Surat Malaikat Maut

Surat Malaikat Maut

Surat Malaikat Maut
Oleh: Ayu Candra Giniarti

“Assalamualaikum!”

Salam dengan suara berat terdengar dari arah pintu rumah Tony. Ia memaksakan kakinya melangkah, membuka pintu. Menjawab salam begitu pelan, hampir tak terdengar.

Seorang pria berkulit putih berperawakan tinggi berdiri di depan pintu. Pria itu membawa amplop panjang berwarna putih.

“Selamat sore, Pak Tony. Saya mau menyerahkan surat ini,” pria itu menyapa.

Tony mengerutkan dahinya. “Bagaimana Anda bisa tahu nama saya?” jawab Tony sambil menerima surat yang disodorkan pria itu.

“Itu, ada papan nama di baju Bapak,” jawabnya sambil mengacungkan ibu jari.

Tony tergagap, tersenyum simpul, ia lupa bahwa ia baru saja pulang kerja dan belum mandi. Tentu saja belum ganti baju. Tak lama Tony celingukan, betapa terkejut ia saat mendapati pria itu sudah tak ada di depannya. Berusaha mencari, tetapi tak menemukannya.

“Ke mana perginya itu orang! Terus, ini surat apaan ya?” Tony membuka amplop putih itu.

Waktumu tinggal 100 hari lagi. Pilihan ada di tanganmu, lambat tapi nikmat atau cepat tapi sekarat.

“Seratus hari? Apanya? Lambat tapi nikmat, cepat atau sekarat? Ah, dasar orang aneh!” umpatnya kesal.

***

Pria itu datang lagi. Bukan mengetuk pintu seperti tadi, tetapi menggedor-gedor pintu nyaris mendobraknya. Tony berlari ketakutan, ke dapur, ke kamar mandi, ke pintu yang mengarah ke pekarangan belakang rumah.

“Mau lari ke mana kamu, Ton!”

Pria itu tiba-tiba muncul di pintu belakang yang terbuka. Tony berlari cepat ke pintu depan, tiba-tiba pria itu ada di sana. Napas Tony mulai tak teratur, detak jantungnya seperti pelari maraton yang sedang mengikuti olimpiade.

Huh! Huh! Huh!

Mata Tony membulat, tangan kanannya memegang dada, takut jantungnya tiba-tiba copot. Ia mulai mengatur napas, pandangan matanya mengitari semua sudut rumah. Rupanya ia bermimpi.

Ruangan masih gelap, suara azan mulai terdengar sayup-sayup dari masjid seberang. Tony bergegas mandi dan berwudu. Menyambar baju kokonya, dikenakannya dengan rapi lengkap bersama sarung dan peci.

Tony berjalan kaki, menuju masjid itu. Ia banyak bertemu dengan tetangga dan orang-orang yang sengaja mampir untuk menunaikan ibadah sholat Magrib di masjid itu.

“Bapak kelihatannya bukan orang sini, ya?” tanya Tony pada seorang bapak yang sedang merapatkan barisan di sebelah Tony.

“Iya, Nak. Mari sholat dulu. Sudah iqomat,” jawab Bapak itu.

Tony mengangguk dan mulai mengikuti imam. Hingga selesai salam, Tony merasa seperti ada yang memperhatikannya.

“Saya kebetulan mau ke rumah sakit umum, Nak. Mau gantian menjaga anak saya yang sedang sakit,” kata Bapak itu sambil melepas pecinya.

“Di rumah sakit umum kan ada musholanya, Pak. Kenapa nggak sholat di sana saja?” Tony bertanya heran.

“Iya, kalau saya bisa sampai di sana dengan selamat. Lha, kalau di jalan saya ketemu malaikat maut terus disuruh ikut bagaimana?”

“Hm, ya bilang saja belum siap.”

“Mati itu nggak bisa ditawar, Nak. Kalau sudah saatnya ya mau nggak mau harus mau. Beruntung, kalau malaikat maut sudah memberi tahu dulu sebelum menjemput. Paling nggak, kasih kode gitu. Biar kitanya nggak kaget banget. Iya, nggak!”

Tony mengangguk, membenarkan kata Bapak itu.

“Biasanya, seratus hari sebelum meninggal itu ada tanda-tanda yang tidak disadari.”

“Apa? Seratus hari?”

Bapak itu mengangguk membenarkan, lalu pamit untuk segera ke rumah sakit.

Tony berjalan pulang, jantungnya berdebar kencang mengingat kata bapak itu dan surat yang diterimanya. Sampai di depan rumahnya, ia menatap rumah itu. Memperhatikannya dari setiap sudut hingga pelataran rumah tanpa pepohonan. Entah mengapa, ada rasa haru di hatinya. Rumah itu adalah hasil kerja kerasnya selama belasan tahun menjadi marketing di sebuah Bank. Meskipun pekerjaannya tidak menetap di satu kota, karena pasti ada putaran untuk berpindah tempat. Namun, di kota Klaten ini ia merasa nyaman. Hingga ia memutuskan membeli rumah kecil di sebuah desa, bukan perumahan elit atau semacamnya. Untuk tempat tinggal bersama istrinya kelak. Entah kapan, karena hingga sekarang pun Tony belum berani menambatkan hatinya pada seseorang.

Ia membuka pintu rumahnya, salam yang dilafalkan begitu jelas, begitu pula dengan salam sahutan dari dalam. Tony membelalak, jantungnya berdebar lebih kencang, keringat dingin mengucur di dahinya, bulu kuduknya merinding bukan main. Tepukan mengagetkan mendarat di bahu kanannya.

“Hei! Mau masuk rumah aja mikirnya kelamaan!” Reza menyeringai saat Tony membalikkan badan.

HUAA!!

Tony berteriak ketakutan. Reza terkejut. Ia membalikkan badan dan merapat ke bahu kiri Tony. Pegangannya semakin kuat, matanya melirik ke kanan dan kiri. Hingga kedua tangannya terasa panas, ketika tangan Tony mendarat di punggung tangan Reza dengan suara yang nyaring.

PLAK!

“Aduuh! Opo, sih! Ngeplak-ngeplak! Tak kancani wedi kok malah ngeplak!” ucap Reza sambil memonyongkan bibirnya.

Tak kiro kamu itu setan! Makanya aku teriak. Lha, kok malah ikut-ikutan takut. Aneh!” jawab Tony sambil menepuk-nepuk bahu kiri nya.

“Masa iya, aku kayak setan!”

“Eh, yang jawab salamku tadi kamu, bukan?”

“Bukan!” Wajah Reza terlihat panik, tetapi sesaat kemudian ia memicingkan mata.

“Duh, Za.. Berarti tenan ono setan! Soalnya tadi aku mau masuk rumah itu salam dulu. Lha, kok malah ada yang jawab dari dalam!”

“Hahahaha … tumben jadi penakut. Aku yang jawab! Ah, kamu ini terlalu parno. Lagi mikirin apa, sih?”

Tony mendengkus kesal. Ia teringat surat itu, tetapi ia mengurungkan niat untuk memberi tahu Reza, tetangganya yang juga sahabatnya itu.

“Aku mau ngaji dulu, Za. Ayo sini masuk!”

“Wah, jadi alim sekarang. Ya udah aku tak pulang aja. Tadi kebetulan lewat aja kok,” jawab Reza, menepuk bahu kiri Tony.

Tony masuk rumah dan meraih kitab suci yang sedikit berdebu. Ia mulai menggelar sajadahnya, melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Bulir bening menetes di pipi Tony. Dadanya semakin sesak, menahan sesal yang bertumpuk-tumpuk.

Tony teringat ayah dan ibunya. Sudah lama ia tidak berkunjung ke rumah Ayah dan Ibu. Sejak dua tahun yang lalu, Tony memutuskan menetap di sebuah desa di Klaten. Ia bertekad untuk meminta izin cuti besok.

***

“Bos, saya mau ambil cuti tiga hari saja. Bisa, Bos? Mau pulang kampung. Lama nggak jenguk ayah dan ibu saya,” ucap Tony dengan wajah memelas.

“Nggak bisa! Akhir bulan gini kok mau cuti!”

Bos Dharma melotot sambil merapikan kumisnya dengan ibu jari dan telunjuk, bergerak mengikuti tumbuhnya kumis yang tebal itu. Tony menghela napas berat, lalu meninggalkan ruangan Bos Dharma yang mempunyai nama asli Sudarmanto itu.

Tony kembali duduk di kursinya, ruangannya berhadapan dengan ruang Bos Dharma. Sesaat kemudian, pria yang pernah mengantarkan surat itu datang menemui Bos Dharma, dengan diikuti sekretaris Bos Dharma yang berlari mencegah pria itu masuk ke ruangan Bos Dharma.

“Ada apa ini!” bentak Bos Dharma dengan suara tinggi. Hampir semua karyawan mendengarnya. Tak terkecuali Tony, yang dibuat penasaran dengan kehadiran pria itu.

“Maaf, Pak Bos, saya sudah melarang. Tapi Bapak ini ngotot mau ketemu Pak Bos Dharma,” ucap Lili si sekretaris.

Bos Dharma mengangkat tangan kanannya, mengarah pada Lili. Lili pun mundur, lalu berbalik ke tempatnya.

“Mau apa lagi? Ngasih surat lagi? Wong gendeng!” Bos Dharma tersulut emosi.

Pria itu hanya tersenyum dan memberikan sepucuk surat pada Bos Dharma. Tony begitu terkejut, karena Bos Dharma dengan lantang membuang surat itu di tong sampah di samping pintu. Lalu bergegas masuk, raut wajahnya tampak kesal bercampur bimbang.

Tony penasaran, ia memungut surat itu di tong sampah saat jam istirahat.

Kau menyia-nyiakan waktumu. Waktu tinggal 40 hari lagi.

Jantung Tony berdetak kencang. Ia belum bisa melupakan isi surat itu dan surat untuknya.

Hingga keesokan harinya dan entah hari ke berapa, ia mendadak lupa. Kalender di dinding dekat tempat duduknya sudah berganti lembar. Ia masih duduk di tepi kasur, memandang foto ayah dan ubunya. Ia bertekad, tanpa izin dari bosnya pun ia tetap akan pulang.

Tony bergegas ke kantor, ia berpamitan pada Bos Dharma. Seperti biasa, ia tak mendapatkan izin meskipun bukan akhir bulan.

“Nggak boleh! Kamu nggak boleh izin sampai aku tidak di kantor ini lagi!” Bos Dharma seperti sedang meluapkan amarah yang tak kunjung reda.

Entah apa sebabnya, Bos Dharma terlihat panik. Hingga pria itu datang dan mengulurkan tangannya pada Bos Dharma. Bos Dharma lari tergopoh-gopoh menuruni anak tangga. Di anak tangga ke tujuh dari atas, ia terpeleset dan kepalanya membentur dinding. Sangat keras! Darah mengalir, membasahi kerah bajunya. Beberapa karyawan berusaha menolongnya, tetapi Bos Dharma sudah tak bernapas lagi.

Tony mematung, bulir bening menetas deras. Pria itu berlalu dan tersenyum pada Tony. Ia akan datang lagi nanti, jika sudah saatnya. (*)

 

Ayu Candra Giniarti, pecinta udara pagi. Mengawali hari dengan secangkir teh hangat dan sinar mentari.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata