Tak Pernah Sampai
Oleh : Fei Ling
Sri menatap bingung ke arah ayah dan ibunya. Benak anak berusia tujuh tahun itu bertanya-tanya, kira-kira apa penyebab kedua orangtuanya saling berteriak diselingi suara tangisan adiknya yang baru lahir. Tiba-tiba di tengah keributan, Sri merasakan lambungnya perih bagaikan tertusuk ribuan jarum.
Merasa tidak sanggup menahan sakit, dia memegangi bagian yang nyeri dan berkata, “Ibu, lapar ….”
Anak kecil itu berusaha menyerukan apa yang dirasakannya. Alih-alih mendapat perhatian, dia malah menerima hardikan dari ibunya.
“Jangan manja! Bukan hanya kamu yang lapar, Sri. Adikmu juga. Ini semua salah bapakmu! Bukannya kerja mendapatkan uang, eh malah jadi pengangguran!”
Sri tidak mengerti dengan ucapan wanita yang dipanggilnya ibu itu. Pikirannya tidak memahami hubungan antara lapar dengan bapaknya. Baginya, lapar harus makan, bukan malah marah.
“Kamu pergi ke warung Mbok Nah sekarang. Bilang kalau Ibu pinjam beras satu liter, bubur bayi, dan mi.”
Mendapat perintah seperti itu, Sri tanpa banyak bicara bangkit dan melangkah keluar rumah. Tentu saja dia masih memegangi perutnya yang makin nyeri.
***
Beberapa bulan yang lalu.
Kemiskinan seakan-akan membayangi kehidupan Sri sejak lahir. Paino–sang bapak–yang bekerja sebagai tukang tambal ban tidak mampu memberi kehidupan yang cukup untuk keluarganya. Melihat hal itu, Sum sebagai seorang istri tidak tinggal diam. Dia membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh cuci warga kompleks seberang.
Akan tetapi, usaha Sum terhenti ketika kota tempat tinggal mereka dilanda penyakit misterius yang belum ada obatnya, dan menyerang warga sekitar hingga mengakibatkan kematian. Mau tidak mau, akhirnya walikota setempat mengeluarkan peraturan pembatasan jam malam kepada seluruh penduduknya. Hal ini berdampak pada pekerjaan Paino dan Sum.
Sering kali Paino pulang tanpa membawa uang sepeser pun, karena tidak ada orang yang menambal ban. Sum mengalami hal yang sama. Beberapa warga sekitar yang ketakutan memilih mencuci bajunya sendiri. Tidak lagi menggunakan jasa buruh cuci. Sum jadi lebih sering berada di rumah, tak bisa lagi mencari penghasilan tambahan.
Mungkin bagi sebagian orang, kehamilan adalah berkah, tetapi tidak dengan pasangan suami istri tersebut. Paino hanya bisa menarik napas panjang saat mengetahui istrinya hamil. Perasaan pria itu campur aduk, antara gembira dan resah memikirkan nasib anak-anaknya kelak. Sri saja belum bisa daftar sekolah karena tidak ada biaya. Lalu, beberapa bulan kemudian adiknya akan lahir dan pasti memerlukan uang yang lebih banyak lagi. Paino hanya bisa berdoa kepada Tuhan agar dilancarkan segala urusan, baik pekerjaannya maupun kehamilan Sum.
Hujan deras yang mengguyur disertai gemuruh suara petir menyamarkan teriakan kesakitan Sum pada malam itu. Sri pun tanggap dan bergegas meminta bantuan tetangga untuk memanggil orang yang bisa menolong ibunya. Anak kecil itu melaksanakan perintah Sum yang berulang kali mewanti-wanti agar segera minta pertolongan apabila waktunya tiba. Selang beberapa menit tetangga berserta bidan puskesmas tiba di rumah reyot itu. Tak menunggu lama, mereka langsung menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan orang melahirkan.
“Panggil ayah bayi ini,” kata bidan tersebut.
Tetangga yang mendampingi sang bidan tadi meminta tolong kepada suaminya agar menjemput Paino.
Beberapa malam menjelang anak keduanya lahir, Paino memang selalu pulang larut malam. Dia bekerja lebih keras supaya bisa membawa pulang uang lebih banyak. Beruntung bidan puskesmas bersedia membantu persalinan istrinya tanpa mau menerima uang sepeser pun, sehingga bisa meringankan beban Paino. Malam itu Paino masih saja menunggu orang yang mungkin datang untuk menambal ban bocor, tetapi sia-sia.
“No, cepat pulang. Istrimu melahirkan.” Kalimat dari Yanto–suami si tetangga–membuat Paino segera mengemasi barang-barang dan menutup kiosnya.
Derasnya hujan membuat jalanan menuju rumah Paino menjadi licin sehingga mereka harus berhati-hati jika tidak ingin tergelincir. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Manusia berusaha waspada supaya terhindar dari mara bahaya, tetapi Pemilik Semesta yang berkuasa.
Sebuah mobil bak terbuka melaju dengan kecepatan tinggi. Karena kondisi jalanan yang menurun, pengemudi kendaraan beroda empat itu tidak bisa mengendalikan laju mobilnya. Terjadilah kecelakaan itu.
Sum berjibaku melahirkan bayinya dan Paino berjuang agar tetap hidup. Mereka berdua bersama-sama bertahan dengan kondisi masing-masing.
Akibat tabrakan itu, Yanto mengembuskan napas terakhirnya di lokasi kejadian, pengemudi mobil pun meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit, dan Paino tidak sadarkan diri. Darah mengucur deras di sekitar kakinya.
Malam itu mengubah kehidupan Sri. Pada saat yang sama dia mempunyai ayah yang tidak bisa berjalan lagi, dan seorang adik yang baru saja lahir.
***
Setelah lima belas menit Sri berjalan kaki menembus kegelapan malam, tibalah dia di warung Mbok Nah. Sebenarnya tidak jauh dari rumah Sri ada warung lain, tetapi hanya Mbok Nah yang mau memberikan utang kepada ibunya. Mau tidak mau Sri terpaksa ke sana, walaupun harus menempuh perjalanan yang lebih lama karena letak warungnya agak jauh. Seperti biasa Mbok Nah memberikan bahan makanan yang diminta Sri dan keluarganya, tidak lupa berpesan kepada gadis kecil itu agar selalu berhati-hati ketika berjalan sendiri. Sri mengangguk mendengar nasihat dari wanita yang lebih pantas disebut nenek olehnya.
Sri bernyanyi lirih guna mengusir keresahan dan rasa takut dalam hati. Dia merasa seolah-olah ada orang lain yang mengikuti perjalanannya. Berkali-kali Sri menghentikan langkah kaki kecilnya untuk menengok ke belakang, barangkali firasatnya benar. Namun, pandangannya tidak menangkap satu orang pun. Dia sendirian.
Tibalah di salah satu persimpangan gang, Sri hanya perlu belok kanan dan jalan sekitar lima ratus meter ke depan hingga tiba di ujung kolong jembatan tempat dia dan keluarganya tinggal.
“Nak ….” Suara seseorang mengagetkan Sri.
Seorang lelaki bertubuh tinggi tiba-tiba muncul dari sebelah kiri Sri. Dia menggunakan topi sebagai penutup kepala dan sebagian mukanya. Karena kurangnya penerangan di gang tersebut, bentuk wajah pria itu makin tidak bisa terlihat dengan jelas.
“Apa yang kau bawa? Kemarikan!” perintahnya.
Sri enggan memberikan barang yang ada di tangannya. Anak kecil itu tahu apabila dia pulang tanpa membawa bungkusan itu, keluarganya akan kelaparan. Selain itu, hati kecil Sri memberi peringatan supaya dirinya harus pergi menjauhi orang itu, tetapi terlambat.
Pria misterius itu seakan-akan mengerti jika Sri mengambil ancang-ancang untuk lari. Segera saja dia sedikit membungkuk dan membuka tangannya lebar-lebar. Dalam sekali gerakan, dia berhasil menggendong tubuh kecil Sri. Diperlakukan seperti itu, Sri hendak menjerit, tetapi urung karena telinganya mendengar lelaki itu berbisik lirih.
“Diam atau kau tidak akan bisa pulang.”
***
Beberapa hari lalu berita di media cetak maupun online di kota itu menginformasikan tentang kaburnya seorang terpidana mati kasus pedofilia dan pihak kepolisian masih belum menemukan keberadaan penjahat kriminal itu.[*]
Surabaya, 13 Juli 2021
Fei Ling, bagi seorang Fei, menulis adalah kegiatan yang membuatnya tetap gila.
Editor : Rinanda Tesniana
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata