamanya?” tanyaku

“Oh, tentu. Ini cinta sayang, kita pasti bersama,” jawabnya meyakinkan aku

Aku melihat diriku saat itu terbuai oleh perkataannya. Seperti senja, sangat indah, jingganya nan merona membuat banyak orang menikmatinya. Hingga aku melupakan suatu hal tentang senja, bahwa dia tidak berlangsung lama, dia hanya sebentar lalu ditelanjangi malam dan diperkosa dalam kegelapan untuk waktu yang lama.

Tiba-tiba lamunan itu tiada, seperti kilat, aku berpindah pada lamunan lainnya. Sebenarnya aku ingin menikmati hal-hal itu terlebih dahulu, lebih lama dari yang tak aku inginkan ini.

Dalam lamunan ini, aku temui diriku di tepi sungai. Menatap senja dengan muka basah oleh air mata, bersedih lalu sesekali mencuri oksigen lebih banyak dari alam. “Kenapa aku?” tanyaku yang melihat diriku suatu waktu tengah bersedih.

Kemudian seorang laki-laki menghampiriku, aku bergegas mengusap air mata yang masih berjatuhan. Namun merahnya mataku tak bisa menyembunyikannya. Dia adalah sahabatku, Deo. Aku melihatnya menepuk pundakku, lalu memberi sebotol air mineral

“Sampai kapan?” tanyanya

Aku bungkam, tiada kalimat yang ingin kukatakan padanya. Karena satu kata yang keluar, akan membuat hujan air mata di pipiku. Dia tersenyum, lalu membakar sebatang rokok miliknya.

“Sudahlah, tak usah kau tangisi,” katanya.

“Aku hanya menangis karena sendiri, diri yang belum terbiasa tanpa dia. Diri yang belum bisa diajak bercengkerama kalau tidak ada dia,” jawabku mencoba menjelaskan.

“Bukankah kau yang bilang: jatuh cinta itu seperti menciptakan kebahagiaan untuk suatu kenangan yang akan kau tangisi suatu hari?”

“Memang benar, tapi aku manusia, aku bisa apa ketika Tuhan memintaku untuk mencintai?”

Dia diam sebentar, lalu menatapku lagi. Sekarang tatapannya itu makin dalam seperti ingin meyakinkan sesuatu pada diriku. “Kau benar, kau dan aku pun sama. Seorang hamba dari Pencipta, lalu kenapa kau tangisi.”

Aku tak bisa berkata apa-apa. Kali ini dia sangat benar, tak ada kesalahan yang harus kusanggah pada perkataannya.

“Aku mungkin terbiasa dengan dia, dengan senja. Mungkin karena itu tangis itu tak lelah saat senja tiba.”

Dia menoleh lagi dan berkata.

“Kau mungkin mencintainya, tapi Tuhan lebih mencintainya. IkHlaslah, kau tak bisa melawan Tuhan.”

“Iyaa, tapi…”

Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba seorang seperti berteriak keras di telingaku. Aku seperti dalam bak mandi karena basah kuyup. Aku membuka mata, aku lihat superhero-ku tengah memasang muka merah tak merona, marah. Dia adalah ibuku, dia menbangunkan aku karena ternyata aku sudah menghabiskan malam dengan mimpi panjang. Tiada aku yang jatuh cinta, tiada aku yang bercengkerama dengan gadis di senja itu. Tiada aku yang membasuh muka dengan air mata. Karena saat aku bangun, hanya ada aku yang takut jatuh cinta.(*)

Anil Safrianza (BucohFs), orang yang rumit. Namun tidak menyukai hal rumit, pengagum kambing gunung.

Facebook: Anil Safrianza
Instagram: reptornfs
Wattpad: @BucohFs
Email: Safrianzaanil29@gmail.com

Meskipun tidak masuk nominasi, cerpen ini kami anggap layak terbit di KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu pertama Februari.

Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:

Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

 

Leave a Reply