Tak Sebaik yang Kaupikir

Tak Sebaik yang Kaupikir

Tak Sebaik yang Kaupikir
Oleh: Karna Jaya Tarigan

Segelas kopi hangat di pagi ini. Bermalas-malasan sambil berbaring santai di tepi ranjang. Mendengar alunan musik yang menyenangkan dan membuai perasaan. Amboi, betapa nikmatnya kehidupan. Dua potong Terang Bulan sisa semalam masih menunggu penuh gairah untuk segera ditelan. Juga setengah bungkus rokok menunggu untuk dinikmati dalam-dalam hembusan asapnya. Bahagia yang sederhana. Jangan diperumit dengan impian-impian yang sempurna. Itu mimpi seekor katak yang hendak memeluk bulan, terlalu tinggi berharap. Mana sanggup dicapai dengan ribuan kali lompatan!

“Hidup itu jangan mengada-ada, seadanya saja …,” begitu kata seorang temanku.

Maksudnya, jika kita menginginkan sesuatu, tak perlu berangan-angan atau berandai-andai terlalu muluk. Yang penting uang selalu ada untuk menukarnya. Ah, dia pandai sekali, seperti seorang filsuf yang baru selesai sarapan.

Jari-jemariku menari-nari dan  bergerak lincah di atas layar gawai. Sebentar mengetik, sebentar memindahkan layar, sebentar pindah ke atas, lalu bergeser ke bawah, ke kiri, ke kanan. Membalas pesan WhatsApp satu per satu. Semua kujawab dengan kata-kata bersayap penuh makna. Laksana puisi-puisi yang ditulis oleh penyair merindu.

“Ada apa, Sayang?” Sebuah pesan masuk.

“Aku mau pamit, Cinta! Besok aku pulang kampung beberapa hari. Ibu masuk Rumah Sakit, rawat inap,” begitu balasanku.

“Aduh, Sayang. Yang sabar, ya! Kamu enggak apa-apa, ‘kan? Aku jadi ikutan sedih ….”

Oh! Jawabannya penuh simpati. Ia sungguh seorang gadis yang baik sekali.

“Iya, Beb, aku bakal rindu kamu. Kangen ….”

“Aku tahu. Aku juga pasti rindu kamu,” ia membalasnya.

“Berapa banyak yang kamu butuhkan, tiga ratus ribu? Memangnya cukup?” Ia kemudian bertanya.

“Enggak tahu, sayangku! Segitu ajalah, takut nanti enggak bisa bayar ke kamu.” Aku mengambil napas sedikit dalam.

“Ya udah. Ini aku kasih uang lebih. Tak transfer tiga juta, ya… buat jaga-jaga. Takut enggak cukup nanti, biaya rumah sakit mahal!”

“Jangan—jangan, itu kebanyakan!” Aku berusaha mencegahnya.

“Enggak apa, enggak usah dipikirin. Aku ikhlas kok. Masa aku nagih sama  pacar sendiri. Enggak usah kamu bayar. Aku tahu kamu sedang kesusahan.”

“Yang penting ibumu cepat sembuh.”

“Iya, Sweet Heart. Aku enggak tahu harus ngomong apa ke kamu nanti. I just wanna say: I love you.”

Me, too.”

Oh! Perangkapku telah bekerja.

***

Gerai Anjungan Tunai Mandiri, di  siang hari. Tanggal tua, sepi tanpa banyak orang yang ikut mengantre. Kumasukkan kartu ATM dan menekan beberapa nomor sandi. Hap! Sekejap terlihat angka-angka yang fantastis. Sebelas setengah juta rupiah. Wow! Pundi-pundi uangku berubah dalam seketika.

Begitu mudah mendapatkannya. Aku hanya ketak-ketik sambil tiduran santai, menuliskan rayuan gombal semanis kata-kata terbalut madu. Dan mampir sesekali kepada mereka untuk berbagi hari, juga kasih.

Tadi aku hitung dengan teliti. Dari Renata, satu juta. Emily, dua juta. Ah, gadis ini terlalu baik, belum lama mengenalku langsung percaya! Wenny, wanita cantik yang kelak mewarisi pabrik konveksi ayahnya, memberi lima juta, aku harus sungguh-sungguh mempertimbangkannya sebagai calon istri. Dinda, cantik dan seksi, ternyata ia sedikit pelit. Cuma memberi lima ratus ribu. Alasannya, penjualan bulan ini sebagai SPG tidak memenuhi target, sedikit sepi. Ah, ia layak kucoret dari list calon istri. Dan juga dari Amira, gadis berkaca mata yang sangat pendiam. Begitu mendengar ceritaku langsung iba. Tiga juta tanpa basa-basi, ditransfernya barusan tadi. Gadis yang lugu, padahal baru kupeluk sekali.

Aku bingung mana yang kupilih nanti?

***

Hidup di Jakarta yang keras harus sedikit cerdik. Aku terlampau bosan dengan hidup susah. Terlahir sebagai anak seorang pencopet di bus kota, aku tak pernah mengenal kasih sayang seorang ibu.

“Bahkan belum puas kamu menyusu, ia telah pergi dengan kekasihnya yang baru,” cerita Ayah dahulu.

Kami tinggal di sebuah perkampungan kumuh, menyelip di bawah kaki-kaki bangunan tinggi yang angkuh. Aku dibesarkan dan dinina-bobokan oleh nyanyian siapa saja. Wanita-wanita yang berdandan dengan gincu tebal dan bibir yang dipoles lipstik warna merah menyala. Yang setiap malamnya berdiri di sudut-sudut sepi tepi jalan sambil berdiri menanti. Menjajakkan cinta kepada lelaki-lelaki yang ingin dihangatkan oleh dinginnya malam.

Pelajaran pertama yang lama-lama kutahu dari sosok perempuan serupa Ibu adalah pelajaran merayu.

“Wajahmu tampan. Jangan kau sia-siakan anugerah itu,” begitu kata Ibu sambil mengedipkan matanya, dan ibuku yang lain tertawa.

 

Karna Jaya Tarigan. Seorang penulis pemula. Terdampar di laman Facebook: sebuah dunia baru untuk berkarya. Tinggal di Kota Bekasi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply