Takdir di Bawah Kolong Ranjang Kita

Takdir di Bawah Kolong Ranjang Kita

Takdir di Bawah Kolong Ranjang Kita
Oleh: Dyah Diputri

Darsih.
Saat aku menuliskan namamu hari ini, sinar matahari masuk ke pori-pori kulit kepalaku sampai menimbulkan hawa panas. Rasa-rasanya rambut cepak keperakan yang baru kucukur bulan lalu, mendadak saling berdiri untuk menantang sensasi gatal. Aku duduk di kursi, di depan sebuah ruko yang sedang tutup. Namun, dari ujung kepala hingga ujung kaki tak bisa bersembunyi dari sengatan bola api raksasa itu. Sambil menyelesaikan lembar TTS terakhir, di sampul belakang yang berwarna putih susu, aku mengarsir-arsirkan pena.

Sesekali aku berdiri untuk mengatur parkiran di sepetak halaman itu, menerima lembar-lembar rupiah sambil menyeka keringat. Lantas begitu duduk kembali, kuputar otak untuk mencari jawaban TTS, lalu menulis di lembar kosong saat tidak menemukan jawaban. Begitu seterusnya.

Aku menulis: Darsih ayu. Poedjaan hatikoe, tempoe doeloe.

Seraya mengisap rokok keretek, aku bersandar di kursi. Menghitung berapa pendapatan parkir setengah hari, lalu menyimpannya di dompet hitam buluk yang kulitnya sudah mengelupas. Nanti sampai di rumah, akan kumasukkan uang-uang itu ke dalam kaleng biskuit bekas yang melegenda—dan aku pun suka, kemudian menyimpan kembali di bawah ranjang.

Aku menulis lagi: Doeloe kita bersama, indah dunia.

Beranjak sore, orang-orang masih keluar masuk swalayan. Sebagian keluar membawa keranjang-keranjang plastik beraneka warna dan ukuran, sebagian lagi masuk sambil menggandeng anggota keluarga. Pun, mereka akan keluar lagi dengan bawaan yang serupa, lalu masuk lagi yang lainnya. Kadang aku heran, apa yang mereka cari dan lakukan di dalam swalayan itu? Kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan, menghabiskan uang yang tidak habis-habis, atau mencari kebahagiaan yang tidak ditemukan di rumah?

Aku menerima uang parkir mobil untuk kesekian kali. Ditambah uang lima ribuan di saku celana yang belum sempat terhitung—tadi, kumintai tolong seorang pengemis kecil untuk menyeberang jalan dan membelikanku TTS baru. Dia sudah paham, uang kembaliannya adalah upahnya.

“Mau yang gambar apa, Pakde? Cewek cantik berkaca mata, atau yang bajunya melorot-melorot?” Seperti biasa, dia iseng menggoda.

“Halah, kaya kamu tahu aja wanita cantik. Beli saja bukunya! Gambar orang, gambar monyet, gambar kingkong, sama saja! Kalau cantik bukan milik kita, ya percuma.”

Aku duduk, menghela napas dan memandang TTS terakhir yang kolomnya hampir tercoreti penuh.

Darsih, kamoe bilang, oeang bisa mengoebah doenia. Kamoe main serong dengan pria lain. Aku menulis lagi.

Si bujang kecil berlari dari jauh hanya untuk mengantarkan TTS pesananku. Oleh karena dia membantu memarkirkan motor pengunjung yang baru datang saat itu pula, maka kuberi bonus lima ribu untuknya.

“Pakde, nggak pusing apa ngisi TTS terus?”

“Lebih pusing mana, kalau tidak ada orang lewat yang ngasih kamu duit?”

Pengemis kecil itu menggaruk-garuk telinga yang penuh debu jalanan. Sekujur badannya memang sudah hitam, tetapi hidup di jalanan tentu membuatnya lebih dekil.

“Pakde, rezeki itu sudah ada yang ngatur. Kita nggak usah bingung mikir itu. Tapi kalo nggak bisa ngerjain TTS, tetep aja pusing.”

“Karena aku nggak mikir duit seperti kamu, lalu mau mikir apa lagi?” ledekku.

Dia tertawa konyol, lalu pamit pergi lagi, menjemput uang lewat tadahan tangannya. Sementara itu, sebelum mengisi lembar TTS yang baru, aku ingin kembali menulis ….

Ah, tidak! Lembar kosong sudah habis karena tulisanku yang besar-besar dan tidak beraturan. Maka, kusimpan saja kata-kata untuk Darsih di dalam hati.

Darsih, lihatlah ke dalam kolong ranjang kita, di dalam kaleng biskuit itu ada banyak uang yang tidak mengubah dunia. Aku mendapatkannya, tetapi tidak bisa membawamu kembali ke dalam pelukanku.

Kamu bohong, Darsih! Uang tidak bisa mengubah segalanya. Bahkan meski aku tetap hidup seratus tahun lagi dan memenuhi berpuluh-puluh kaleng biskuit dengan uang, kamu tidak bisa hidup lagi—walau sekadar meminta maaf kepadaku.

Di dekat kolong ranjang itu, yang mengubah dunia adalah takdir. Takdirmu yang telah mati di tanganku. Sayangnya, kamu pergi membawa takdirku. Takdir untuk tidak bisa melupakanmu.*

Malang, 4 Agustus 2020


Dyah Diputri
Pecinta diksi yang tak sempurna. Fb: Semutnya Al El, email: dyahdiputri@gmail.com

Leave a Reply