Tahun Baru di Jakarta
Oleh: Azizah Mahira
Terbaik 11 Lomba Cerpen Autofiksi
Ada satu momen dalam hidupku yang paling berkesan dan tidak bisa dilupakan. Momen ini adalah kenangan terindah bersama mendiang bapakku saat 13 tahun silam.
Waktu SD, aku punya teman bernama Novi. Dia adalah tetanggaku. Setiap menjelang liburan Novi selalu menceritakan tentang bapaknya yang merantau di Jakarta, tepatnya di Tanjung Priok. Katanya, setiap liburan sekolah dia akan ke Jakarta menemui bapaknya dan ikut berdagang sayuran di pasar. Kadang Novi tidur di samping gerobak menunggu bapaknya yang selesai jualan sampai larut malam. Novi selalu bercerita dengan riang dan semangat. Apalagi saat cerita liburan ke Ancol, katanya seru sekali.
Setiap mendengar cerita Novi tersebut, aku merasa iri dan ingin tahu seperti apa Jakarta. Aku yang tinggal di kampung terpencil dan jauh dari kota, tidak pernah bepergian jauh apalagi menginjakkan kaki di sana.
Waktu itu aku kelas lima SD. Tepat saat mendekati tahun baru, ini pertama kalinya aku merengek ingin ikut ke Jakarta bersama Bapak. Namun, Bapak menolaknya. Kata Bapak hidup di kota itu keras, Bapak tidak mau kalau aku ikut tidur di ruangan sepetak dekat bengkel yang hanya beralaskan tikar saat nanti tiba di Jakarta.
Mendengar ucapan Bapak aku makin sedih dan kecewa, lalu aku pergi ke kamar. Melihat aku yang masih menangis, Bapak seperti tidak tega. Akhirnya, Bapak membujukku agar berhenti menangis.
“Udah, ya, jangan nangis lagi. Nok, kalau mau ke Jakarta nginepnya di rumah Teteh Inah aja, ya?” ucap Bapak dengan suara lembutnya. “Nanti liburan tahun barunya di sana biar ada tempat tidur yang nyaman.”
Mendengar ucapan Bapak. Aku yang masih menangis langsung berhenti. “Beneran, Pak? Nok boleh ikut Bapak ke Jakarta?” tanyaku antusias.
“Iya, bener, sekarang siap-siap, ya. Bapak mau berangkat besok soalnya.” Aku mengangguk dan menyiapkan baju-baju yang akan dibawa ke Jakarta dengan tas ransel pink yang sering aku pakai saat sekolah.
31 Desember 2011
Aku hendak berangkat ke Jakarta bersama Bapak pagi-pagi. Namun, sebelum pergi, Bapak menegurku untuk ganti rok jangan memakai celana pendek selutut. Padahal aku sangat suka celana jeans pendek tersebut. Saat memakai outfit celana jeans selutut dan baju kaos warna kunyit, rasanya aku seperti anak paling keren.
Sebelumnya aku sempat menolak perintah Bapak, tetapi karena Bapak menakut-nakuti jika tidak ganti rok aku tidak diajak ke Jakarta. Aku langsung lari ke rumah Nenek untuk pinjam rok punya Bibi Bungsu. Bibi meminjamiku rok warna oranye, ada pita dan resleting di pinggir roknya.
Setelah melihat aku memakai rok, Bapak langsung mengajakku ke pangkalan ojek dan minta anter sampai ke Beber. Setelah itu kami menunggu bus yang hendak berangkat ke arah Jakarta.
Tidak lama kemudian, kami pun naik bus warna Merah. Di dalam bus, Bapak menyuruhku duduk di dekat jendela, agar aku tidak dekat dengan pria paruh baya yang ada di samping Bapak.
Bus pun akhirnya terus melaju dengan kecepatan sedang. Aku sangat senang melihat gedung-gedung tinggi di sepanjang perjalanan. Ini adalah pengalaman pertamaku liburan ke luar kota.
Setelah delapan jam perjalanan, bus turun di Pasar Rebo. Kami naik angkot lagi dua kali dan turun di Kampung Rambutan. Aku dan Bapak berjalan kaki sekitar 15 menit untuk sampai ke rumah Teh Inah, kakak pertamaku yang menikah dengan orang Jakarta.
Dari kejauhan terlihat ada lapangan luas. “Itu rumah Teh Inah udah kelihatan, Nok!” Bapak menunjuk ke arah pintu belakang samping lapangan bola. Aku lari dengan cepat dan tersenyum lebar.
“Yey, akhirnya sampai juga!” Aku melompat-lompat kecil karena saking senangnya.
Bapak hanya mengantarku sampai rumah Teh Inah. Setelah itu, berpamitan karena mau ke bengkel tempat kerja Bapak yang ada di Jakarta Pusat.
Aku disambut hangat oleh Teh Inah. Saat masuk ke rumah yang tidak cukup luas, aku melihat Teh Inah dan suaminya sedang mempersiapkan bakar-bakar jagung untung nanti malam tahun baru.
“Nok! Nanti tidurnya di kamar kedua, ya. Teteh enggak bisa nemenin soalnya Rina masih kecil dan suka nangis kalau ditinggal.”
“Iya, Teh, gapapa. Nok berani tidur sendiri, kok, soalnya Nok enggak takut hantu.”
Mendengar ucapanku Teteh tersenyum. “Ya udah makan aja dulu, Nok. Itu di meja makan ada daging ayam, telor, dan sambal. Ambil sendiri, ya.”
Aku benar-benar senang saat makan dengan daging. Karena saat di kampung, keluargaku hanya bisa makan daging ayam saat puasa pertama dan pas hari lebaran.
Tidak terasa waktu cepat berlalu. Setelah Magrib sampai jam sepuluh malam, Teteh dan suaminya bakar-bakar jagung dan aku hanya ikut membantu mengupas kulitnya. Setelah beres, Teh Inah dan suaminya mengajakku ke balkon. Di sana aku bisa melihat keindahan Kota Jakarta saat malam hari. Ada lampu-lampu terang menyala di gedung-gedung tinggi dan rumah-rumah di sekitarnya.
Beruntung Rina, keponakanku yang berusia satu tahun sedang tertidur, jadi Teteh dan suaminya bisa menemaniku melihat kembang api. Tepat pukul 00.00, kembang api warna-warni menyala memenuhi angkasa. Langit malam terlihat indah dengan puluhan kembang api. Sorak-sorai warga sekitar pun terdengar nyaring. Saat itu aku sangat bahagia, karena seumur-umur baru pertama kali melihat kembang api dan berlibur ke Jakarta. Setelah liburan berakhir, aku pasti akan cerita pada Novi mengenai keseruan tahun baruku di rumah Teh Inah.
Cirebon, 29 Desember 2024
__
Komentar Juri, Inu Yana:
Otentik dan berkesan, itu yang kutangkap saat membaca kisah ini. Relatable, tidak berlebihan, dan memuat pandangan-pandangan subjektif tentang apa yang penulis alami, yang artinya memenuhi syarat sebuah cerpen autofiksi. Goodjob, Azizah.