Surat Seorang Tapol kepada Sahabatnya
Oleh: KarnaJaya
Juara 3 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)
5 Oktober 1977
Apa kabarmu, Sahabat? Mudah-mudahan kau baik-baik saja. Kau tentu bertanya, siapa aku?
Baiklah, kau pasti akan tahu siapa aku meski aku sengaja tidak menulis namaku di dalam surat ini. Kau tentu sudah paham benar, bagaimana gaya menulis yang sering kugunakan. Sebagai seorang penulis kau tentu memiliki kepekaan dan ketelitian.
Aku merindukanmu, Kawan … pada secangkir kopi yang sering kita habiskan bersama, pada imajinasimu yang tiada batas. Semoga nasib akan mempertemukan kita.
Namaku sekarang adalah 3051, mereka memberinya delapan tahun lalu. Dan aku tinggal di kamp nomor lima. Setelah malam kelam di tanggal 30 September itu, nasibku berubah seketika menjadi suram. Kini aku telah melewati hampir separuh usia mudaku di balik dinding penjara.
Aku masih mengingatnya lekat, beberapa hari setelah peristiwa itu, lima orang lelaki berambut cepak datang menggedor-gedor pintu rumah dan menjemputku sambil mengokang senjata. Kemudian mereka membawaku ke kantor militer dan mulai menginterogasi. Mereka bertanya, apakah aku mengenal orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan tersebut, apa hubunganku dengan mereka, dan berbagai pertanyaan yang sungguh tidak masuk akal kepadaku. Aku menjawabnya dengan jujur: aku tidak tahu, aku tidak kenal, dan aku tidak mengerti. Namun jawaban-jawaban tersebut tidak mampu menuntaskan keingintahuan mereka. Mereka menghujani tubuh dan wajahku dengan pukulan dan tendangan yang tiada henti. Aku pikir jawaban-jawaban tersebut sudahlah sangat jujur, jelas, dan sangat tidak mengada-ada. Bukankah seorang manusia paling bodoh pun, pasti mengerti akan maksud kalimat-kalimat itu. Atau apakah otak serdadu diciptakan berbeda dengan otak manusia lainnya?
Kemudian mereka segera kehabisan kesabaran, juga kata-kata untuk ditanyakan, dan mereka membalasnya dengan cara yang paling sederhana untuk mendapatkan sebuah pengakuan: dengan membiarkan seorang manusia kelaparan selama berhari-hari agar mau menjawab semua pertanyaan, sesuai dengan keinginan mereka. Dan di antara batas kesabaran, rasa lapar, juga amarah, aku berkukuh dengan jawaban-jawabanku sebelumnya, karena memang aku tidak tahu.
Sekali lagi mereka memberiku siksaan-siksaan yang lebih hebat dari yang sebelumnya. Aku tidak sadarkan diri, ternyata tubuhku tidak sanggup melawan dan bertahan dari penyiksaan yang begitu keji. Dan, setelah tidak ada keterangan apa pun yang didapatkan dari mulutku, dua penjara menjadi tempat persinggahanku, sebelum akhirnya mereka menemukan tempat ini, tempat yang paling tepat mengasingkan orang-orang sepertiku.
Begitulah awal cerita sebelum aku tiba di pulau ini. Untuk kesalahan yang tidak pernah aku buat, dan kesalahan yang tidak pernah aku akui hingga detik ini. Aku hanyalah seorang penyair yang tidak pernah menyangka, bahwa keputusanku bergabung dengan lembaga kebudayaan rakyat akan mengubah jalan hidup. Atas ketidaksengajaan yang aku buat, mereka mengirimku ke sebuah “Kamp Konsentrasi” di sebuah pulau di timur negeri ini, sebagai sebuah hukuman. Serdadu-serdadu itu dengan kokangan senjatanya, setiap hari memaksa kami untuk bekerja keras merambah hutan; membuka jalan dan membangun barak-barak yang kelak digunakan untuk memenjarakan kami. Lalu mereka juga menyuruh kami untuk menggarap lahan-lahan pertanian dan membudidayakan tanaman penghasil makanan dan kemudian mereka merampas hasilnya. Tiada penindasan yang lebih buruk kecuali penindasan terhadap bangsa sendiri.
Jika mereka juga menuduh kami tidak bertuhan sebagai salah satu alasan dan pembenaran atas tindakan mereka, lalu apa yang mereka ketahui tentang Tuhan, dan bagaimana hakikat perintah Tuhan yang sesungguhnya …. Tidakkah perbuatan mereka yang kejam itu dapat dibenarkan oleh Tuhan! Bukankah perbuatan mereka tidak lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan Joseph Stalin¹ dan kelompoknya kepada orang-orang yang mereka sebut pembangkang negara. Rezim tidak bertuhan itu, membuang mereka di dataran Siberia yang membeku untuk mati perlahan. Begitu juga kami di sini: untuk menjemput kematian kami.
Sahabatku ….
Engkau pasti tahu, lengan seorang penyair bukanlah lengan seorang pekerja keras yang terbiasa melakukan pekerjaan berat dengan otot-ototnya. Penyair lebih banyak bekerja dengan otak, untuk membuat diksi-diksi yang mampu menyuarakan isi hatinya. Dan kadang penguasa menganggap kata-kata lebih berbahaya dari sebutir peluru.
Setiap hari aku dan tahanan lainnya harus merasakan lelah yang tiada habis dan menanggungkan rasa sakit yang tiada usai.
Pagi-pagi sekali, kami harus bangun dan berbaris di halaman, lalu membersihkan rumput-rumput di sekitar barak, kemudian bekerja keras di ladang hingga malam mulai menjelang. Jika kami menolak, tentu saja pukulan atau tendangan akan mampir di tubuh kami sebagai paksaan. Pernah sekali aku mengeluh atas perlakuan ini, mungkin saja sekali waktu, hati mereka sedang terbuka. Tidak! Mereka memopor kepalaku hingga telingaku yang sebelah kiri menjadi tuli.
Setiap hari tenaga kami terkuras habis; kehabisan kesabaran oleh kelaparan, dan detik demi detik bernapas dalam ancaman angkara para penyandang bedil². Satu per satu teman kami menemui ajal dalam kelaparan, bunuh diri karena keputusasaan, menderita penyakit yang penawarnya tidak diberikan kepada kami, atau dieksekusi oleh beberapa serdadu yang sedang murka …. Dosa apa yang telah aku buat hingga harus menerima siksaan dan kutukan ini, hidup sebagai seorang tahanan politik, yang dianggap lebih hina dari seorang pengidap kusta. Tiada sesuatu yang lebih baik jika dibandingkan kepada kami, kecuali seonggok sampah yang tak lagi berguna.
Jika seorang Anne Frank tahu dan menerima takdirnya yang buruk sebagai seorang Yahudi, yang sebentar lagi hidupnya harus berakhir di dalam kamar gas. Kami bahkan tidak tahu, atas dasar apa mereka memberi hukuman, bukankah tak ada satu pengadilan pun yang pernah menyatakan kami bersalah. Mengapa kami harus menerima takdir yang buruk: ditindas dan dipermalukan oleh bangsa sendiri.³
Andai saja dalam hidup aku bisa memilih, tentu saja aku ingin kehidupan yang baik-baik saja, seperti kehidupan kita kemarin-kemarin, menikmati masa muda yang menyenangkan; mengalami rasanya jatuh cinta, membaca ulang karya-karya Alexander Pushkin, Maxim Gorky, atau beberapa penulis terkenal lainnya, lalu mendiskusikan isinya bersama-sama sahabat kita lainnya. Oh, ya … aku juga ingin menulis beberapa puisi indah yang dapat menyentuh hati seorang gadis (tentu kau tahu, siapa gadis itu ….). Tapi itu dahulu … sebelum tanggal 30 September yang kelam itu datang dan merenggut impian sederhanaku. Impian sederhana yang kini teramat mewah buat seorang tahanan politik yang telah dipencilkan dari kehidupan.
Sebagai seorang anak manusia, kini aku hanya bisa terombang-ambing dalam sebuah ketidakberuntungan yang bernama nasib. Nasib yang sangat buruk harus terpisah dari keluarga dan teman-teman, dan menjalani kehidupan sebagai seorang tahanan.
Sahabatku ….
Jika aku menitipkan surat ini kepadamu melalui seorang kawan, sebab aku tahu, hanya engkaulah satu-satunya temanku yang mempunyai keberanian dan mengutarakan kebenaran tanpa rasa takut. Namun saranku, demi kebaikanmu juga, buatlah kisah ini menjadi sepotong cerpen saja. Tidak masalah jika kelak orang lain menganggap ini sebuah kisah fiksi atau ilusi yang diciptakan dengan kata-kata. Toh, kebenaran tidak harus disampaikan dengan hitam-putih. Kadang kebenaran bisa disampaikan dengan tinta abu-abu.
Mudah-mudahan, kelak suatu hari, ada orang selain aku dan dirimu yang mengerti, bahwa di tanah air ini, tumpah darah kita, pernah ada seorang pemimpin yang lalim bersama kelompoknya, yang dengan tega menyiksa anak bangsanya, merampas hak dan kebebasan, dan mengabaikan rasa kemanusiaan, demi kebenarannya sendiri.
Terima kasih aku ucapkan, semoga Tuhan melindungi orang-orang baik sepertimu. Dan kutulis sedikit kutipan sebuah puisi yang pernah kubuat di sini, untuk mengingatkan diriku sendiri, bahwa semangatku belum mati:
Jika seorang penyair hanya diam dan membiarkan ujung penanya menjadi tumpul, maka senjata para serdadu yang akan mendongengkan semua kebenaran ….
Salam hangat dari seorang sahabat, di pulau yang jauh.{*}
Bekasi, 23 April 2020
¹Joseph Stalin, seorang diktator Uni Soviet, sekarang disebut Republik Federasi Rusia.
²Petikan sebuah puisi, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, milik Pramoedya Ananta Toer.
³Beberapa kalimat yang diambil dengan tidak sama persis, dari sebuah cerpen milik Martin Aleida, Ode dari Sebuah KTP. Anne Frank, adalah seorang penulis keturunan Yahudi yang terkenal dengan buku catatan hariannya. Ia salah satu yang menjadi korban Holocaust.
KarnaJaya, seorang penulis pemula.
Komentar juri:
Dari balik bui, seorang tapol menulis surat pada sahabatnya. Mencurahkan bukan hanya apa yang dialaminya, penyiksaan dan segala tindak tidak adil yang ia dapat, tapi juga unek-uneknya.
Penulis sudah tahu betul bagaimana cara menulis yang baik, teknik yang cakap, ia sudah menguasainya. Setiap kata yang dipilih ada untuk memberi penekanan dan efek yang sesuai dengan nuansa cerita: suram dan pahit.
Penulis juga pasti melakukan riset yang tidak main-main dalam menggarap cerpen ini, dan itu menunjukkan seberapa serius penulis ingin menghadirkan karyanya.
Rasanya tidak heran lagi kalau cerpen ini nangkring di tiga besar.
Nice job, Pak.
-Fitri Fatimah
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata