Take Care!
Oleh: Dyah Diputri
Hujan belum juga reda. Sudah dua jam Bio menepi di halte bus bersama Nisa dan Eri. Hujan Desember begitu pekat. Sepekat pikiran ketiga insan yang dilanda hening itu.
Eri terlihat lebih santai dengan earphone yang menempel di telinganya. Dentuman lagu Bruno Mars membuatnya mengangguk-angguk kecil demi mengikuti irama lagu. Wajahnya berseri memandang jarum-jarum hujan yang menancap ke bumi. Senyum yang teraut dari bibir kecilnya menandakan bahwa ia tak menyesal terjebak hujan bersama dua teman barunya sepulang ekstrakurikuler karya ilmiah remaja.
Berkebalikan dengan Eri, Nisa terlihat gelisah. Seolah ingin segera pulang daripada menanti habis rintik hujan bersama Eri dan Bio. Setidaknya ia masih bisa tertawa jika hanya bersama Bio seperti saat-saat sebelum Eri hadir di antara mereka berdua.
“Arrgh! Hari semakin sore, tapi kita masih di sini. Mana belum selesai tugas sekolahku. Huh!” Beberapa kali Nisa mendengkus kasar.
“Hujan itu berkah, Sa. Nikmati sajalah!” Bio tertawa kecil menanggapi tingkah Nisa.
“Hujan itu juga selalu menyimpan kenangan. Iya, ‘kan?” Eri menimpali.
Bio sependapat dengan Eri. Pandangan mereka bertemu dalam iringan senyum yang merekah.
“Memang kenangan apa yang kau punya dari masa lalumu, Er? Dengan siapa? Pacarmukah?”
Pertanyaan Nisa sontak membuat Eri dan Bio terhenyak. Keduanya mengalihkan pandangan pada Nisa. Memang, Eri murid baru di sekolah mereka. Bio dan Nisa pun belum terlalu mengenalnya terlalu dekat.
Bio kembali menatap Eri yang memalingkan mata ke arah hujan yang mulai berhenti. Ingin rasanya Bio memastikan kalimat yang terlontar dari mulut sahabatnya, Nisa. Apa benar Eri sudah punya kekasih? Entah mengapa, ada degup tak menentu yang berpadu dengan napas yang sesak saat Eri tak berani menatap padanya.
“Hujan sudah reda. Aku pulang dulu,” ucap Eri seraya berlalu.
Nisa berdehem dan kemudian menepuk punggung Bio yang terdiam dengan pandangan kosong setelah bayang Eri menghilang. “Kau pulang atau berdiam di sini sampai malam, heh?”
Bio pun bangkit dari duduknya. Dengan malas ia menenteng ranselnya dan berjalan mengikuti Nisa.
“Tidakkah kau merasa aneh dengan tingkah Eri saat aku bertanya tentang pacar?” Nisa kembali berucap. Bio hanya menggeleng. Malas, atau mungkin jenuh.
“Eri itu aneh, Bio. Beberapa kali aku bertanya tentang masa lalunya di Bandung tapi dia hanya diam, kemudian menghindar. Aneh, ‘kan?”
Bio menghentikan langkahnya. “Siapa pun Eri, apa pun masa lalunya … dia itu teman kita. Jangan berprasangka buruk, Sa!”
“Hei, aku cuma bilang aneh. Bukan berpikir macam-macam. Walau mungkin memang kenyataannya benar!”
“Kenyataan apa?”
“Ah, sudahlah! Kau itu terbutakan cinta, Bio.” Nisa mempercepat langkahnya meninggalkan Bio.
Bio berusaha mengejar Nisa tetapi gadis itu berpura tak mendengar teriakan sahabatnya.
“Kau kenapa, sih? Kau cemburu?” Bio menarik lengan Nisa. Memaksa gadis berseragam putih abu-abu itu berhenti.
“Aku?” Nisa menunjuk dirinya sendiri, “Aku cemburu? Tidak! Dan, kau? Benar yang kubilang, ‘kan? Kau jatuh cinta pada Eri.”
“Bukan begitu, Sa. Aku hanya ingin kau tak berpikir macam-macam tentang Eri. Bisa, tidak? Sewajarnya sajalah. Dia itu teman kita juga.” Bio mulai berteriak.
Tatapan Nisa tajam mengarah pada Bio. Mana bisa dia berlama-lama diam sementara mata dan telinganya pernah menyimpan memori tentang Eri beberapa waktu yang lalu.
***
“Jadi, kau dari Bandung?” Seorang anak kuliahan berjabat tangan dengan Eri di depan kantin sekolah. Seperti biasa, Eri tersenyum manis dengan binar mata yang meluluhkan hati setiap lelaki.
“Kakak alumnus sekolah ini? Senang berkenalan dengan Kakak,” ucap Eri semringah.
“Yang tadi berjalan denganmu itu … pacarmu?” tanya lelaki itu kemudian.
Eri tertawa sembari menutup mulutnya. Lalu kepalanya menggeleng, mirip boneka Barbie yang lucu. “Dia? Pacarku? Haha. Bukan, Kak. Mana mungkin, sih, aku pacaran sama cowok bego kayak gitu. Dia itu culun, Kak. Gampang banget dideketin, padahal aku mah cuma pengen dibantu ngerjain PR gratisan. Hihi ….”
Mereka tertawa bersamaan dan mengobrol lebih lama lagi. Sampai si Pria berpamitan dan tinggallah Eri sendiri, dering gawai mengagetkan Eri. Eri nampak emosi dan berkali-kali memaki si Penelepon. Terakhir kali, sebelum mematikan telepon Eri berucap, “Kita udah putus, ya. Aku gak peduli. Banyak, kok, cowok yang antre jadi pacarku!”
***
“Sa! Nisa! Malah melamun, sih!” Bio mengguncang-guncangkan lengan Nisa. Nisa terperanjat kaget karena disadarkan paksa dari lamunannya.
“Bio! Sudah, ya. Aku tidak tahan lagi. Aku beri tahu, ya … Eri itu tak sebaik yang kau kira!”
Bio menggeleng heran. Dielusnya puncak kepala sahabatnya yang cerewet itu. “Sudah, ah! Jangan ngaco! Aku pulang dulu,” pamit Bio.
Hari terus berlalu. Mengguratkan sedikit demi sedikit rasa muak di diri Nisa setiap kali melihat Eri. Anehnya, Bio terlihat semakin lengket dengan Eri. Kedekatan keduanya membuat Nisa mundur perlahan demi menghindari pertengkaran dengan Bio, sahabatnya.
“Sa. Aku jadian sama Eri,” ungkap Bio tiba-tiba.
Nisa hanya mengernyit. Sebisa mungkin dihapusnya riak sedih dan cemburu yang membuat di dada. Bisa apa dia, jika sahabatnya sudah berbulat tekad menutup pintu hati untuknya. Untuk orang yang salah pula. Well, hidup harus tetap berjalan, bukan?
“Selamat, Teman! Hmm, setelah saat ini kau akan lebih sering bersamanya.” Nisa menghela napas panjang. “Tak mengapa, sahabat memang hanya tempat bersandar saat kesusahan, ‘kan?” lanjutnya.
“Apa menurutmu seperti itu?” tanya Bio. Terbersit rasa tak percaya kalau Nisa bisa bicara seperti itu sepanjang enam tahun persahabatan mereka.
“Tidak. Kau tahu aku, ‘kan? Aku tidak sepicik itu. Kau tenang saja, Bio. Nanti kalau kau patah hati, hubungi aku. Anggap saja saat ini aku belum kau butuhkan untuk berkeluh kesah.”
“Memang salah, ya, jika aku membagi kebahagiaan kepada sahabatku? Come on, Sa! Semut pun senang melihat hubunganku dengan Eri berjalan dengan baik. Kau sahabatku! Harusnya kau—”
Nisa menjentikkan jari telunjuknya di bibir Bio. “Pergilah! Aku bahagia kalau kau bahagia, Bio. Sebaliknya, aku akan bersedih kalau kau tersakiti. Jadi, jaga dirimu!”
Nisa berlalu meninggalkan Bio yang sebentar saja sudah digandeng oleh Eri. Dua sejoli itu berjalan mesra merayakan kebersamaan mereka.
Beberapa bulan kemudian ….
Kereta api jurusan Surabaya-Jakarta melesat dengan cepat. Masih terngiang di benak Nisa kalimat terakhir yang diucapkan Bio saat melepasnya pergi.
“Seorang sahabat tak akan bisa berdiri sendiri tanpa sahabatnya. Kecuali jika sahabatnya meninggalkan janji dan menguarkan semangat hidup untuk perayaan pertemuan selanjutnya.”
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Beberapa bulan menjalin hubungan dengan Eri, saat tiba ketulusan sekolah barulah Bio tahu bahwa Eri tak pernah benar-benar mencintainya. Bio menyesal karena selama ini ia tak menghiraukan kata-kata Nisa.
Bio menanti Nisa di gerbang sekolah tetapi sahabat terbaik itu tak pernah muncul hingga acara perpisahan berakhir. Nisa telah menyiapkan dirinya untuk melanjutkan kuliah di Jakarta.
“Sahabat tak akan benar-benar meninggalkanmu dalam kesedihan, Bio. Kecuali hanya untuk membuatmu lebih kuat menghadapi dunia. Take care,” ujar Nisa sebelum pergi meninggalkan Bio.
Malang, 3 Maret 2019.
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. Fb: Dyah Maya Diputri. Email: dyahdiputri@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata