Surat di Dalam Amplop Kuning
Oleh: Erien
Aku menimang paket yang baru saja diberikan teman sekamarku.
“Dari seseorang yang menyelipkan namamu di tiap doanya.”
Begitu, tulisan yang terbaca di sisi atas kardus bersampul kertas kado motif awan tersebut. Saat kubuka, ada sekantung jala kecil berpita pink berisi gulungan-gulungan kertas kecil bernomor, sebuah sapu tangan bermotif kotak biru langit, dan satu amplop kuning yang tipis. Tanpa bisa ditahan, bibirku melengkung bahagia.
Paket itu dari Zui. Zuiliani, lengkapnya. Gadis berusia dua puluh tiga tahun yang kuajak berkenalan lewat aplikasi WhatsApp dua bulan sebelum aku merantau ke Riau. Kudapatkan nomornya dari teman kampusku. Gadis asli Yogyakarta yang kala itu mampir di kampus untuk menjemput temanku itu.
Sebelum merantau, aku memang mengajaknya taaruf. Kudatangi rumahnya dan berkata langsung pada ayahnya bahwa aku ingin serius menikahi gadis itu. Zui memikatku lewat caranya bertutur kata. Nada suaranya lembut tetapi tegas. Beberapa kali mendengarnya bercakap dengan orang lain, kuputuskan bahwa inilah calon ibu dari anak-anakku kelak. Anggukan kepalanya saat itu menjadi semangatku untuk pergi merantau mengumpulkan modal membangun rumah tangga bersamanya.
“Paketnya sudah datang, Dek. Mas buka, ya?” Pesan kukirimkan lewat WhatsApp.
“Alhamdulillah. Silakan, Mas.” Sedikit lama, pesanku berbalas juga.
Gulungan kertas bernomor satu dalam jala itu kubuka.
“Mas Zul, terima kasih karena mau mengenalku lebih dekat. Semoga Allah mudahkan langkahmu meraih cita-cita. Kuharap, apa pun nanti ujung langkah kita, silaturahmi tetap terjaga.
Silakan baca surat kuning sebelum lanjut ke gulungan berikutnya di hari esok.”
Wajahku yang semula berhias senyum, menjadi heran. Kuambil surat kuning dari kotak paket itu. Aku menggunting dengan hati-hati agar tidak merobek isinya. Pelan, kubuka lipatan surat itu. Tulisan tangan Zui yang rapi, membuatku ingin segera membaca.
***
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Mas Zul, semoga selalu sehat.
Surat ini pasti membuat penasaran. Zui mau Mas membacanya dengan perlahan, lalu memikirkan apa yang akan Mas lakukan selanjutnya. Jika perlu, shalat istikharah agar hati Mas mantap dengan keputusan Mas.
Mas, ada yang mau Zui sampaikan berkaitan dengan hubungan kita. Zui melihat Mas Zul sangat serius dengan Zui. Jadi ada satu hal tentang Zui yang harus Mas tahu.
Zui ini sedang belajar, berusaha keras menjadi gadis yang baik. Namun, Zui tidak bisa menghapus semua yang sudah Zui lakukan di masa lalu. Termasuk dosa-dosa Zui. Dan karena hal itu berhubungan dengan masa depan kita, maka Zui putuskan untuk jujur pada Mas Zul agar kelak tidak ada yang terluka.
Jadi, Mas, Zui ini sudah tidak suci, tidak gadis lagi. Maafkan jika membuatmu kecewa. Kejujuran ini memang pahit bagi Mas, tapi tahukah Mas bahwa pengakuan ini lebih pahit lagi bagi Zui. Aib yang Allah tutupi terpaksa harus dibongkar karena Zui tidak ingin ada masalah di kemudian hari.
Itu saja. Zui percaya Mas Zul bisa menjaga rahasia. Apa pun nanti keputusan Mas, Zui terima dengan lapang dada. Toh, kita baru sebatas mengenal.
Tolong jawabnya lewat WA saja, ya. Kapanbpun Mas siap, Zui terima keputusannya.
Mas berhak dapat yang terbaik, sama seperti Zui yang berharap dapat seseorang yang bisa menerima masa lalu Zui. Sekali lagi, maafkan jika Zui mengecewakan.
Be safe.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
***
Surat beramplop kuning itu kulipat lalu kumasukkan kembali dalam kotak paket. Tanpa sadar, jemariku mengepal. Jangan tanya bagaimana hatiku, karena aku tidak tahu dengan apa yang kurasakan saat ini. Ibarat mobil yang siap melaju, tetapi hancur tertimpa lampu lalu lintas. Kini aku harus memilih; tetap melaju atau berhenti.
Calon istri yang kudamba, ternyata sudah tidak suci. Dengan siapa? Kapan? Kenapa bisa? Bukankah Zui adalah seorang gadis berhijab lebar, dengan tingkah laku dan tutur kata yang terjaga? Bagaimana bisa ia berzina?
Semua pertanyaan bergulung di otakku. Panas! Bergegas aku ke kamar mandi dan mengguyur kepala. Kupikir air bisa menghanyutkan emosi yang mulai naik tanpa bisa terkendali. Hati ini seperti dibohongi, diberi harapan palsu. Telaga yang kusangka indah terjaga, ternyata sudah diselami oleh lelaki lain. Aku harus bagaimana?
Setelah membaca surat itu, aku tidak lagi mengirim pesan pada Zui. Pun tidak lagi menyentuh semua yang Zui kirim. Kusimpan semua dalam boks plastik besar berkunci. Gadis itu juga menghilang. Tidak ada pesan.
Sebenarnya aku juga geram. Ia memberi tahu di saat kami berjauhan. Jelas situasinya semakin menyulitkan. Komunikasi juga terbatas. Semua tanya hanya bisa kupendam dalam hati. Ada ego lelaki yang menghalangi jemariku mengetukkan jari pada namanya di layar ponsel.
Serupa debu terbawa angin, harapanku lesap. Rasa cinta menggebu kini tidak lagi kurasakan padanya. Aku melampiaskan semua kecewa pada sepertiga malam di sajadah biru tua. Juga pada bait-bait ayat Al Quran yang kubaca membabi buta tiap selesai salat. Terkadang, teriakan di bukit belakang pabrik membuatku lega. Sungguh sakit hatiku mendapati kenyataan seperti itu.
Sebulan berlalu. Aku mulai terbiasa tanpa bayang-bayang Zui. Ia seakan-akan perlahan lenyap dari ingatanku. Kuambil jatah lembur maksimal agar lupa dengan semua senyumnya. Kuhabiskan peluh dalam lari pagiku agar hilang semua kenangan tentang sosoknya.
“Bagaimana kamu dengan Zui, Zul?” Telepon dari sahabatku di seberang sana mengingatkanku pada gadis itu. Meski ingin sekali mengumpat, rasanya tidak etis karena temanku itu tidak tahu permasalahan kami. Aku mendengkus pelan.
“Yah, doakan saja yang terbaik.” Aku menjawab netral. Tidak mungkin kuceritakan aib Zui padanya. Meski kesal, aku masih punya hati.
“Aamiin. Nggak nyangka, Zui mau sama bekas playboy macam kamu.” Tawa mengiringi gurauan temanku itu.
Aku tergemap, menyadari sesuatu.
Mulai malam itu aku sholat istikharah. Kuserahkan semua keputusan pada kehendak Allah. Bukankah seharusnya demikian? Seminggu kemudian, aku memutuskan untuk menelepon Zui.
“Mas mau minta maaf, Zui. Seharusnya Mas tidak menghilang, memutuskan silaturahmi. Bahkan bisa dibilang menggantung nasib Zui, karena tidak berkata apa-apa.” Aku sedikit gemetar saat kembali mendengar suara gadis itu.
“Hari ini, setelah sholat istikharah, Mas memutuskan untuk meneleponmu. Dan Mas minta karena … harus … memutuskan taaruf di antara kita. Mas minta maaf sebesar-besarnya atas semua kesalahan. Nanti Mas bilang sama Ayah juga.”
Sejenak hening hadis di antara kami. Aku bersabar menunggu Zui bicara. Namun, setelah lima menit tidak ada yang bicara, kuputuskan kembali bertanya apakah ia baik-baik saja. Tidak ada kata dari gadis itu selain, “iya.” Sayup kudengar isak tangis perlahan. Aku menguatkan hati.
Hari berikutnya, kutelepon lelaki kesayangan Zui.
“Maaf, Yah. Semalam saya memutuskan untuk mengakhiri masa taaruf saya dengan Zui. Bulan depan saya pulang untuk melamar langsung anak Ayah itu.” (*)
Kotabaru, 16042021
Erien, ibu rumah tangga yang entah kapan berhenti belajar. Kenali lebih dekat di Facebook: Maurien Razsya.
Editor: Imas Hanifah N