Tak Ada Rumah untuk Kesturi

Tak Ada Rumah untuk Kesturi

Tak Ada Rumah untuk Kesturi

Oleh : Chan

Semak perdu itu adalah semak-semak terindah di hutan di tenggara Gunung Sumbing. Tempat itu dikelilingi pepohonan rindang dan di dekatnya terdapat sungai kecil berair jernih. Buah dan jamur tumbuh subur di sana dan cukup banyak jumlahnya. Untuk selamanya Kesturi akan menganggap semak perdu itu sebagai rumah. Di dalamnya ia menemukan sesuatu yang didambakan makhluk-makhluk terbuang seperti dirinya. Namun, ketidakpastian adalah sebuah kemutlakan bagi semua makhluk. Sebagaimana sebuah rumah, suatu saat kau akan meninggalkannya, sukarela atau terpaksa, dan dilema itulah yang membuat Kesturi bimbang hingga tak bisa tidur.

Jauh sebelum tinggal di sana, Kesturi adalah hewan pengembara. Hari demi hari dilewatinya dengan menghadapi kerasnya kehidupan dalam kesendirian. Satu pergulatan menuntunnya ke pergulatan lainnya, selalu begitu, hingga suatu hari ia memutuskan mengambil sebuah belokan di sebuah persimpangan jalan setapak.

Di ujung persimpangan itulah ia menemukan semak perdu yang rimbun dan sejuk dan warna hijaunya menentramkan mata itu. Seketika ia terpacak bagai pasak karena terkesima oleh betapa sempurnanya pemandangan yang tersaji. Selama mengembara, belum pernah ia jumpai tempat yang begitu subur dan begitu menarik hatinya. Rasa lapar menuntun kakinya untuk masuk.

Kesturi melangkah dengan penuh kehati-hatian. Bagaimanapun juga tempat itu asing baginya. Rupanya ia tidak sendirian, bermacam-macam binatang telah lebih dulu tinggal di sana. Begitu melihat Kesturi mereka langsung berhamburan ke tempat persembunyian masing-masing dan sesekali mengintip sambil menebar prasangka. 

Kesturi tahu persis arti tatapan-tatapan itu. Bermacam tempat telah ia datangi dan berbagai perangai telah ia temui. Maka, ia pun segera berhenti dan menyebutkan namanya, lantas berkata bahwa ia tiada membawa maksud buruk, hanya sekadar mencari tempat berteduh bagi kaki-kaki dan hatinya yang letih usai didera perjalanan yang seolah-olah tak berujung. 

Ternyata para binatang penghuni semak perdu itu adalah sebaik-baik dan seramah-ramahnya penghuni lama. Dengan mudahnya ucapan Kesturi menyentuh nurani mereka. Satu per satu dari mereka muncul dari persembunyian masing-masing. Para bintang itu adalah perasa yang hebat. Ketika tidak menemukan aura jahat pada Kesturi, mereka menghampiri Kesturi dengan wajah bersahabat.

“Aku Kelinci, salam kenal.”

“Aku Kadal. Selamat datang, Sahabat.”

“Aku si Murai Batu. Apa kau lapar? Ini ada sedikit buni yang kupetik sendiri.”

“Apa kau haus? Minumlah ini. Rasanya segar,” kata Tupai sambil menyodorkan selembar daun  keladi berisi air.

Kesturi meneguk air dan memakan buni pemberian mereka. Ia merasa bahagia atas sambutan mereka dan berterima kasih. Dalam hatinya muncul sebuah keinginan untuk menetap. Ia merasa jiwanya terlalu letih untuk melanjutkan. perjalanan.

Dengan kata-kata yang dijalin dengan sedemikian rupa, Kesturi mengutarakan niatnya. Para penghuni lama pun menyambut dengan tangan terbuka. Mereka bahkan membantu memilihkan tempat untuknya: di sebuah goa kecil yang terbentuk dari tumpukan batu kali. 

Pemandangan di sana memang bukan yang terbaik dan agak jauh dari rumah penghuni semak perdu yang lainnya. Namun, bisa melihat hamparan rumput setiap kali keluar goa dan mendengar aliran sungai kecil yang melintas di sampingnya adalah anugrah yang lebih dari cukup bagi siapa pun yang terbiasa hidup dalam kemuraman. Kesturi bersyukur. “Aku punya rumah sekarang,” katanya dengan senyum terkembang. Ia pun tidur dengan nyenyak pada malam harinya dan pada malam-malam selanjutnya.

***

Sebagai penghuni baru, Kesturi mengerti bahwa ia harus banyak bergaul dengan warga lama. Selain untuk makan dan minum, waktunya dihabiskan dengan menjalin keakraban. Ia ikut bernyanyi bersama para burung, berjemur di bebatuan bersama para kadal, juga ikut mengumpulkan buah-buahan bersama para tupai dan kelinci. Semua dilakukannya dengan penuh kebersyukuran dan kegembiraan.

Akan tetapi, Kesturi tak bisa menghindari takdirnya sebagai binatang berbau busuk. Sesekali ia mengeluarkan baunya meskipun tidak sengaja. Hal itu pun membawa petaka bagi binatang lainnya.

Setelah beberapa bulan, Kesturi sudah terkenal akan bau busuknya. Bau itu telah merebak ke mana-mana, mencemari udara, melekat di dedaunan, batu, dan rerumputan, bahkan mencemari hati binatang lainnya. Nyanyian para burung tidak semerdu dan sebersemangat dahulu. Kadal-kadal tidak lagi betah berjemur lama-lama. Para tupai juga menghindar jika mendapati Kasturi mendekati mereka.

Sesungguhnya, Kesturi sadar akan perilaku binatang-binatang itu dan penyebabnya. Ia tetap berusaha diterima dengan menahan diri agar tidak mengeluarkan baunya. Namun, setiap makhluk memiliki batas kemampuannya. Bau itu tetap keluar dan dampak dari sesuatu yang ditahan dan meledak akan lebih buruk dari yang dikeluarkan secara alami. Malang bagi Kesturi, peristiwa memalukan itu terjadi saat semua binatang penghuni semak tengah berkumpul.

Syahdan Kesturi semakin dihindari. Selalu ada yang membicarakannya di belakang. Ia tahu itu dan mencoba melepaskan kesedihan dengan berjalan-jalan dan sebisa mungkin tanpa terlihat. Saat itulah ia secara tidak sengaja mendengar perbincangan Tupai dan Murai.

“Minggu depan aku akan pindah ke hutan sebelah timur,” kata Murai. “Di sana tidak seindah di sini. Tapi, setidaknya udaranya lebih bersih.”

“Ini rumah kita. Seharusnya dia yang pergi, bukan kau.”

“Aku tidak mau ribut dan tidak mau pusing. Sebagai sahabat, aku menyarankan, ada baiknya kau juga ikut pindah. Udara di sini tidak baik untuk keluargamu.”

Tupai merenung, teringat anak-anaknya yang masih kecil. “Saranmu masuk akal juga. Aku tidak ingin anak-anakku tumbuh dengan menghirup udara seperti ini. Baiklah, akan kubicarakan hal ini dengan keluargaku.”

Kesturi tahu betul apa yang Tupai dan Murai bicarakan. Ia pun mengenang kata-kata mendiang ibunya, bahwa di manapun mereka berada, inilah nasib yang akan menimpa jenisnya. Hatinya sedih dan dadanya seperti ditumbuk-tumbuk batu tajam. Ia pulang ke goanya dengan kepala bergemuruh. “Mereka binatang-binatang baik. Tak sepantasnya mereka mendapatkan masalah ini,” gumamnya. 

***

Semak perdu itu kembali bergairah. Sudah seminggu keadaan di sana berangsur membaik. Nyanyian para burung kembali semerdu dahulu. Para tupai dan kadal mulai kembali nyaman beraktivitas. Bau Kesturi masih tercium, tapi sudah jauh berkurang. 

Seperti yang dikatakan Murai, sesungguhnya mereka adalah binatang-bintang yang enggan bertengkar dan berhati lurus. Di sela-sela perubahan itu, mereka masih teringat pada sesuatu.

“Hei, di mana Kesturi?” tanya Murai.

“Ya, di mana dia? Sudah lama aku tidak melihatnya,” sahut Tupai.

“Mungkin dia sakit. Sepertinya dia tahu kita menjauhinya. Ayo kita tengok dia,” usul Kadal yang seminggu lalu melihat Kesturi berjalan lunglai.

Murai dan Tupai mengangguk bersamaan. Maka, siang harinya, dengan membawa makanan, mereka berbondong-bondong menuju tempat tinggal Kesturi. Sesampainya di sana, mereka langsung memanggilnya. Namun, setelah beberapa lama, tetap tidak ada jawaban. Mereka pun mulai menduga-duga.

“Jangan-jangan dia sedang pergi mencari makan. Ayo kita cari dia,” kata Kadal.

Mereka menyusuri sungai, jalur yang biasa Kesturi lewati jika hendak mencari makan. Mereka memanggil-manggil Kesturi dan berjalan hingga ke area pepohonan yang banyak buahnya, tapi tetap tidak ada jawaban dan tetap tidak ada tanda-tanda dari Kesturi.

Matahari mulai terbenam. Mereka pun segera kembali ke goa Kesturi karena menyangka Kesturi sudah pulang. Sesampainya mereka di sana, tetap tidak ada tanda-tanda dari Kasturi. Kali ini mereka memberanikan diri masuk ke dalam goa sambil memanggil-manggil. Namun, panggilan mereka hanya dibalas gema. Goa yang kosong tidak akan bisa menjawab atau mengatakan apa pun.

Goa itu kosong sejak lima hari lalu. Penghuninya pergi setelah dua hari dua malam mengurung diri dan bertarung dengan pikirannya. Di penghujung malam kedua, keinginannya agar semak perdu itu kembali seperti sediakala menang. Hanya angin yang mengiringinya. Salam perpisahannya berupa jejak-jejak yang mengarah ke puncak gunung dan air mata yang mengering di daun-daun kering yang berserakan. (*)

Chan, pemuda yang sedang belajar menulis.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

Sumber Foto

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply