Sup Penyesalan
Oleh : Marissa
Sejak kecil Ibu berpesan, jika aku besar nanti, aku harus bisa memasak apa pun, apalagi jika sudah berkeluarga. Aku tidak setuju, terlebih ketika hidup sudah nyaris-nyaris mirip di surga, urusan lapar tidak lagi menjadi masalah.
Zaman sudah berkembang, teknologi sudah semakin canggih, sekali mengklik, makanan apa pun tersedia. Lantas, mengapa Ibu masih saja menyuruhku belajar memasak? Terlebih di saat jadwalku benar-benar padat, aku pun sudah berkeluarga. Begitu kataku kspada Ibu yang meneleponku siang ini. Ia bersikeras memanggilku untuk memasak lagi. Pekan ini aku ada pertemuan penting sekaligus jadwal operasi. Suamiku saat ini tengah dinas di luar kota. Aku mencoba menelepon Ibu sekali lagi, menolak ajakannya.
Satu dua kali tidak terjawab, tiga kali, akhirnya Ibu mengangkatnya. “Halo, Nak.” Suara Ibu tampak samar.
“Bu, aku tidak bisa ke rumah Ibu pekan ini, aku sangat sibuk. Meeting dan jadwal operasi padat, bukan saatnya untuk cuti begitu saja,” bantahku menolak ajakan Ibu.
“….” Ibu tidak merespon.
“Halo? Ibu dengar tidak?”
“Ya, Nak. Maaf, jaringan kali ya.Tadi kamu bilang apa?” Suara Ibu terdengar parau.
Aku menghela napas panjang. “Aku tidak bisa pergi ke rumah Ibu, jelas?”
“Begitu, ya? Kalau memang sibuk sekali, lain kali aja, tapi usahakan datang, ya, Nak.”
“Orang-orang juga berharap padaku, Ibu. Alasan mereka lebih penting saat ini ketimbang hanya memasak, aku tidak akan menarik ucapanku, aku sibuk. Nanti aku telepon lagi.” Aku memutuskan panggilan sepihak.
Aku kembali ke kamar pasien. Mengeceknya dan memastikan apakah pasien telah dalam kondisi yang memungkinkan menjalankan operasi?
“Ners, apakah pasien makan satu hari ini? ” tanyaku kepada perawat pasien itu.
“Tidak, Dok. Dia masih berpuasa untuk besok, semalam aku sudah memberikannya pil, dan mengatur laju infusnya,” jawabnya.
“Baiklah, catat per tiga jam kondisi pasien, jika ada perubahan dari data kemarin, hubungi saya di ruangan Dr. Ghani. Saya ada meeting dulu.”
“Dok, apakah Anda tidak ingin menukar shift operasi saja? Tampaknya jadwal Anda padat dari kemarin. Dr. Helen tidak mengikuti meeting hari Selasa lalu, Anda bisa menukar dengan shift Dr. Helen. Sepertinya itu tidak masalah.”
Aku menatapnya tajam, Sepertinya ia baru saja mendengar percakapanku dengan Ibu. “Tidak. Aku yang akan tangani pasien ini.”
“Baik, Dok.” Ia menunduk.
***
Meeting selesai. Operasi berjalan lancar, keadaan pasien membaik. Hanya tunggu waktu pemulihan, pasien sudah bisa pulang kerumah. Aku mengecek ponsel, pukul 23.30 dan ada 10 panggilan tak terjawab. Astaga! Aku lupa jika hari ini suamiku pulang, aku bahkan tidak menjemputnya, apalagi memberinya kabar.
Aku bergegas ke mobil dan pulang dengan khawatir. Mobilku melesat cepat menyusuri jalanan yang lengang. Jantungku berdegup hebat, tidak pernah aku ketakutan seperti ini karena suamiku, perasaan khawatirku saat ini berbeda.
Mobilku telah mantap terparkir di garasi rumah, kulihat suamiku berkacak pinggang menungguku di teras rumah, aku menahan napas.
“Mas maafkan aku, kamu tahu ‘kan jadwalku yang sering muncul tiba-tiba? Maaf aku tidak sempat mengecek ponselku lagi setelah meeting, aku lanjut operasi setelah itu–” kataku menjelaskan, tetapi ….
“Ibu di ruang operasi hampir 8 jam,” potongnya.
Apa katanya? Ibu? Yang benar saja. Terjawab sudah apa yang kurisaukan tadi.
“Apa? 8 jam? Ibu tidak pernah di operasi selama itu.” Aku mengatur nada bicaraku.
“Lisa, ayo kita ke rumah sakit sekarang,” tegasnya. Kumohon jangan memperparah keadaan.
“Kau berlebihan, aku lebih mengetahui penyakit Ibu. Ibu akan baik-baik saja, besok sore kita jenguk Ibu di rumah sakit, aku capek.” Aku meninggalkannya. Langkahku seberat ucapanku, khawatirku ini belum selesai-selesai juga.
“Oh, iya, sebelum kemari, aku sempat mengunjungi Ibu di rumah. Ia memasakkan sup kesukaanmu, tetapi nahas, setelah beberapa jam aku pulang, aku dapat kabar beliau sudah dilarikan ke rumah sakit, setidaknya kamu makanlah itu dulu.”
“Aku capek, mau tidur. Sup itu pasti dibuat waktu pagi, rasanya pasti sudah tidak enak, buang saja, aku akan memasaknya sendiri besok.” Aku membanting diriku di kasur, membuang jauh-jauh pikiran buruk itu.
Keesokan harinya, aku bangun, lalu memasak untuk sarapan suamiku. Kulihat sup itu masih utuh tersimpan di lemari, aku tak berniat memakannya sama sekali, kubiarkan begitu saja. Aku akan membuat sup yang baru untuk kubawa ke rumah sakit, sekaligus membayar “utang” memasakku kepada Ibu tempo hari.
Kami tiba di rumah sakit As-syifa, tempat Ibu biasa berobat dan di operasi. Kami menuju ke resepsionis menanyakan kamar Ibu.
“Mbak, kamar pasien atas nama Halimah, yang baru dioperasi kemarin di mana, ya?” tanyaku.
Resepsionis itu mencari di daftar nama, ia terdiam.
“Maaf, Mbak, Ibu Halimah baru saja dipulangkan siang tadi,” jelas sang resepsionis. Buru-buru aku jawab karena seperti yang kuduga, pasti Ibu sudah sehat lagi dan sudah pulang ke rumah.
“Oh, ternyata udah keluar, ya. Ayok, Mas, kita ke rumah Ibu saja langsung. Ini supnya keburu dingin nanti.” Aku berbalik, diikuti suamiku.
“Mohon maaf, Mbak. Ibu Halimah, 59 tahun. Hari Rabu, pukul 23.30 telah berpulang. Jenazahnya dibawa siang tadi ke rumah duka, Anda siapanya, ya, kalau boleh tahu, Mbak? Biar saya data,” sambungnya lagi.
Saat itu juga aku tidak mengingat apa pun. Suamiku bilang aku pingsan. Ia membawaku ke rumah Ibu. Aku tidak sadarkan diri sampai Ibu dikebumikan. Aku menyesal seumur hidupku. Membenci diriku sendiri dan seluruh perkataanku saat itu. Ingin rasanya aku tampar diriku karena tidak mengunjungi Ibu hari itu juga, membatalkan segala aktivitasku. Apa aku pantas disebut sebagai Dokter!? Aku berteriak sia-sia. Menumpahkan tangisan sebanyak-banyaknya.
Ah … masih ada itu. Aku melangkah ke dapur dengan tertatih, membuka lemari penyimpanan, kuambil semangkuk sup buatan Ibu. Lezat sekali, meskipun dua hari telah tersimpan, ini masih menjadi sup kesukaanku sejak kecil. Itu menjadi sup terakhir Ibu, sup terlezat sedunia, juga sup penyesalan seumur hidupku. (*)
Marissa Saud, gadis penikmat lautan yang masih belajar bagaimana cara untuk mendapatkan hati pembaca.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata
Sumber Gambar: pinterest.com