Syair Tanpa Judul
Oleh: Respati
Angin malam menyentuh gorden dan menerbangkan kain tipis warna ungu muda itu berkali-kali, juga menyentuh daun jendela yang belum terkunci dan menghasilkan bunyi-bunyi berisik mengusik tidur sejak sore. Sasi membuka pelupuk matanya sebab mendengar kebisingan kecil di kamarnya. Tidur nyenyaknya yang sudah ia nanti-nanti karena kesibukan dinas selama dua hari harus terganggu oleh bunyi jendela.
Sasi meraih ponsel dan mengaktifkan benda pintar itu. Tak ia temukan pesan WA yang biasa berdenyit–apalagi setelah ponselnya mati seharian. Daerah yang Sasi kunjungi tidak memiliki jaringan internet. Kalau sudah begini, ponselnya akan istirahat total.
Dalam kesunyian tanpa bisingnya nada dering ponsel selama dinas luar, ada semacam perenungan yang terjadi. Dia mencoba menelisik perjalanan cintanya yang disadarinya salah. Ya, sangat keliru bahkan. Seharusnya sudah sejak lama ia hentikan sebelum semuanya terlambat.
Begitulah kalau rasa telah menguasai hati, membuat logika terkadang terpinggirkan. Gempurannya sulit dibendung, hingga menyeretnya ke dalam pusara cinta terlarang.
Keyakinan akan rasa yang keliru, memilihnya bersikap mengalah. Ini adalah kesadaran yang timbul setelah proses perenungan yang panjang. Dan setiap kali Sasi memilih mengalah, ponselnya akan mati berhari-hari. Sasi lebih sering menjauhi masalahnya ketimbang menghadapinya dan menyelesaikan. Itu juga salah satu alasan setiap kepala divisinya mengutusnya dinas luar, Sasi tak menolak.
“Awal bulan depan sanggup ke Sidareja, Sas?” tanya Pak Dandi.
“Sanggup, Pak,” Sasi menjawab mantap. Pak Dandi tersenyum mendengar jawaban karyawannya penuh semangat.
Bukan tanpa alasan Sasi selalu menerima tugas ke luar kota. Salah satunya untuk menjauhkan dirinya dari seorang pria. Menghindari setiap buaiannya yang melenakan hidupnya juga membelenggu kebebasannya. Serasa sangat sulit melepaskan jerat asmara seorang yang bernama Ed.
Menjalani hidup dalam kesendirian seolah tanpa makna. Kehadiran Ed dengan segenap rayuannya membuat Sasi mabuk cinta hingga pilihan hidupnya terasa begitu pelik. Saat kesadarannya pulih, sudah sangat terlambat.
Seperti di satu sore ketika banyak pesan WA masuk, sebagian besar berasal dari Ed. Sasi hanya mematung tanpa tergerak untuk membacanya. Dia merasa enggan. Sasi tahu menit berikutnya Ed pasti akan meneleponnya. Dan benar saja, tak sampai hitungan ketiga, ponselnya berdering dan itu panggilan dari Ed. Ponsel terus memanggil, tapi Sasi tetap bergeming. Dia tetap pada posisinya di pembaringannya. Membiarkan panggilan itu terus berulang.
Matanya terpejam mencoba mengalihkan rasa miliknya. Rasa yang setahun ini menemaninya. Yang pernah ia yakini akan membawa kebahagian untuknya. Dan ternyata Sasi salah besar. Bukan kebahagiaan, tapi nestapa yang diraihnya.
Senja melukiskan warna jingganya. Menggoreskan surya yang merindukan malam. Warna senja selalu indah mewarnai cakrawala di setiap hadirnya. Lukisan Ilahi yang mahasempurna itu juga mengguratkan sejuta kisah di balik senja. Karena senjalah, Sasi Ayunindya mengenal cinta. Cinta yang salah, dan terlanjur melahirkan rindu yang juga keliru.
Tok … tok … tok ….
Pintu kamar Sasi diketuk. Wanita paruh baya yang dipanggilnya Bibi menyerukan namanya. Sasi perlahan membuka pintu kamarnya. Dadanya berdegup kencang. Suara mobil yang terparkir sejak sepuluh menit lalu sudah sangat ia kenal pemiliknya.
“Mbak Sasi, ada tamu.”
Sasi mengangguk. Dia sudah paham siapa tamu yang dimaksud Bibi.
Sasi menutup pintu kamarnya, lalu menemui tamunya. Pria tinggi berkulit gelap itu masih berdiri menghadap taman.
“Duduk, Mas.”
Pria itu membalikkan badannya dan duduk di depan Sasi. Ia meletakkan kunci mobilnya. Menarik napasnya pelan dan kemudian menghelanya. Dipandanginya Sasi tanpa berkedip. Tak ada sapa, hanya memandangi wajah polos tanpa kosmetik milik Sasi.
Jarum panjang pada benda bulat di tangannya telah bergeser ke angka 9. Itu artinya 15 menit mereka terpasung diam. Menikmati irama hati mereka sendiri. Syair yang mereka ciptakan bersama tanpa judul hingga waktu terus bergulir. Malam kian larut, tapi dua insan itu masih terhalang diksi untuk memulai kalimat. Keduanya saling menunggu. Hingga Bibi membawa nampan berisi secangkir teh hangat.
“Monggo, diminum, Mas.”
“Terima kasih.”
Bibi kembali masuk.
“Diminum, Mas.” Sasi membuka bicara dengan menawarkan minuman. Ia berharap secangkir teh itu dapat menghangatkan hati tamunya. Pria itu mengambil cangkirnya dan mulai menyeruput teh hangat. Dan benar saja aroma teh telah membuatnya lebih rileks dari sebelumnya.
“Ada apa Mas datang malam-malam?” tanya Sasi. Bukan kebiasaan Ed datang berkunjung selarut ini.
Ed, pria yang Sasi panggil Mas, meletakkan kembali cangkir teh di atas tatakannya. Menoleh ke arah Sasi sebelum menjawab pertanyaannya.
“Kamu tahu seberapa besar cintaku padamu.”
“Mas, tapi kita ….”
“Jangan cari alasan untuk mencegahku mencintaimu,” lanjutnya, “aku tidak punya cara untuk berhenti mencintaimu.”
Seharusnya Sasi bahagia pria itu begitu mencintainya. Mengulangi kalimat yang sama setiap kali masalah datang. Kalimat sama yang selalu membuat Sasi ragu antara bertahan atau menghindar.
Ah, setiap pria akan berlaku sama. Melancarkan serangan cinta, menabur rayuan agar jiwa wanitanya mencapai nirwana. Dan pria sangat tahu titik kelemahan wanita, cukup dengan bahasa cinta maka mereka pun akan luluh. Barangkali itu juga siasat pria berkemeja biru itu meluluhkan hati Sasi.
Ternyata Sasi menggelengkan kepalanya. Sasi berhasil menampik rayuannya kali ini.
“Aku lelah, Mas,” katanya lirih. “Setahun aku menunggumu, Mas.”
Ed mendongak dan menatap Sasi lekat. Dia sedang mencari kebenaran kalimat Sasi. Tidak ada ekspresi marah, hanya wajah datar. Sasi menatap langit tanpa bintang di atas sana. Gelap. Sama dengan hatinya. Penantiannya sungguh melelahkan, perjuangannya menjadi sia-sia. Dia berjuang sendiri.
“Sayang, beri aku waktu.”
“Sampai kapan?” tanya Sasi tegas. Matanya tajam menatap Ed. Sasi butuh kepastian. Bukan janji yang kerap diterimanya.
“Sampai keadaan aman untuk bicara dengan Ratih dan anak-anak.”
Tangannya menyentuh pipi Sasi dengan lembut. Menghapus air mata hangat yang mulai meleleh. Sasi menepis pelan tangan Ed.
“Tunggu aku, Sayang. Kita akan bersama. Dan penantian kita gak berakhir sia-sia,” tambahnya lagi.
“Mas gampang bicara.”
“Stttt ….” Jari telunjuk Ed menutup bibir Sasi. Kembali ia menepis kasar tangan kekar itu.
“Mas! Tolong pahami aku. Aku tidak sanggup jika harus terus begini. Aku sudah janji sama Mbak Ratih untuk mengakhiri hubungan kita. Kita harus putus, Mas.”
Sasi berdiri menjauh semeter dari kursinya semula. Linangan air mata dan isaknya tak mampu lagi ditahannya. Kalau sudah seperti ini, Ed kehilangan cara meyakinkan kekasih gelapnya itu.
Setahun sudah mereka menjalin rasa yang salah itu. Walau disadarinya salah, mereka tak cukup mampu melawan hadirnya cinta di antara mereka dan terus membiarkannya makin mendalam hingga mengakar dalam jiwa. Mereka menunggu dan berharap cinta mereka berakhir indah. Bagai cerita novel dengan ending bahagia.
Mereka lupa ada sekerat hati yang teriris dan merasakan pedih setelah cintanya dikhianati. Ada juga hati yang kendati selalu menangis dan pasrah di setiap doanya, tapi tetap tersenyum.
Sementara, bagi Sasi ada banyak pria yang mendekatinya juga menawarkan sebuah cinta. Para pria bebas yang sanggup memberikan kehidupan sakinah untuk Sasi. Bukan pria beristri seperti Ed yang hanya berujung lara karena pengharapan dan penantiannya tak pasti.
Ed berdiri dan hendak menghampiri Sasi.
“Setop, Mas!” kelima jari tangan Sasi terbuka berusaha menghalang langkah Ed. “Kamu egois, Mas!”
“Sayang ….”
“Kamu pikir mudah mendampingimu dari kejauhan?” ucapnya lirih.
Sasi terisak. Emosinya meningkat. Akhirnya ia lunglai dan kembali terduduk. Napasnya naik turun dan suaranya parau. Ed hanya berdiri mematung tanpa bisa berbuat banyak. Menjalani kehidupan bersama Sasi adalah mimpinya yang kedua. Yang dia sendiri tak tahu bagaimana mewujudkannya.
“Aku sudah bertahan, Mas. Aku juga ingin kamu halalkan.” Sasi terisak lagi, kali ini lebih kuat. Sambil menutup wajahnya Sasi terus menangis. Menyesal dan kecewa berbaur dalam beningnya air mata yang membasahi pipi mulusnya. Lara dan nestapa yang akhirnya Sasi rengkuh, bukan indah apalagi bahagia saat bermimpi memiliki Ed.
Hening. Mereka masih dengan suasana hati yang tak menentu. Isakan yang masih terdengar, mengemuka sesal di antara mereka berdua. Hingga tak menyadari seseorang sedang memperhatikan mereka berdua dari kejauhan. Dalam hening malam, terdengar suaranya tiba-tiba itu cukup jelas membelah malam.
“Halalkan dia, Pih,” ujar seseorang dengan tiba-tiba.
Sasi membuka kedua tangannya yang beberapa menit lalu menutupi wajah. Entah bagaimana wanita itu bisa berada di rumahnya. Tapi suara itu … ya sepertinya Sasi sangat mengenalnya.
Respati, mencoba menyusun kata mengikat cerita. Aktif di IG: susi_respati dan Wattpad: respatisetyorini
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata