Tak Lagi Sama

Tak Lagi Sama

Tak Lagi Sama

Oleh: Jemy

 

 

Pulang.

Satu pesan masuk via WhatsApp membuatku segera membersihkan peralatan lukis yang berserakan di lantai. Cat, kuas, dan beberapa gambar yang telah jadi cepat kusimpan di lemari. Setelah semua tersusun rapi dan aman, aku segera menutup pintu menguncinya dan berlari ke depan menuju rumah yang sudah lima tahun ini aku tempati.

Langkahku kian pelan, saat kulihat seseorang sedang berdiri di teras dengan kedua tangan bertumpu pada pinggang. Ia menatapku tajam, tak ada senyum yang menghiasi wajahnya, sehingga membuat jantungku berdegup kencang. Aku tak siap menerima segala sumpah serapahnya.

“Lani! Apa perlu Ayah bakar gudang itu, agar kamu berhenti melukis?” ucap Roy, ayah Lani.

Aku menunduk, tak kuasa menatap wajah Ayah. Dadaku serasa nyeri seperti ditikam belati. Keringat dingin terasa mengalir di dahiku, lalu menetes ke sisi wajah.

“Ngapain gambar-gambar enggak jelas begitu, mau jadi apa kamu?”

Lagi, amarah Ayah masih belum juga reda. Sesekali jari telunjuknya menunjuk ke arahku yang masih diam terpaku di depannya. Perlahan tetapi pasti, helaan napasku kian memberat, kedua mata mulai berembun dengan pandangan yang memburam. Nanar, aku menatap sepasang kaki yang berdiri kaku di depanku.

Tiap kali Ayah memarahiku karena melukis, saat itu juga kilasan masa lalu tentang keluarga yang harmonis melintas di benak. Ibu yang sibuk memasak dan memotong sayuran, sedangkan Ayah duduk di kursi dengan koran di tangannya. Sesekali ia menyeduh kopi buatan Ibu. Ah, aku rindu. Kenangan itu membuatku kian pilu dan tak kuasa membendung air mata.

“Nangis, sedikit-dikit nangis. Jadi perempuan itu harus kuat, tegas, jangan cengeng!” bentak Ayah, lalu berlalu pergi meninggalkan rumah, mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, hingga perlahan deru motor itu tak terdengar lagi.

Tanpa menoleh ke belakang, aku masuk ke rumah mengunci pintu dan duduk di ruang tamu mengumpulkan puing-puing semangat yang tercecer entah ke mana.

Sejak kepergian Ibu, duniaku tak lagi sama. Ayah pun kian menjadi tak acuh terhadapku dan sering keluar malam. Hingga suatu hari, aku hendak membereskan gudang dan menemukan tempat lukis. Sebuah tempat yang menjadi pelarian selama ini.

Namun, ketidaksukaan Ayah terhadap seni lukis membuat jarak di antara kami kian merenggang. Entah kapan terakhir kali kami bersenda gurau berdua. Sepertinya cukup lama hingga aku lupa kalau kami pernah dekat.

 

***

 

Seberkas sinar matahari masuk melalui celah cendela. Dengan perlahan aku bangkit dari kursi menatap sekitar yang masih sepi. Kurentangkan kedua tangan sembari menggerakkan badan juga otot-otot yang terasa kaku.

Perlahan aku melangkah dan membuka pintu, lantas mengernyit silau terkena cahaya matahari yang sudah naik ke atas. Sayup-sayup terdengar suara dinding yang dibongkar lalu ada dua orang bapak-bapak tampak sibuk mengeluarkan barang-barang dari dalam gudang.

Aku bergegas lari menghampiri mereka. Saat jarak kian dekat, pandanganku terpaku pada sebuah lukisan seorang wanita yang tersenyum sendu, yang hendak diletakkan di tumpukan sampah-sampah—yang hendak dibakar. Aku berteriak hingga si bapak bertopi hitam itu menghentikan langkahnya.

“Berhenti … jangan dibuang!”

Aku mendekat dan mengambil lukisan wajah Ibu, lalu memeluknya erat seolah-olah mencari ketenangan. Sementara bapak bertopi hitam itu tampak tak acuh dan melanjutkan pekerjaannya lagi.

Kuhela napas panjang, berharap sesak di dada berkurang. Biarlah tempat ini hancur. Aku masih bisa melukis di mana pun.

Kumasuki ruang yang sudah tidak banyak lagi perabotan, terus berjalan belok ke kiri lantas lurus lagi. Setelah dua ruangan terlewati, aku belok ke kanan, menuju ke satu ruangan yang mungkin nanti tidak lagi bisa kudatangi.

Langkahku terhenti menatap lelaki paruh baya sedang melihat hasil lukisanku. Sebuah gambar tiga orang manusia yang tersenyum lebar menatap awan. Aku ingat itu adalah saat-saat kami pergi berlibur bersama dulu, bertahun-tahun lalu sebelum sebelum kepergian Ibu.

“Ayah … rindu. Satu-satunya kenangan yang paling melekat adalah melukis dengan Ibu. Tiap kali aku melukis selalu merasakan kehadirannya, meski saat aku tertawa dan menoleh ke samping tak ada siapa pun termasuk Ibu.”

“Tapi … kenapa Ayah tidak suka melihat Lani melukis?

“Lani, kamu tahu Ayah sayang sekali sama ibu kamu. Kepergiannya membuat Ayah tak suka lagi pada melukis. Karena itu, hanya membuat Ayah sulit berdamai dengan masa lalu.”

Kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing meratapi goresan takdir yang terasa berat. (*)

 

Palangka Raya 15, September 2021

 

Jemy. Gadis kelahiran Kalimantan Tengah yang sedang belajar aksara.

 

Editor: Dyah Diputri

 

pict sourch:

https://pixabay.com/illustrations/watercolor-portrait-watercolor-art-2480541/

 

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply