Judul : Tak Ada Dendam bagi Mereka yang Berbeda
Oleh : Nining Kurniati
Satu hal yang pasti ketika kau berbeda adalah kau tidak bisa menjadi anonim sekehendakmu. Ke mana kakimu melangkah di sana orang-orang akan mengenalimu, memberimu tatapan berbeda, perlakuan berbeda dan kau pun tersenyum senang mengira dirimu memang pantas, padahal sekali-kali tidak begitu. Kau tertipu oleh pikiranmu sendiri, tapi kau tidak tahu itu.
Malio. Seperti nama anjing saja, anak kecil 10 tahun itu memberitahu sambil menertawai ketika kau mematung melihati kerumunan orang dari jauh, lalu kau bilang, kau bodoh masih kecil dan belum mengerti. Kau hanya memercayai orang dewasa. Dewasa adalah ketika mereka sudah baligh, anak laki-laki ketika sudah disunat, anak perempuan ketika ada darah keluar dari selangkangannya. Bagi mereka yang belum mengalami itu, kau menganggapnya anak kecil dan kau merasa tidak boleh berlama-lama dengan mereka, sebab mereka tuli denganmu, dan mereka selalu salah menganggapmu temannya yang bisa diperlakukan seperti teman sebaya. Kau menyingkir.
Tubuh telanjangmu tidak boleh dilihat dalam kerumunan orang. Itu tidak sopan, kata kepala dusun tempo hari. Kalau mendatangi pesta atau apa pun di mana orang berkumpul harus pakai baju, kalau punya celana panjang pakai celana panjang, tetapi sebelum itu harus mandi, dan tidak boleh lupa menggosokkan tawas di ketiak, kau harus pulang ke rumah, pikirmu.
Kau mengucapkan salam kalau tidak malaikat akan marah, kata ibumu. Sudah bertahun-tahun kau diajari, ketika lupa ibumu selalu mengingatkan dan kini ketika kau melihatnya duduk di teras rumah, kau takut. Ibumu semakin renta saja. Saat ini ia sudah hampir tidak menginjakkan kakinya di rumah tetangga. Langkah terjauhnya di kamar mandi kolom rumah. Kini kau memeluknya, mencium pipinya. Bagaimana kalau suatu hari nanti kau lupa mengucap salam dan ibumu sudah tidak ada untuk mengingatkan. Kau tidak suka diinggatkan ataupun diajari oleh orang-orang, mereka suka berteriak sambil tertawa-tawa dan bilang, “Eh, dasar idiot!” dan ketika hal seperti itu terjadi kau bingung harus menanggapi yang mana dulu, teriakan orang itu atau ketawanya, jadi kau nyengir saja. Namun, yang sering kali terjadi adalah mereka menempeleng kepalamu setelahnya, kadang keras kadang juga seperti usapan lembut. Untuk yang terakhir itu kau senang saja menerimanya, toh kepala tidak sakit, orang itu tidak bermaksud jahat, pikirmu.
“Aku mau ke rumah Ibu Linda, Mak.”
“Iyo, Nak. Tapi angkat dulu air ke atas rumah. Yang kemarin sudah habis Mamak pakai.”
Kau mengangguk dengan kesal, sebab kau buru-buru mau ke rumah Ibu Linda. Wangi daging masak, kau membayangkannya ada di piringmu di sisi nasimu bersama dengan segepok kerupuk. Kini hal itu harus tertunda, kau mengentak-ngentakkan kaki tanda protes kepada ibumu. Ibumu bertanya kau kenapa? Kau menjawab, tetapi yang terdengar tak ada bedanya dengan dengung lebah. Yang seperti ini, ibumu sudah hapal. Cukup mendiamkanmu saja. Toh pulang-pulang dari makan daging kau akan kembali ceria seperti biasanya.
Tak ada dendam bagi mereka yang berbeda.
***
Kau sudah mandi, sudah pakai tawas, sudah pakai baju, dan sudah pakai celana lepis pemberian Pak Karung, suami Ibu Linda. “Kau tampan,” ibumu berkomentar. Kau tersenyum dilabeli begitu. Di dalam hati kau berharap Mina, janda yang lebih tua 10 tahun darimu mau dengamu, atau paling tidak melihatmu sepintas saja karena sejak disuit-suiti oleh orang, Mina selalu membuang pandangan. Teringat itu, kau sedih, kau jadi murung. Kepala kau tundukkan sambil berjalan keluar. “Tunggu, Mail” ibumu berteriak dari dapur. Susah payah ia menyusulmu yang menunggu di teras. Dia menyorongkan termos nasi yang berisi beras tiga liter. Hal yang wajib di tempatmu ketika hendak mendatangi pesta. Kau pun pergi.
Perlahan-lahan mendekati pesta, senyuman terbit di wajahmu. Entah kenapa di saat begini dadamu bergemuruh. Mungkinkah karena ketika kau yang datang boleh dikatakan hampir semua orang akan berteriak menyebut namamu, tentu saja dengan tambahan ‘O’ di belakang, menyuruhmu masuk, menepuk bahumu. Atau mungkin karena kau bisa pastikan Mina ada di pesta itu. Mina yang kulitnya seperti sawo matang. Aduduh, tanpa sengaja kau melihatnya sedang makan. Mata kalian saling berserobok. Kau tersenyum seperti iklan pasta gigi pepsodent, meskipun pangkal-pangkal gigimu kuning tak secerah gigi orang tersebut. Itu membuat Mina berhenti mengunyah dan malah hendak muntah. Matanya membelalak. Melihat keadaan itu, sontak semua orang tertawa. Kau jadi malu, tapi ehem kau bahagia tentunya. Kapan lagi kau bisa leluasa menatapi wajah calon kekasihmu itu? Namun begitu harapanmu itu timbul, Mina beranjak. Kau tak mungkin mengejarnya, ia ke dapur. Pupus sudah.
Orang-orang masih tertawa dan kau tak ambil pusing. Meski perih, kau lebih peduli pada masalah perutmu. Toh, daging lebih mengggiurkan saat ini. Kau mengambil makanan yang ada di meja, menaruh banyak-banyak daging ke piringmu dan duduk di salah satu sudut ruangan. Orang-orang mulai menyibuki urusannya. Kau sudah tidak dipedulikan lagi. Waktumu sudah lewat. Kau bisa menjadi anonim sekarang. Namun yang terburuk adalah kau tidak tahu itu baik atau buruk untukmu. Jadi kau nyengir pada mereka yang melintas dan mereka tampak kebingungan. Balita-balita menyingkir, 2 anak gadis menghindar, 3 ibu-ibu yang merupakan kerabat anak gadis tadi kesal, dan kau baik-baik saja tampak seperti orang yang tak bersalah.
(*)
8 April 2021
Nining Kurniati, penulis pemula.