Sumpah Sati Bukik Marapalam (Terbaik Ke-4 TL-19)

Sumpah Sati Bukik Marapalam (Terbaik Ke-4 TL-19)

Sumpah Sati Bukik Marapalam

Oleh: Vianda Alshafaq

Terbaik Ke-4 TL-19

 

Simpang, 1846.

Lebih mudah menanyai Nenek daripada Ibu jika menyangkut segala hal tentang Ayah, meski Nenek tidak langsung memberi jawaban yang pas—ia akan menceritakan hal lain yang ada di kepalanya saat itu terlebih dahulu. Tetapi paling tidak, aku tidak mendapati sepasang mata Ibu berair yang membasuh pipinya yang menghitam tersengat matahari jika aku bertanya. Kata Nenek, Ayah gugur saat aku baru berusia satu tahunan, dan karena itu aku tak tahu seperti apa wajah Ayah. Nenek juga pernah mengatakan padaku bahwa sejak kepergian Ayah, Ibu lebih banyak diam. Bahkan kata-kata yang ia ucapkan dalam sehari bisa dihitung dengan jari. Wajahnya selalu mendung, serupa awan-awan yang menggantung di langit hari ini.

Hari ini seharusnya aku mengikuti Ibu ke ladang di sebelah surau, sekitar lima ratus meter dari rumah bambu—yang lebih cocok disebut pondok—peninggalan Ayah. Hari ini Ibu ikut memanen kopi di ladang itu. Tetapi aku tidak bisa ikut karena Nenek tidak ingin sendirian di rumah. Apalagi sejak kemarin kami sering mendengar suara letusan meriam.

Baru saja, kami juga mendengar teriakan meriam yang lantang, seolah-olah memberi peringatan bahwa sebentar lagi ada sekumpulan roh yang bakal pulang ke langit. Itu bukan bunyi pertama hari ini, tapi yang kedua. Aku tidak yakin meriam itu berasal dari mana. Mungkin dari jorong (2) sebelah, karena kemarin kudengar terjadi konflik kecil antara warga dan tentara Belanda yang ada di sana.

Aku bersimpuh di samping Nenek yang mengintip beberapa tentara yang berjalan di depan rumah melalui celah-celah bambu. Kulihat tangan Nenek gemetar bukan main, dan wajahnya mulai memucat. Darah yang semula membuat wajah keriput itu sedikit berwarna, seketika lenyap seperti ditelan ketakutan. Nenek memang sangat takut dengan tentara militer. Katanya, setiap ia melihat para pria bersenjata itu, ingatannya kembali melesat pada peristiwa tragis yang pernah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri: pertumpahan darah yang membuatnya kehilangan Kakek puluhan tahun silam.

Aku memegangi tangan Nenek dan kutatap matanya. Tidak apa-apa, mereka tidak melihat kita, hanya kalimat itu yang bisa kukatakan pada Nenek, meski sejujurnya aku tidak yakin apakah kami memang tidak akan kenapa-kenapa, sebab kehidupan esok atau satu jam lagi belum pasti. Bisa saja meriam yang berdentang-dentang di luar itu tiba-tiba melesat dan jatuh di atap rumbia rumah ini.

“Apa yang Ayah tinggalkan untukku, Nek?” tanyaku pada Nenek agar pikirannya teralihkan dari tentara-tentara tadi.

Nenek memandangku lama, kemudian tersenyum dan mulai bercerita. Meski sudah berusia lebih dari enam puluh tahun, tetapi ingatan Nenek masih baik. Ia masih ingat apa yang pernah terjadi di masa lalu, meski tidak terlalu detail.

Waktu itu, tahun 1824—Nenek tidak menyebutkan bulannya, Ayah akhirnya memilih untuk ambil peran dalam pertempuran yang terjadi di Sungai Pua. Pertempuran itu sebetulnya sudah terjadi sejak lama, tetapi Ayah memang belum pernah ikut turun ke medan tempur sebab Ayah cukup disibukkan dengan kehadiran tentara-tentara yang menyelinap di kampung kami. Apalagi kampung ini adalah kampung terakhir di Kaki Singgalang, yang masih dinaungi oleh pohon-pohon yang rimbun dan menjulang ke langit, tempat yang cocok untuk persembunyian para tentara—atau barangkali mereka memang ditugaskan untuk mengawasi warga di sini, bukan untuk bersembunyi.

Kata Nenek, waktu itu kaum adat yang tengah bertempur dengan kaum padri mulai banyak kehilangan pasukan. Sebab itu Ayah memutuskan untuk mulai ikut bertempur. Ayah sendiri pun tidak bisa menerima tindakan kaum padri yang memaksa masyarakat untuk menghapus atau mengubah beberapa budaya yang telah berkembang sejak lama. Apalagi pemaksaan itu tak jarang berujung pada kekerasan.

“Memangnya apa yang mereka ingin ubah, Nek?”

Harato pusako indak buliah jatuah ka padusi, tapi jatuah ka laki-laki. Sasuai aturan Islam.”(3) Oh, ternyata sistem matrilineal di tanah ini yang ingin mereka ubah. Memang, Minangkabau memiliki sistem garis keturunan yang berbeda dari tempat lain—paling tidak sejauh yang aku tahu dari Nenek, tak ada daerah lain yang menganut sistem serupa.

Sesekali aku mengintip keluar dari celah bambu dinding rumah ini. Di luar seekor anjing berwarna cokelat menggonggong, entah karena apa. Tiba-tiba sebuah letusan senapan terdengar. Anjing cokelat tadi terkapar di tanah dengan darah yang mengucur dari perutnya. Kemudian seorang lelaki berkumis tebal dan kulit pucat datang, memastikan anjing itu telah mati—sepertinya—lalu ia menggulingkan bangkai anjing itu dengan sebelah kakinya.

Seketika di kepalaku terbayang bagaimana ketika Ayah mengembuskan napas terakhirnya. Apakah seperti seekor anjing yang tergolek tanpa nyawa itu kemudian ditendang oleh musuhnya. Atau, mungkinkah Ayah meninggal secara layak di tenda-tenda prajurit dan diselenggarakan sebagaimana mestinya? Ah, entahlah. Tidak ada yang tahu. Bahkan Nenek pun kurasa tidak tahu karena ia tidak pernah bercerita mengenai hal itu.

Ketika akan berangkat, kata Nenek, Ayah membawa bambu runcing dan mengenakansebuah sarung kotak-kotak yang disampirkan di bahunya. Setelah keluar dari rumah, tak sekali pun ia menengok ke belakang untuk melihat Ibu yang sudah ambruk di daun pintu—mungkin Ayah takut hatinya goyah setelah melihat Ibu lagi. Tangis Ibu pecah, tangannya tetap mengelus-elus perutnya yang membuncit. Setiap perempuan, termasuk Ibu, yang ditinggal suaminya ke medan perang, sangat mengerti bahwa kemungkinan kekasih tercintanya ituuntuk kembali sangat kecil.

Sejak kepergian Ayah ke medan tempur, Ibu jadi lebih banyak pendiam. Mulutnya seperti terkunci oleh gembok yang besar dan kuat. Ia hanya akan berada di ladang atau berdiam diri di rumah. Atau ia akan pergi ke kaki gunung mencari ranting-ranting kayu yang sudah mengering yang bisa dijadikan sebagai kayu bakar. Ibu seperti tak memiliki rasa gentar kepada tentara-tentara berwajah bengis itu saat keluar dari rumah. Mungkin benar Ibu tidak takut, sebab tak ada hal yang lebih ditakuti seorang istri kecuali kehilangan suaminya—seingatku Nenek pernah bilang begitu.

Sebelum hilang kabar sepenuhnya, Ayah masih sempat pulang sesekali selamabeberapa bulan, kata Nenek. Kalau Ayah pulang, Ibu akan memeluknya erat, seakan tak mau lepas. Dan, setiap Ayah kembali ke Sungai Pua, Ibu akan kembali ambruk di depan pintu dengan mata yang berair. Mungkin dadanya yang telah hancur semakin menyerpih, menyisakan luka-luka dan ketakutan yang menggerogoti hatinya tanpa henti.

Suatu kali, saat Ayah pulang, ia memberitahu Nenek bagaimana keadaan di Sungai Pua, tanah yang tak jauh berbeda dari tanah kami ini—masih dipenuhi oleh pohon-pohon yang rimbun. Ayah bilang, di sana sudah semakin kacau. Rumah-rumah warga yang hanya terbuat dari bambu sudah banyak yang dibakar. Setiap hari selalu ada asap yang menggulung-gulung ke langit. Tak ada hari tanpa kematian, tak ada hari tanpa tangisan anak yang kehilangan bapak, atau tangisan ibu yang kehilangan anak, atau tangisan para gadis yang terpaksa merelakan kekasihnya lebih dulu mendatangi Tuhan.

Saat terjadi gencatan senjata tahun 1825, Ayah tak pernah lagi pulang. Seorang pemuda yang sangat kurus, yang tulang-tulang rusuknya terlihat dari kulit dadanya, datang ke rumah. Tubuhnya serupa belalang sentadu yang terlihat menyedihkan, ia seperti akan roboh sewaktu-waktu jika tersenggol oleh angin yang sedikit kencang. Ia berdiri di depan pintu. Dengan terbata-bata ia mengatakan pada Nenek dan Ibu: bahwa Ayah telah dipindahtugaskan ke Bukit Marapalam, Tanah Datar, tempat terjadinya perbincangan antara kaum adat dan kaum padri menuju perdamaian. Entah bagaimana, ungkap Nenek, kaum adat dan kaum padri menyatakan Sumpah Sati Bukik Marapalam, sebagai tanda persatuan dan perdamaian kedua pihak.

Saat Nenek menceritakan seperti apa pemuda yang datang ke rumah, kepalaku menjadi sangat berisik. Aku membayangkan Ayah dengan tubuh kurus seperti itu. Tulang-tulangnya membusung keluar, denganurat-uratnya yang tercetak jelas di kulit, matanya sayu dan wajah kusam karena kurang istirahat, luka-luka gores memenuhi lengannya yang sudah tak berdaging atau barangkali ada beberapa luka yang dalam bekas perkelahian menghadang lawan. Ah, aku jadi takut membayangkannya. Semoga Ayah tidak seperti itu.

Beberapa hari setelah pemuda itu datang, sebuah kabar besar sampai di kampung kami—yang entah dari mana mulanya, Nenek tidak tahu. Kabar itu menyatakan bahwa sejak Sumpah Sati Bukik Marapalam dikukuhkan, kehidupan masyarakat Minangkabau akan berlandaskan pada:Adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (2), serta Kaum Adat yang sebelumnya dibantu oleh pemerintah kolonial Belanda, bergabung dengan Kaum Padri untuk mengusir tentara Belanda dari tanah ini.

Aku asumsikan—karena tak ada lagi yang diketahui Nenek—sejak saat itu Ayah ikut bertempur mengusir Belanda. Dan, mungkin dalam perjuangan itu pula Ayah mengembuskan napas terakhirnya—sejujurnya tak pernah ada kabar kematian Ayah, hanya saja ia tak pernah kembali. Sejak itu pula Ibu menjadi orang yang lebih dingin dari hari ke hari, padahal sebelumnya Ibu adalah orang yang hangat (Nenek yang bilang begitu). Semakin lama Ibu semakin tak bicara. Bahkan, sangat jelas di ingatanku bagaimana Ibu menarikku ke dalam rumah tanpa bicara ketika aku bermain di halaman saat berusia sepuluh tahun dan secara kebetulan tentara Belanda melewati jalan di depan rumah kami.

“Jadi apa yang ditinggalkan Ayah untukku, Nek?” tanyaku lagi setelah mendengar kisah panjang yang diceritakannya.

Nenek memandangku lama, lalu tersenyum. Belum sempat ia berucap, Ibu tiba-tiba masuk ke rumah tanpa berucap apa pun. Ibu memandangku sekilas, kemudian ia beranjak menuju kamar. Entah ia mengambil apa, aku tidak tahu. Lalu ia kembali keluar, masih tanpa mengucapkan apa pun. Barangkali ia akan kembali ke ladang.

Nenek melihat Ibu dari celah bambu, persis seperti cara ia mengintip para tentara tadi. Mata Nenek tiba-tiba berubah sendu, seperti menyimpan kepedihan dan luka yang teramat dalam. Di luar masih ada tentara yang berlalu-lalang, masih dengan senjata api di lengan mereka, masih dengan tampang bengis yang menakutkan. Dan, sekali lagi, tangan Nenek gemetaran bukan main.

“Ibumu,” ucap Nenek, kemudian setetes demi setetes air matanya turun membasahi pipi keriputnya yang semakin memucat.(*)

Padang, 20 Maret 2022

Note:

(1). Bagian pemerintahan terkecil di Minang (Sumatera Barat), setingkat RW

(2). Harta pusaka (warisan) tidak boleh jatuh ke pihak perempuan, tetapi jatuh ke laki-laki. Sesuai aturan islam

(3). Adat bersendi (berlandaskan) agama, agama bersendi kita bersendi Allah (Al Qur’an), pepatah ini dijadikan sebagai falsafah hidup orang Minangkabau sampai saat ini.

Vianda Alshafaq, anggota Kelas Menulis Loker Kata yang menyukai segala hal berbau cokelat.

Komentar juri, Syifa:     

Pertama kali membaca cerpen ini, aku terhanyut dengan cara si penulis bercerita, bahasa dan penuturannya mengingatkan saya pada sastra-sastra lama. Cepen ini memiliki ciri khas yang unik dan mendalam, si penulis berhasil memilih cerita yang sederhana dari tema perang yang sudah terbayang keras. Di antara kejadian masa itu, penulis justru memilih sudut pandang dari suasana duka keluarga pejuang yang sejatinya menjadi korban perang sesungguhnya. Lagi, isu kedaerahan yang diangkat juga cukup baik dan relevan dengan sejarah aslinya. Semua keunikan cerita ini layak mendapat tempat di hati para juri. Selamat.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply