Sumbangan (Terbaik ke-9 Lomba Agustus)

Sumbangan (Terbaik ke-9 Lomba Agustus)

Sumbangan 

Oleh: Rinanda Tesniana

Terbaik ke-9 Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’” 

Ranto menghela napas panjang saat melihat meja berukuran 2 x 1 meter di depannya. Tiga jenis ikan laut yang dari pagi disusunnya di sana, tak berkurang seekor pun. Lelaki berusia 58 tahun itu memercikkan air agar ikan-ikan itu tetap tampak segar meski sudah digelar seharian. 

Dia tak sendiri, mungkin hampir semua pedagang di Pasar Pagi ini merasakan hal yang sama. Sejak pagi, sedikit sekali pengunjung yang datang untuk berbelanja. Biasanya selepas upacara orang-orang berbondong-bondong belanja. Berbeda dengan tahun ini, sudah tiga jam sejak upacara hari kemerdekaan berlalu, hanya satu dua pembeli yang datang. 

Ranto mengobrol dengan Bang Ali, pedagang ayam yang menggelar lapak di sebelahnya, “Mungkin karena abis Lebaran, Nto. Orang masih gak belanja.” 

“Lebaran apaan, Bang! Udah jauh amat Lebaran. Ini udah Agustus.” 

“Ya, kan, bocah pada naik kelas. Duit dah abis buat mudik, eh, sekolah anak kudu dipikirin.” 

“Iya, kali, Bang.” 

“Bini gua aja uring-uringan, Nto. Lah, dia gak tahu kita udah usaha mati-matian. Tapi ya takaran rezekinya emang segitu.” 

Ranto hanya mengangguk. Tak sempat memberi tanggapan sebab seorang pembeli berhenti di depan meja Bang Ali. 

Dia lagi-lagi memercikkan air ke atas ikan-ikan yang matanya membelalak, seolah mengejek dirinya yang kelimpungan menunggu pembeli. “Sialan!” Ranto mengumpat sambil memukul kepala ikan yang ukurannya paling besar. 

Pria yang sebagian rambutnya sudah memutih itu duduk bersandar di kursi plastik berwarna hijau yang sandarannya tinggal setengah. Dia menarik napas panjang sebelum membakar sebatang rokok dan mengisapnya perlahan. Besok, tanggal 18 Agustus, putrinya akan menikah. Putri pertama, putri kesayangan yang dia banggakan karena bergelar sarjana pendidikan, mendesak untuk menikah dengan kekasihnya. Awalnya Ranto menolak, tak mungkin dia akan menikahkan Heni di usia 22 tahun. Apalagi belum setahun dia bekerja sebagai guru agama di sekolah yang cukup ternama. Gajinya mengalahkan gaji sepupunya yang bekerja sebagai PNS. Namun, Ranto bungkam saat Heni menunjukkan benda pipih yang di tengahnya tampak dua garis merah. Sambil bersujud di kakinya, Heni minta ampun. 

Ranto kalah telak. Tak ingin melihat air mata istrinya terus mengalir, maka dia terpaksa menguras habis tabungan dan modal jualan demi mengadakan pesta yang layak untuk Heni. Dia tak ingin anak gadis satu-satunya itu menikah dengan acara sederhana. 

Meski begitu, Ranto tak bisa menolak nurani. Dia tak ikhlas Heni menikah, karena itulah dia ada di sini sekarang. Meski rumahnya sedang didandani meriah, dia memilih tetap menggelar lapak di pasar. Menghabiskan waktu di rumah hanya membuatnya frustrasi.

“Bang, sumbangan, Bang.” 

Suara cempreng milik Untung mengusik lamunannya. Dia melirik pemuda tanggung yang sudah akrab dengan preman pasar sejak masih kanak-kanak itu dengan enggan. 

“Belum ada yang laku. Besok aja!” 

“Lah, besok udah lomba, Bang! Ini hari terakhir lu bisa nyumbang.”

“Gak ada!” 

“Berapa aja, Bang. Semua juga nyumbang, tinggal lu doang yang belum!” 

“Gak ada, gua bilang! Budek kuping lu?” 

“Pelit amat jadi manusia! Ntar lu mati kuburan lu sempit!” Untung memaki. 

Panas yang berasal dari kepala cepat mengalir ke dada Ranto. Semua masalah yang bergumul dalam benaknya seolah menemukan pelampiasan, dia menerjang Untung sekuat tenaga. Untung yang diserang mendadak, tak sempat melakukan perlawanan karena beberapa pedagang cepat melerai mereka. Ranto belum puas memuntahkan sumpah serapah, dia masih sempat menempeleng Untung sebelum kembali ke lapaknya. 

“Lu jangan ngeladenin bocah, Nto! Kasih gocap aja beres.” Bang Ali menegur. 

Ranto mendengkus. Jangankan lima puluh ribu, tahun kemarin dia menyumbang lima ratus ribu untuk acara agustusan. Tapi tidak tahun ini. Anaknya akan menikah, dia tidak mungkin membuang uang untuk hal-hal tak berguna. 

“Lu kenapa, sih, uring-uringan mulu. Sabar aja, nanti kalau  musim susah udah lewat, dagangan kita bakal rame lagi.” 

Ranto diam saja. Bang Ali dan semua temannya di pasar ini memang tidak diundang ke acara Heni esok hari. Tak ada gunanya, begitu pikir Ranto. 

Ranto dikejutkan dengan kedatangan sosok lelaki berbadan tambun dengan lengan yang dipenuhi tato. Ranto mengenalnya, Bang Soka, bos preman Pasar Pagi dan sekitarnya.

“Lu kagak mau nyumbang ya gak masalah, Bos. Tapi jangan main fisik sama anak kecil!” Suara Bang Soka menggelegar. 

Dada Ranto turun naik. Amarah yang tadi belum hilang sepenuhnya. Dia menatap Bang Soka dan Untung dengan sengit. “Anjing emang lu!” Ranto memaki. “Lu gak berhak maksa gua nyumbang!”

“Lu emang gak punya jiwa nasionalisme,” ejek Bang Soka. “Kemerdekaan cuma setahun sekali, Bang, gak tiap hari.” 

“Nasionalisme lu bilang? Lu pikir gua gak tahu, uang sumbangan tujuh belasan lu pakai buat mabuk!” Teriakan Ratno mengejutkan beberapa pengunjung yang hendak membeli ikan di lapaknya. 

Bang Soka mau menyerang tetapi sempat ditahan oleh pedagang lain. Ranto masih berdiri tegak di depannya, menatapnya dengan tatapan remeh. Bibirnya menyunggingkan senyum cemooh yang menyulut emosi Bang Soka. Dengan gerak cepat nyaris tak terbaca oleh yang lain, dia mengambil sesuatu di kantong belakang celananya. Ranto melihat benda itu tetapi otaknya tak sempat mencerna saat Bang Soka mengarahkan benda itu ke perutnya. Mata Ranto mendelik. Tak ada yang dia ingat selain bau anyir yang semakin lama semakin samar.[*] 

Padang, 23 Agustus 2024 

Rinanda Tesniana, pencinta hujan, malam, dan bubur ayam.

Komentar juri, Inu Yana: 

Cerpen yang mengangkat fenomena sosial yang sering terjadi di masyarakat kita; momen apa pun itu akan selalu ada oknum yang menjadikannya ajang untuk mengeruk keuntungan, termasuk premanisme berkedok nasionalisme seperti yang dilakukan oleh Untung dan bosnya dalam cerita ini. Semula aku merasa ceritanya tidak logis, bagaimana bisa besok hajatan tapi masih berjualan di pasar, tapi memang penulisnya pintar, tidak mungkin ada akibat tanpa sebab. Begitu, kan?

Dengan gaya bahasa yang sederhana namun dikemas dengan menarik dan runut, Rinanda berhasil mengajak kita untuk ikut merasakan kegelisahan Ranto si tokoh utama karena harus buru-buru menikahkan putrinya, juga bisa ikut merasakan bagaimana mendidihnya kepala saat ia harus menghadapi Untung dan bosnya.

Leave a Reply