Tak Ingin Rasa
Oleh : Irisma
Jika ditanya saya ingin apa, tentu saja saya akan menjawab: saya ingin bahagia. Namun, jika saya ditanya apa yang paling tidak saya inginkan, maka akan saya jawab pula: saya tak ingin cinta, rindu, dan kamu. Saya tidak ingin merasakan apa-apa. Kenapa? Karena ketiganya sama-sama menyiksa batin. Dan saya tidak suka tersiksa, saya ingin bebas, sebebas burung yang bisa terbang ke mana pun mereka mau, tidak perlu dihentikan lampu merah ataupun kemacetan.
Nama saya Delisa. Saya perempuan. Sejak awal saya sudah benci dengan cinta, saya tidak ingin merasakan rasa itu, rasa yang bisa membuat orang berubah, bisa saja jadi lebih baik, kadang pula malah memburuk, itulah cinta, rupa-rupa akhirannya.
Namun, semakin saya menjauhi rasa ini; semakin saya membencinya, rasa ini justru saya rasakan. Bahkan, sempat memabukkan saya. Aih, sungguh besar pengaruh rasa ini, bahkan berhasil membuat saya mabuk berat. Bahkan, tak tahu arah jalan pulang karena menurut saya kamulah rumah saya. Dan itu semua saya rasakan sejak bertemu dengan kamu. Satu-satunya orang yang bisa mencairkan hati seorang gadis remaja yang berhati beku. Saya tak tahu kapan dan bagaimana mulainya, tapi itulah cinta, bisa datang kapan dan di mana saja, asal sudah merasakan kecocokkan, di situlah rasa mulai tersemat.
Saya masih cukup ingat, pertemuan serta perpisahan kita. Sebut saja demikian karena kita memang hanya bertemu sekali dan berpisah sepanjang waktu.
Waktu itu, kita berjanji bakal bertemu di tempat yang telah ditentukan. Kamu menghubungi saya dan saya pun merespons. Ketika sore hari beranjak senja, kita bertemu. Bibirmu tak pernah lelah melukis garis melengkung yang teramat manis, pandanganmu meneduhkan, membuat hati makin bergetar.
“Senang bisa bertemu denganmu. Ternyata kamu lebih cantik dibanding foto yang selama ini hanya bisa saya pandang lewat layar. Mengalahkan indahnya semburat senja, dan manisnya cokelat yang saat ini saya bawakan untukmu. Rasanya saya jadi ragu memberimu cokelat, takut jika nanti sudah memakannya, kamu malah makin manis dan membuat saya jadi diabetes dadakan hanya karena lama memandang wajah ayumu.”
Seketika saya tersipu. Gadis zaman apa yang tak bakalan tersipu jika dilontarkan kata-kata demikian? Walau terkesan receh, tapi itulah kenyataan. Jika sudah merasakan, apa pun akan terkesan berbeda dan berwarna.
“Andai saya punya waktu lebih lama, saya sangat ingin bisa bersama dengan kamu terus. Namun sayang, saya tak punya banyak waktu. Tapi ketahuilah, saya benar-benar cinta sama kamu, lebih dari rasa cinta pada diri saya sendiri. Namun, tak lebih dari rasa cinta saya pada wanita yang tiada duanya bagi saya.”
Saya terdiam lagi, mencoba mencerna. Kamu masih menyunggingkan senyum, saya membalasnya dengan senyum manis pula. Hari itu, saya hanya berlaku sebagai pendengar. Entah kenapa lidah saya kelu hanya untuk sekadar berucap. Sedang kamu, berbagai kisah telah kamu sampaikan pada saya, dari yang manis, inspiratif, hingga yang paling targis. Saya jadi prihatin, tetapi tetap bersikap biasa saja seolah tak mendengar apa-apa. Dan, hal itu saya lakukan sesuai pintamu. Dan saya akui, kamu adalah pencerita yang teramat mengagumkan.
Hari itu, kita memang terpisah, oleh jarak dan waktu. Namun, hati kita, sudah saling terikat satu sama lain.
Nama saya, Delisa. Sejak mengenal rasa yang bernama “cinta”, rasa lain pun ikut saya rasakan. Dan hal inilah yang membuat saja makin tak tenang. Hati saya selalu risau apabila tak mendengar kabarmu yang berada di tempat entah.
Pikiran mulai berpikir aneh-aneh, hati saya jadi bimbang, dan rasa ini makin terasa saja. Inikah rasa yang dikatakan “rindu” itu? Jika iya, maka katakan pada penciptanya, saya tidak kuat merasakan rasa ini, terlalu berat. Biarlah orang lain saja yang merasakannya.
Namun, hari berganti begitu saja, berganti bulan, bahkan berganti tahun. Saya masih setia menunggu kabar. Namun, tak ada juga yang sampai. Kamu seperti pergi menjauh, sangat jauh, seolah enggan untuk kembali. Komunikasi yang awalnya lancar saja tiba-tiba terputus. Ponsel sudah tak ada arti jika tak ada dering yang memamggil, surat pun tak lagi terbalas.
Saya mulai risau, rasa itu juga ikut memuncak. Meninggalkan kesenduan yang berakhir kegalauan. Sungguh luar biasa rasa ini. Awalnya cuma satu, namun semakin lama semakin beranak saja, membuat dada semakin sesak, dan jantung sudah merasa lelah untuk berdetak lagi. Saya benci rasa ini, saya tak ingin merasakannya lagi.
Saya jadi heran, apakah dua rasa ini memang selalu ada saat seseorang sedang dilanda asmara? Jika iya, betapa sulit rasanya bercinta, akan selalu ada dua rasa yang selalu menghantui. Pertama mencintai, kedua merindui. Dan itu sama-sama berat untuk dijalani.
Namun, semua ini telah berakhir, semuanya hanya tinggal kenangan semata. Kamu pergi, rasa itu pun perlahan pergi. Walau awalnya menetap dan enggan beranjak, akhirnya dia menyerah dan membiarkan saya hanya bisa mengenang saja. Saya sebenarnya paham dengan apa yang kamu katakan di waktu kita bertemu dan akan berpisah. Saya tahu waktu yang kamu maksud itu adalah kesempatan hidup, dan orang yang tiada duanya itu adalah ibumu.
Andai Tuhan masih bersedia melonggarkan waktu untukmu, pastinya saya sangat menginginkan cinta, rindu, dan kamu. Akan tetapi sayangnya, tidak, makanya saya paling tidak menginginkannya: cinta, rindu, dan kamu karena hanya berujung duka semata. Dan jika tak ada kamu, maka tak akan ada pula cinta dan rindu.
“Jika saya sudah pergi nanti, tidak usah mencari saya lagi, pun dengan menunggu kabar kapan saya pulang. Karena itu hanya sia-sia. Dan juga, kamu tidak perlu menghubungi saya, di sana kami tidak bisa menggunakan ponsel, teknologi mungkin saja ada, tapi berbeda. Namun, jika memang ingin berkomunikasi dengan saya—jika sudah teramat rindu, maka berdoalah, biarlah Tuhan yang menyampaikan. Dan tetaplah percaya, bila saya hanya cinta sama kamu. Saya mungkin tak akan kembali, tapi saya janji akan menunggumu di tempat di mana yang hidup akan pergi ke sana juga setelah mati.”(*)
Pasangkayu, 20 Februari 2020.
İrisma. Gadis kelahiran 2001 yang gemar menulis. Dapat dikenal lebih dekat melalui akun media sosialnya: Aisyahir_25.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.