Surat dari Masa Lalu
Oleh : Siti Nuraliah
Secangkir kopi baru saja diletakkan di atas meja kerjanya. Ia menyugar rambut, serta menggulung lengan kemejanya sampai sikut. Aroma kopi bercampur petrichor—aroma alami yang dihasilkan saat hujan jatuh ke tanah yang kering—memupuk kembali rasa rindu yang dikuburnya dalam-dalam.
Perlahan ia membuka kotak di dalam laci meja di sebelah kirinya. Kotak usang, berdebu, dan tak lagi mempunyai kunci gembok itu dibukanya dengan mata terpejam. Beberapa amplop merah jambu berserakan di dalamnya. Ia tersenyum tipis, terbayang wajah bulat dengan senyum yang membuat dirinya selalu candu itu berkelebat begitu menggoda di depan matanya. Ia kembali terpejam, seakan enggan melepas bayangannya. Semakin lama, semakin membuat sesak. Ia sungguh menikmati nyeri yang memeras ulu hati.
Kemudian ia tertawa, tapi sudut matanya basah. Dadanya berguncang menahan tangis. Segunung sesal, tak lantas menebus rasa bersalahnya sebab terlalu pecundang.
Waktu itu, di tengah padang ilalang yang bunganya sedang mekar.
“Nih, puisi ke sepuluh dariku!”
Gadis manis berkulit sawo matang itu meraih selembar kertas putih yang diberikan kepadanya.
“Kenapa, sih, kamu suka puisi?” tanyanya. Matanya menyipit menatap hamparan bunga ilalang yang sebagian terbang diembus angin.
“Memangnya kenapa, gak suka, ya?”
“Tulisan kamu jelek!” ejeknya, disertai tawa.
“Sialan!” Ia mengacak-ngacak poni gadis itu dengan kertas yang digulung.
“Suratmu minggu lalu sudah aku baca. Aku minta dibuatkan surat cinta lagi dari isi puisi yang aku berikan tadi!” perintahnya.
Lengang. Gadisnya diam.
“Gimana?” Ia menoleh ke arah yang diajak bicara.
“Setuju!” jawab gadis itu dengan senyum yang dikulum.
Ia memegang kepalanya kuat-kuat. Mengapa waktu itu ia tak langsung paham perasaan di antara keduanya? Terlalu takut untuk diutarakan, terlalu takut menyebutnya itu sebagai sebuah perasaan cinta. Hingga semakin kuat mengakar di nadinya. Dalam bait aksara yang direka sedemikian rupa oleh gadisnya, ia hanya mampu menerka-nerka.
Bagaimana aku bisa begitu abai pada perasaan perempuan? gumamnya. Sehingga gadis itu merasa seperti pungguk merindukan bulan.
Setelah itu, beberapa purnama, mereka tak lagi bersua. Mereka dipisahkan kasta. Keluarga gadis itu menyebut ia sebagai pembual belaka. Lantas apa yang akan disuguhkan kepada anak gadisnya? Apakah hanya “tumisan” kata?
Rasa sesaknya semakin akut, saat ingat pujaannya merana dibawa berdayung sang nahkoda yang tidak disukainya. Berkali-kali gadis itu ingin melompat dan memilih karam untuk mengakhiri hidupnya. Katakan, bagaimana suurga dapat diraih dari sebuah pernikahan neraka?
Hujan di luar mulai reda, menyisakan kelimis pada daun-daun cemara di pekarangan, serta genangan air di jalan-jalan. Aroma petrichor kembali menguar. Lelaki berkemeja ini lalu duduk meletakkan kotak itu di samping laptopnya. Ia menyesap kopi, seperti kebiasaannya dulu saat hendak menulis puisi. Keluarga gadis itu mungkin benar. Apa yang diharapkan dari seorang penyair? Hanya akan menemukan barisan kata di setiap lembaran hidupnya.
Ia menghela napas, memandang lurus ke luar. Jendela kacanya mengembun, memburamkan pandangan. Pelan-pelan ia mendekat, menuliskan satu nama dengan telunjuknya. Ia kembali merasa gila, tersenyum, menahan tangis, tersenyum lagi, kisahnya serupa hikayat cinta Qais dan Laila.
Terakhir kali ia mendengar kabar, sebelum gadisnya benar-benar menghilang—baginya ia tetap gadis, yang tak pernah disentuh olehnya—gadis itu selalu mengurung diri, enggan untuk makan, tubuhnya hanya tinggal kulit yang membalut tulang. Mata bulatnya cekung, serta pipi yang selalu merah merona itu kian tirus. Sampai akhirnya, perasaan cinta dan rindu yang tak tersampaikan, juga rasa benci pada keadaan yang amat dalam, membuat frustrasi hingga membunuh gadis itu secara perlahan.
Kini berpuluh purnama telah berlalu, nasib dan jalan hidupnya berubah, ia bahkan sempat menjadi amnesia—tentang gadisnya—angka usianya semakin banyak. Memilih menikahi pena sebagai luapan rindu adalah jalan terakhir seorang penyair. Segala luka, ia pahat pada tiap-tiap kata.
Disesapnya lagi kopi yang hampir habis. Surat-surat itu disusun kembali olehnya, dari yang pertama sampai yang terakhir. Beberapa ada yang dibaca ulang, satu-dua kertasnya ada yang tak lagi utuh, sehingga ia harus menyambungnya serupa puzzle. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Meraih laptop dan kembali meneruskan tulisannya.
“Maafkan aku, Sayang … saat itu aku tak punya cukup keberanian untuk membawamu lari, namamu akan kusulam indah di dalam lembaran buku sebagai sebuah sejarah. Tunggu aku di surga, ya, di tengah hamparan bunga-bunga, kita akan menikah di sana seperti permintaanmu kala itu yang kuanggap hanya bercanda. Sebagai penebusnya, aku akan tetap melangsungkan hidup sebagai pendongeng ulung. Aku telah akan selamanya melajang untukmu, Aena Mardeyya.” Ia bicara kepada udara. (*)
Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis kadang suka membaca. Penulis amatir yang sedang berusaha selalu memperbaiki tulisannya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata