Sulung
Lutfi Rose
“Mau? Ayo ambil!” seru Zyla pada seorang anak yang lewat di depannya.
Sesaat kemudian, datang lagi anak kecil yang malu-malu mendekatinya. Dengan cekatan, tangan gadis itu masuk ke dalam stoples, mengambil beberapa kue kering, lalu segera mengangsurkan kepada lelaki kecil di depannya.
Begitulah dia, ketika semua orang sibuk menikmati hidangan di acara reuni keluarga, dia sibuk menawarkan kue pada semua anak-anak yang ada. Dia sibuk memperhatikan bocah yang berlarian, lepas dari pengawasan orang tua. Sesekali membantu berdiri jika ada yang terjatuh.
Gadis remaja itu memang sedikit berbeda dengan kebanyakan teman sebayanya. Dia tak suka berdandan atau memilih pakaian model terbaru yang sedang hits. Asal nyaman dan pas di badan sudah cukup. Penampilan modis bukan hal penting baginya. Postur tubuh yang bongsor, membuatnya tidak menyukai pakaian dengan potongan terlalu ketat.
Bagi kami dia anak yang istimewa. Berbagai harapan tertumpu padanya. Berharap kelak dia tumbuh menjadi gadis yang bijak dalam menghadapi kerasnya dunia, tak mudah menyerah pada nasib dan ujian hidup.
Berawal dari bayi kecil yang membiru ketika lahir dan tak mampu menangis. Memaksanya harus berpisah dari ibunya sesaat setelah menghirup udara kehidupan.
Semua terjadi hanya karena kebodohan orangtuanya, tak paham saat ketuban pecah berarti bayi tak ubahnya ikan kehabisan air, tak bisa bernapas. Sungguh tolol! Kami tetap menunggu sampai lima hari, berharap akan ada kontraksi lagi setelah nyeri itu hilang.
Kenyataannya, rasa nyeri itu tak pernah datang kembali. Hingga suami memutuskan untuk mengantarku ke dokter kandungan, tempat kontrol kehamilan setiap bulan.
Spontan Dokter marah atas kecerobohanku dan suami.
“Kok, bisa sampai lima hari sih, Dek?”
Dokter cantik yang selama ini memantau kehamilanku sejak awal bulan, langsung ngomel-ngomel.
“Kamu tahu? Bayi itu hanya kuat bertahan maksimal 12 jam setelah ketuban pecah. Lah, ini?” Dia diam sesaat, menutup matanya rapat. Tampak frustrasi dengan kondisiku.
“Sudah! Untung ini masih belum keruh. Ayo kamu banyak doa! Suaminya juga, banyak doa. Ini keajaiban kalau anakmu masih hidup.”
Antara lega dan takut bercampur menjadi satu. Bagaimana tidak, terus terang aku kaget dan tak tahu-menahu tentang ketuban pecah dan batas waktunya. Kukira orang melahirkan hanya butuh rasa nyeri yang katanya disebut kontraksi. Tidak ada yang menjelaskan jika kontraksi itu hanya salah satu tanda akan melahirkan, ada pula yang sama sekali tak merasakan sakit jika ketuban sudah pecah.
Saat itu pukul enam lewat lima belas menit, ketika Bu Dokter memberi perintah pada dua asistennya.
“Ini sudah tidak memungkinkan dirujuk ke rumah sakit. Maksimal jam tujuh sudah harus lahir! Kalau tidak, saya gak bisa menjamin bayinya masih hidup.” Dokter bicara cukup keras.
Aku menangis sambil menggenggam tangan suamiku. Dia menepuk tanganku menguatkan, meski pasti hatinya juga sedang risau.
Seorang perawat membawaku ke ruang bersalin. Dan aku sudah pasrah akan diapakan saja.
Suamiku diminta mengangkatku ke atas ranjang bersalin. Semua orang tampak sibuk menyiapkan peralatan. Sebuah infus dipasang di lengan kananku. Sesuatu berwarna merah—akhirnya kutahu namanya drip atau cairan induksi—disuntikan ke dalam kantong infus. Perlahan tapi pasti rasa nyeri mulai menyerang. Mulas sedikit, hilang, dan makin intens dan melilit.
Melihat reaksiku dua orang perawat sigap membantu persalinan dengan mendorong dari bagian pantat ke atas sedangkan seorang lagi naik di samping kepalaku—menyundang atau mendorong bayi agar segera keluar dari bagian perut atas. Menurut mereka semakin rasa nyeri menyergap, semakin baik. Dan tentu saja rasanya makin luar biasa. Seolah sesuatu dari dalam ingin segera melihat dunia. Ya! Meski tak mudah, ketuban yang sudah habis ditambah kondisi fisik dan psikisku yang sudah down, membuat proses persalinan semakin penuh tantangan. Hanya tekad kuat di hati, ingin anakku lahir dengan selamat, membuatku tetap bertahan.
Setiap inchi bagian tubuh yang mulai keluar dari jalan lahir terasa perih mengoyak di sana. Tapi semangat tak boleh kendor, dia harus lahir.
Semua proses itu kulalui dengan doa tanpa henti. Suamiku terus menyemangati dan terus melafalkan doa demi buah hati kami, agar segera menghirup udara kehidupan. Beberapa kali kecupan dan bisikan semangat kerap dia berikan agar aku tak patah semangat.
Di lima menit sisa waktu yang diperkirakan Dokter, anakku lahir. Tanpa tangis dan seakan tak bernyawa. Tindakan medis segera dilakukan, dirujuk ke rumah sakit terdekat.
Berat, saat aku harus pulang ke rumah tanpa bayi yang kulahirkan. Peri kecil itu harus beberapa hari tinggal di rumah sakit.
**
Kini, bayi mungil itu telah tumbuh begitu cepat. Sehat, ceria, dan penuh cinta. Dia pribadi yang unik, jika banyak gadis seusianya suka berkumpul dengan squad-nya, berbeda dengan dia. Zyla lebih suka menghabiskan waktu di rumah, membuat beberapa macam kue dari resep yang didapatnya di internet, kemudian merayu adik-adiknya untuk makan. Dia anak yang istimewa bagi seluruh keluarga.
Sayangnya, tidak begitu pemikiran Zyla. Kerap kali dia mengeluhkan hal-hal yang menurutku tidak terlalu penting.
“Kenapa kulitku paling gelap di antara adik-adik ya, Ma?” tanyanya di suatu sore.
“Siapa bilang? Gaklah!” Aku menjawab sambi tetap fokus pada pekerjaan.
“Kenapa aku gak sepintar temanku? Gak bisa juara kelas?” Kembali dia bertanya sambil menekuk mukanya, kecewa.
“Kamu pinter Nak, pandai masak, pinter momong.”
Aku menoleh dan memegang dagunya. Mengajak mata kami saling bertatap guna meyakinkannya.
“Tapi aku pinginnya pinter di pelajaran, Ma.”
“Semua orang itu punya bagian masing-masing, Sayang. Kenapa harus seperti orang lain? Manusia itu saling melengkapi, kalau semua orang ingin jadi yang nomer satu, maka siapa yang akan menyandang urutan di bawahnya. Bahkan seharusnya sang juara berterima kasih pada yang lain. Tanpa orang biasa saja, kemampuan luar biasa tak akan punya pembanding.” Aku menimpali, masih dalam posisi memeluknya.
Zyla menunduk, sepertinya dia belum puas dengan jawabanku. Aku mendekat lalu memeluknya. Tak mudah ternyata meyakinkan gadisku.
Dia tak pernah sadar semua orang menyayanginya, merasa tak lengkap tanpa hadirnya. Semua anak-anak lengket padanya, selalu mencari jika tak melihat dia di rumah.
Azyla Rahmah, sulungku, yang selalu merasa tak hebat. Merasa tak istimewa dibandingkan teman-teman sebaya. Padahal dia telah melewati saat yang begitu luar biasa di awal kehidupan, berjuang keras demi napas pertamanya di dunia.
**
Lutfi Rose, seorang ibu yang mencuri waktu untuk menulis. Sebuah impian masa kecil yang masih ingin digenggamnya. Dia selalu yakin, tak ada kata terlambat, selama napas masih berembus segala mimpi masih bisa ditembus.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata