Surya Tanpa Bulan
Oleh : Niluh
Tanpa ia sadari tangannya digenggam oleh seseorang, kemudian tubuhnya diputar dan sebuah pelukan hangat menyambutnya. Bulan masih bingung dengan sosok yang memeluknya secara tak terduga. Hingga sebuah suara memecahkan kebingungannya. “Jangan pergi. Aku sudah tak sanggup menahan ini lebih lama. Aku rindu,” kata lelaki itu dengan suara parau yang sangat ia kenal.
****
Sudah puluhan kali Bulan membolak-balikkan undangan reuni dari teman SMU-nya. Hatinya masih bimbang antara pergi atau tidak. Jika pergi, itu berarti ia akan bertemu dengan Surya—lelaki yang ia berikan surat berisi tentang perasaan yang lama Bulan pendam kepadanya.
Lembar demi lembar kenangan mulai muncul di ingatan Bulan.
Bulan masih ingat hari di mana ia memberikan surat itu adalah hari terakhirnya memakai seragam putih abu-abu.
Bulan sudah lama mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaan yang ia pendam selama tiga tahun kepada Surya—lelaki yang membuatnya mengenal kata “cinta”.
Jika hati adalah tempat terbaik menyimpan sebuah perasaan, maka itulah yang telah Bulan lakukan. Namun, makin lama dada Bulan makin sesak hingga ia tidak tahan lagi—perasaan butuh dilampiaskan.
Senja yang selalu Bulan habiskan bersama Surya di sebuah kedai kopi—duduk sambil memandang langit yang berubah menjadi kemerah-merahan sambil menghabiskan kopi yang mereka pesan—bukan senja yang membuat Bulan jatuh hati, melainkan mata Surya yang selalu berbinar-binar kala menatapnya membuat Bulan tenggelam dan hanyut pada sebuah lautan tak berujung.
Sekali lagi Bulan mengumpulkan kekuatan untuk bertemu Surya. Meski sekadar melihat dia dari jauh atau mengharapkan jawaban atas segala tanya yang menggelayut di dalam benak Bulan.
Malam itu Bulan memilih pakaian terbaiknya: sebuah gaun bermotif bunga krisan kuning, berleher lebar, dan bagian bawah yang mengembang. Sedikit mencolok, namun Bulan ingin terlihat meski di dalam remang-remang lampu hingga Surya dengan mudah menemukannya. Menambahkan pelembap bibir, penampilan Bulan begitu sempurna. Beberapa kali ia berputar di depan kaca sambil tersenyum.
Diam-diam Bulan merapal mantra untuk bertemu Surya, sekadar menanyakan kabar atau basa-basi tidak jelas.
***
Bulan memasuki sebuah kafe tempat reuni diadakan. Suara riuh teman-teman yang saling melampiaskan rindu sambil bertanya kabar memenuhi ruangan.
Sungguh bising, batin Bulan.
Bulan berjalan mengelilingi ruangan, pandangannya mencari keberadaan Surya, namun hanya kecewa yang ia dapatkan—Surya tidak datang. Diam-diam rintik hujan air mata jatuh di pipi Bulan. Ia memilih duduk di sudut ruang, hingga tak ada yang tahu jika ia sedang menangis.
Apakah Surya memang sudah tidak ingin bertemu dengannya? Atau mungkin ia memang tidak bisa datang? Semua tidak sesuai yang Bulan harapkan.
Bulan pun memutuskan untuk pulang, karena semuanya kini terasa asing. Ia ingin menangisi kebebalan hatinya. Sial! rutuknya.
Setelah pamit dengan segala alasan yang ia karang, akhirnya Bulan berhasil keluar dari ruangan yang penuh kebisingan dengan gelak tawa dan dentuman musik.
Langit malam itu terasa mentertawakan nasibnya. Makanya ia menurunkan hujan untuk membasahi hatinya yang tengah terluka. Luka pada sebuah kisah yang tak pernah Bulan mulai.
***
Telah cukup lama Surya diam di salah satu kursi yang letaknya agak jauh dari ruangan tempat mereka reuni, dengan mudah ia bisa mengawasi tiap orang yang baru saja datang. Hatinya berhenti berdetak kala memandang sosok perempuan yang telah sekian lama menjadi hantu dalam pikirannya.
Bulan begitu cantik malam ini, gaun yang dikenakannya memberi efek ceria, tak ada yang berubah dari wajah Bulan, hanya kini Bulan membiarkan rambutnya panjang dan tergerai hingga ke bahu—membuatnya terlihat dewasa dan anggun.
Ingin sekali Surya berjalan menghampirinya. Menuntaskan rindu yang menumpuk lama di dalam hati pada wajah Bulan yang bulat bak bulan purnama itu.
Bulan merupakan satu-satunya perempuan yang membuat seorang lelaki yang cuek dan dingin seperti Surya menjadi sosok hangat dan melankolis. Ia masih ingat bagaimana air mata bahagia turun saat membaca sepucuk surat dari Bulan. Namun, setelah itu Surya terpaksa ikut pindah keluar kota dengan ayahnya yang seorang tentara.
Hari demi hari Surya lalui dengan mencari tahu tentang Bulan atau nomor telepon yang bisa ia hubungi—semuanya sia-sia, bahkan di media sosial pun tidak ada Bulan yang ia cari.
Alam mendengar setiap doa-doa Surya dengan datangnya sebuah undangan reuni. Surya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Ia lelaki yang tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya telah dibuat malu oleh surat Bulan. Kini Surya tak mau lagi menjadi lelaki pengecut yang hanya bersembunyi di balik ketakutan akan penolakan karena sejatinya perasaan yang mereka miliki sama.
Ia melihat semua gerak-gerik Bulan. Dari berjalan mengelilingi ruangan, sesekali memberi salam basa-basi, kemudian ia melihat Bulan duduk di sudut ruangan—di bawah lampu yang redup. Namun yang membuat hatinya terenyuh ketika Bulan menundukkan kepala dan tubuhnya mulai bergetar—Bulan sedang menangis.
Baru saja kaki Surya melangkah ke arah Bulan, ia melihat Bulan berjalan keluar ruangan dengan tergesa-gesa. Surya segera mengejarnya, tak peduli dengan guyuran hujan yang begitu lebat, ia terus berlari.
***
Lama Bulan berdiri di tengah jalan. Bulan menangis terisak-isak karena luka dan perihnya hati ini, telah lama ia bertahan dengan perasaan ini hingga menutup rapat-rapat untuk yang lain. Kini ia tahu betapa bodohnya dirinya, menaruh harap pada sebuah ilusi.
Mengapa ia sedih? Padahal tak ada kisah apa pun di antara mereka. Memulainya saja belum, lantas kenapa hatiku begitu terluka? tanya Bulan dalam hati sambil menepuk-nepuk dadanya yang begitu nyeri.
Tiba-tiba tangan Bulan digenggam oleh seseorang, kemudian tubuhnya diputar dan sebuah pelukan hangat menyambutnya. Bulan masih bingung dengan sosok yang memeluknya secara tak terduga. Hingga sebuah suara memecahkan kegelisahannya. “Jangan pergi. Aku sudah tak sanggup menahan ini lebih lama. Aku rindu,” kata lelaki itu dengan suara parau yang sangat ia kenal.
Secara tiba-tiba sebuah lampu besar menyorot mereka, hingga suara dentuman keras menggema. Tubuh mereka melayang dan jatuh secara terpisah. Bulan memandang tubuh yang tergeletak tepat di seberangnya. Tubuh itu perlahan bergerak dan memandang ke arah Bulan. Binar mata itu, binar yang telah lama ia kenal dan hanya dimiliki oleh lelaki yang telah mengisi ruang rindunya.
Niluh, perempuan Bali yang menyukai anak-anak dan pencinta kopi tanpa gula.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata