Tak Ingin Kau Pergi
Oleh: Melati ER
Seusai belajar bersama Mita di rumah Rianti.
“Ri, malam ini aku nginap di rumahmu, ya?” pinta Mita yang malas pulang.
“Emang enggak dicari orang rumah, Mit?” tanyaku memastikan.
“Enggak lah, lagian pada udah tahu kalau aku di rumahmu, Ri.”
“Hmm … telepon dulu, gih! Daripada nanti ditungguin di depan pintu, hehe.”
“Hehe. Apalagi sambil bawa pentungan ya, Ri.”
“Nah, tuh tahu, gitu pake nanya lagi,” jawabku sembari merapikan meja seusai mengerjakan tugas kelompok.
Sejak Bapak dan ibunya tak saling bertegur sapa, Mita merasa bosan di rumah. Dia lebih suka menginap di rumah teman dekatnya, termasuk menginap di rumahku.
“Tau Fero enggak, Ri’?” tanya Mita tiba-tiba, saat mataku sudah mulai terpejam. Rasanya sudah berat untuk tetap terjaga. Namun, Mita malah memikirkan laki-laki yang tidak kukenal.
“Enggak, Mit. Dah ah, tidur!” jawabku singkat sembari menarik selimut.
Namun, sepertinya mata Mita sulit terpejam. Penyakit insomnianya sering kambuh sejak dia merasa terkucilkan di rumahnya sendiri. Aku sudah tertidur kala mencium aroma bantal. Kemudian aku seperti terbang ke pulau mimpi bersama hangatnya selimut.
***
Azan Subuh sudah berkumandang. Aku segera bangun untuk salat. Sementara Mita masih pulas sampai-sampai tak mendengar suara azan. Setelah salat, kubangunkan Mita. Meskipun sepertinya dia baru tidur sebentar.
“Mit … Mita … bangun, waktu subuhnya sudah mau habis,” kataku pelan.
Mita pun hanya menggeliatkan badan dan kembali menarik selimut.
“Capek, Ri. Aku enggak mau masuk sekolah hari ini,” ujarnya dengan pura-pura letih.
“Hmm, mulai deh, manjanya. Ayo, bangun dan salat!” seruku pada perempuan manis berkulit sawo matang dan sedikit pemalas itu sambil menarik lembut tangannya.
Akhirnya Mita pun bangun walaupun mungkin rasa lelah masih memeluknya. Akibat semalam dia begadang bersama para nyamuk yang setia menemani.
***
Di halaman sekolah sudah ramai anak-anak berdatangan dan menanti alarm masuk kelas. Aku dan Mita mempercepat langkah agar segera sampai di gerbang sekolah. Entah dari mana munculnya, ada laki-laki yang berjalan cepat ke arah kami dan menabrakku.
“Aduh!” tak kuasa bibir ini untuk tak berteriak. Akibat tertabrak, badanku terdorong mundur sedikit oleh badannya yang lebih tinggi dan kuat dariku.
“Eh, kamu kenapa, Ri?” tanya Mita ikutan terkejut.
Kami berdua refleks melihat ke arah laki-laki yang menabrakku. Sementara, laki-laki itu tak menghiraukan kami dan langsung berlalu hingga membuat Mita kesal.
“Heh! Jangan pura-pura enggak bersalah!” teriak Mita yang masih kesal dengan sikap cuek laki-laki itu.
Namun, laki-laki tersebut tetap berlalu.
“Sudahlah, kita masuk kelas aja.” Aku mengajak Mita untuk melupakan kejadian tadi.
***
Jam istirahat pun tiba. Aku segera ke kantin bersama Mita. Tiba-tiba kami bertemu lelaki aneh yang tadi pagi menabrakku. Dia menghampiri meja kami.
“Maaf, tadi pagi enggak sengaja. Aku Fero, kelas dua belas,” katanya dengan sorot mata bening yang menyejukkan. Tangannya menggenggam dua botol air mineral yang salah satunya disodorkan ke arahku.
Melihatnya tulus dan baik, aku pun menerima maafnya.
“Iya, gak apa-apa kok. Tadi cuma kaget,” jawabku sembari menatapnya ragu.
“Hmm, nama kamu siapa? Masa, kalau ketemu kamu kupanggil hai.”
Aku pun tersipu mendengar ucapannya. Sumpah, ternyata Fero adalah laki-laki sempurna, dengan hidung mancung, bibir kemerahan, kulit kuning langsat, rahang kuat serta raut muka mencerminkan laki-laki yang tangguh sekaligus lembut.
Melihat wajahku merona merah, Mita langsung mencolekku. Duh, malu rasanya. Aku nyaris lupa kalau sedang bersama Mita.
“Makasih minumnya, aku Rianti kelas sebelas,” kataku dengan tersipu-sipu karena tatapan tajam matanya seolah menembus jantungku.
“Oke, sampai nanti, ya.”
Dia pun berlalu dengan meninggalkan sunggingan senyum yang terlukis indah di ujung bibirnya.
Mita yang melihatku masih terpaku menatap kepergian Fero, langsung meledekku dengan gencar, hingga rasanya ingin menyembunyikan muka ini ke balik tembok agar tidak terlihat di hadapannya.
***
Empat hari sudah berlalu kejadian bersama Fero yang membuatku jadi bahan ledekan Mita di kantin sekolah tempo hari.
“Tumben, hari ini enggak sama pengawalmu.”
Tiba-tiba ada suara ketika aku melewati gerbang sekolah menuju tempat mangkal becak. Segera aku menoleh. Betapa terkejutnya, ternyata Fero sudah berada tepat di sampingku. Dengan wajahnya yang selalu sejuk, dengan tas yang diselempangkan ke bahu. Sungguh membuatnya tampak semakin keren saja.
“Oh, kamu. Siapa yang dimaksud? Aku enggak punya pengawal,” kataku lugu dan gugup.
“Hmm, kalau gitu aku melamar jadi pengawalmu, boleh?” ucapnya sembari melirik dengan senyum tertahan.
Rasanya jantungku terhenti sejenak. Oh my God, kenapa aku merasa tak berpijak di bumi bila dia sedang menatapku. Apa yang sesungguhnya kurasakan?
“Hmm, kamu. Ada-ada aja,” jawabku tersipu dan berusaha melempar pandangan ke depan agar rona malu di wajah tak terlihat olehnya.
“Ini serius, Tuan Putri,” candanya.
Aku pun makin salah tingkah dibuatnya. Kemudian Fero berhenti, dia pamit untuk mengambil sesuatu dan meminta agar aku tak beranjak dari tempat itu. Kuikuti pesannya, meskipun kepalaku dipenuhi tanda tanya.
Tak lama kemudian, sebuah motor berwarna merah dengan bodi besar pun berhenti di hadapanku. Semula tak menyangka itu Fero yang menghampiri, setelah dia membuka kaca helm dan menyodorkan helm lainnya, aku pun sadar itu benar-benar Fero. Aku tidak rahu harus berkata apa karena masih terpaku dengan penampilannya.
Waw, gimana naiknya? Sementara aku memakai rok seragam sekolah, gumamku di dalam hati.
Melihatku tampak ragu, Fero memberikan isyarat agar aku naik ke atas motor dengan senyamannya. Aku pun mengikuti saran Fero. Setelah berhasil duduk, motor pun melaju. Ada rasa canggung berada di belakang punggungnya, apalagi saat mencium aroma wangi tubuhnya.
Hari ini, aku merasa jadi perempuan tercantik di sekolah. Lebay? Hehe, biar saja, aku baru merasakan bahagia dengan cara yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ya, tiba-tiba aku ingin memeluknya dari belakang, tapi itu tak mungkin, siapa aku baginya?
“Ri, pegangan ke pinggangku, agar kamu enggak oleng!” pintanya.
Dengan ragu, kuletakkan jemari ini sedikit di pinggangnya, sekedar menempel. Itu pun sudah membuat degupku tak beraturan. Tak lama kemudian, ketika motornya berhenti di lampu merah, aku merasakan kedua tangan hangatnya menarik jemariku yang menempel di pinggangnya, sehingga kini kedua tanganku memeluknya sempurna dari belakang. Jantungku berdegup semakin kencang.
Hatiku bersorak seperti sedang melagukan simfoni tentang sebuah keindahan rasa. Seperti ada yang sedang menari-nari di dalam kalbu. Sentuhan tangannya yang halus dan lembut sepertinya tidak akan pernah bisa kulupakan sampai kapan pun. Aku tersenyum dalam binar-binar bahagia. Ingin kurebahkan kepala di punggungnya, tetapi itu tak mungkin. Apa katanya nanti, duh makin salah tingkah diriku.
Akhirnya sampai juga di depan pagar rumahku. Kalau boleh memilih, aku tak ingin turun dari motornya. Akan tetapi aku harus menahan diri dari pesonanya karena takut bahagia yang telah ditabur ini cepat berlalu.
***
Mita ternyata memperhatikan perubahanku hari ini. Dia menatap dan tersenyum simpul seolah mengejek, ketika berada di sisiku saat pelajaran berlangsung.
“Ada yang lagi bahagia rupanya, tanpa aku?” ucapnya lirih dengan isyarat.
“Iih … kamu, apaan sih,” jawabku sembari menyembunyikan rasa malu karena Mita bisa menebak pikiranku.
“Eh, Ri, siapa yang udah buat kamu berbinar-binar bahagia?”
“Ih kepo, deh.”
Siang ini Fero mengirim pesan WhatsApp. Dia mengajakku ke tempat favoritnya sepulang sekolah. Aku ragu. Beberapa kali ingin membalas dengan kata tidak, tapi jemariku rasanya berat menekan tuts keypad ponsel.
“Hai, Ri. Kok bengong, sih,” ujar Mita mengejutkan.
“Gak apa-apa, kok, Mit,” jawabku berbohong.
Pesan Fero pun beberapa kali masuk dan terlihat di layar, tapi tidak ada yang kubuka. Untuk menghindarinya, aku pun pulang bersama Mita melalui gerbang belakang sekolah, gerbang khusus para guru.
Mita bingung akan sikapku yang menurutnya lari dari kenyataan. Beberapa kali dia berusaha bertanya tentang sikapku. Aku hanya diam.
“Kamu temani aku aja ke rumahmu, Mit. Nanti Ibu dikabari setelah sampai di sana,” ujarku tanpa mau menjawab pertanyaan Mita.
“Okelah, tapi kamu enggak bisa sembunyi, Ri.”
Aku hanya terdiam dengan semua pikiran yang berkecamuk di kepala. Ada sedih yang dalam, seperti tertusuk di sudut hati. Aku takut kehilangan Fero. Bulir bening pun seolah tak mampu ditahan. Perlahan jatuh juga di pipi. Bermalam di rumah Mita, tak jua membuat hati tenang. Akhirnya kuputuskan pulang ke rumah.
“Gila kamu, Ri. Ini sudah hampir jam satu pagi. Besok aja pulang, lagian Ibu kan sudah tahu kamu di sini.”
“Entahlah, hatiku sangat gelisah, rasanya ingin cepat pulang ke rumah.”
Aku pun segera memesan kendaraan online.
Sesampainya di rumah, betapa aku sangat terkejut. Fero tetap menantiku di depan pagar rumah.
Ya Tuhan, aku telah menyiksanya dengan sikapku, pikirku. Aku merasa bersalah.
Aku segera berlari menghampirinya, dengan bulir bening deras jatuh di pipi menemani rasa haru, dan semua rasa yang singgah kala melihat wajah sendunya.
Fero langsung memelukku dengan erat. Seolah tak ingin melepaskan diriku. Badannya yang dingin terkena udara dini hari, perlahan menghangat.
“Ri, jangan pernah lagi menghilang dariku, tanpamu aku tak bisa bernapas, separuh jiwaku seolah pergi.”
Aku hanya mampu sesenggukkan di dada bidangnya.
“Maafkan aku, kamu terlalu sempurna untukku, hingga rasa takut kehilangan ini begitu kuat,” ujarku terbata-bata.
“Aku tak akan pergi ke mana-mana tanpamu, Ri. Kamu adalah belahan jiwaku. Tak akan pernah surut rasaku bak luasnya samudera untukmu. Biarkan rasaku selalu memeluk erat di relung hatimu.”
Kami saling memandang, tak ingin melepaskan kehangatan yang menjalar di dalam hati, di pagi yang dingin. (*)
Bumiku, 20 Mei 2021
Melati ER, seorang perempuan yang menyukai menulis. Lahir di Surabaya dan besar di Jakarta. Saat ini Penulis sedang ingin banyak belajar tentang kepenulisan yang baik, agar mempunyai buku dengan karya yang bermanfaat untuk pembacanya. Bisa di temui di Facebook: https://www.facebook.com/melati.fortune dan Instagram https://www.instagram.com/melatifortune?r=nametag.
Editor: Imas Hanifah N