Sudut Gelap dan Dinding-Dinding Kokoh (Terbaik ke-4 TL15)

Sudut Gelap dan Dinding-Dinding Kokoh (Terbaik ke-4 TL15)

Sudut Gelap dan Dinding-Dinding Kokoh

Oleh: Mega Yohana

Terbaik ke-4 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)

 

Ah, lagi-lagi.

Kekuatan tak terlihat mendorongku. Mundur, mundur, menjauh ke sudut yang sunyi. Kemudian, dinding-dinding kokoh berjatuhan, mengurungku dari empat sisi dan menutupku dari atas. Begitu gelap, begitu dingin. Aku terasingkan di ruangan ini. Lagi-lagi di sini.

Berapa kali dia melakukannya?

Aku ingat saat dia masih begitu kecil. Dia yang senang bermain dan tertawa itu begitu polos dan terbuka. Aku dapat dengan bebas tertawa bersamanya. Namun, malam itu dia melihat ayah dan ibunya bertengkar. Dia begitu ketakutan, aku pun sama. Keceriaannya menguap, begitu pun keceriaanku. Terlebih, ketika ayahnya mulai memukuli ibunya. Dia pergi ke kamar, meringkuk di sudut sembari memeluk lutut. Kami menangis bersama-sama malam itu.

Berawal dari malam itu, pertengkaran-pertengkaran dan pukulan terus terjadi. Ketika dia bergegas menolong ibunya, murka ayahnya beralih kepadanya.

“Menyingkir kau, dasar bocah sialan!” Laki-laki itu menarik tangannya dengan kasar hingga tubuhnya membentur dinding, lalu menampar ibunya berkali-kali. Dia bangkit dan mencoba meraih lengan laki-laki itu, tetapi kekuatan seorang gadis sepuluh tahun tidak akan bisa melawan laki-laki tiga puluh satu tahun. Makin dia mencegah, makin murka laki-laki itu, makin banyak pula pukulan yang dia dan ibunya dapatkan.

Ah, gadis sekecil itu….

“Ibu, kenapa tidak berpisah saja?” Dia bertanya suatu pagi saat ayahnya pergi bekerja.

Ibunya yang sedang menjahit pakaian berhenti, menarik napas panjang dan mengembuskannya, lalu menatap ke luar jendela. Tak ada jawaban hari itu. Pertengkaran-pertengkaran juga tidak berhenti. Dia mulai lelah mencoba berada di tengah-tengah mereka. Tiap kali sebuah pertengkaran dimulai, dia akan pergi ke kamar dan menangis bersamaku. Lalu, dia mulai menutup telinga. Berikutnya, dia mendorongku menyingkir.

“Kalau kamu tidak sanggup, ya sudah, berpisah saja!” Ayahnya berteriak pada suatu tengah malam. “Kamu pikir aku takut, hah? Lagi pula, aku sudah muak denganmu!”

Dia mengintip dari celah pintu kamarnya.Melihat bagaimana ayahnya telah membawa tas besar berisi pakaian, dan ibunya menahan lengan laki-laki itu dengan air mata membanjiri wajah cantiknya.

“Jangan pergi,” pinta wanita itu. “Kumohon, jangan pergi. Apa kamu tidak kasihan kepada anak-anak kita?”

Dia menutup pintu kamar dan duduk bersandar pada pintu itu. Di telinganya, permohonan sang ibu terdengar seperti ironi. Gema hatinya terdengar di sini.

Jangan pergi? Hah! Demi anak, katanya? Bukankah itu hanya keegoisan mereka? Tidakkah mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan ini justru lebih menyakitkan? Mereka orang dewasa, tetapi tingkah mereka benar-benar menyedihkan.

Bahkan, bagi dia yang saat itu masih dua belas tahun, malam itu menjadi malam yang tak terlupakan. Aku dapat merasakan kemuakannya, amarahnya, dan segala perasaan yang berkecamuk di dadanya. Semuanya tumpah kepadaku. Apalagi, saat dia mendengar suara memelas ibunya yang berkata, “Jika kamu suka, menikahlah lagi. Aku akan menerimanya, tetapi jangan pergi.”

Saat itu, pertama kalinya dia memahami sebab orang tuanya selalu bertengkar. Ayahnya berselingkuh, bukan hanya sekali. Ibunya, sekalipun dihina dan dipukuli, tidak mau berpisah. Malam itu, pertama kalinya dia membangun dinding untukku. Masih tipis dan rapuh, tetapi aku tahu ini hanya permulaan.

Mengapa orang dewasa sangat egois? Daripada terus bersama dan memenuhi rumah dengan pertengkaran, tidakkah lebih baik mereka berpisah? Memakai anak sebagai alasan untuk keegoisan mereka, mengapa orang dewasa bertingkah seenaknya?

Aku mendengar dia bertanya-tanya. Pikirannya menggema di sini, memenuhi tempat ini dengan pertanyaan. Perlahan-lahan, dia menjauh dari orang-orang di sekitarnya dan menarik diri dari teman-temannya.

“Kenapa temanmu tidak pernah datang?” Ibunya bertanya suatu kali. “Dulu, sewaktu SMP, teman-teman kakakmu sering datang ke rumah.”

Ya, aku pun ingat teman-teman kakaknya itu. Sekarang, kakaknya telah SMA dan bersekolah di luar kota.

“Aku tidak ingin mereka melihat rumah ini.” Mulutnya menjawab dengan datar. Namun, di sini teriakannya bergema. Apa yang harus kutunjukkan, Bu? Pertengkaran-pertengkaran kalian? Gunjingan tetangga tentang kegemaran Ayah? Apa yang harus kutunjukkan? Aku bahkan tidak bisa memulai pertemanan.

“Kamu malu karena rumah kita tidak bagus?”

Dia mendengkus. Aku tahu yang dia maksud “rumah” bukanlah bangunan ini, melainkan orang-orang yang tinggal di sini. Aku merasa sangat sesak saat itu hingga ingin menangis, tetapi dia mendorongku ke tepian dan menjatuhkan dinding-dinding kokoh di sekelilingku. Itu, pertama kalinya dia meletakkanku di ruangan yang gelap dan dingin. Aku menangis sejadi-jadinya, meraung dan memukul-mukul dinding. Aku ingin keluar, ingin menangis bersamanya, tetapi dinding-dinding kokoh menghalangiku. Hari itu, air mataku mengalir tanpa henti, sementara kedua matanya kering. Aku begitu berantakan dan tersimpuh di sudut ruangan yang gelap, sementara dia berdiri tegak dan dingin bagaikan gunung es.

Oh, kau mungkin bertanya-tanya, bagaimana aku bisa melihatnya jika aku berada di ruangan yang gelap?

Sebab, aku ada di dalam dirinya. Aku bagian dari dirinya. Jika dia bersedih, aku menangis. Jika dia bahagia, aku tertawa. Ya, sesederhana itu, seharusnya. Namun, tidak ketika dia menciptakan dinding-dinding ini. Ruangan gelap ini memisahkanku darinya. Ketika aku menangis tersedu-sedu di sini, dia menampakkan wajah keras di luar sana. Dinding-dinding ini akan memudar ketika badai di hatinya mereda, dan akan kembali mengisolasiku ketika dia terluka.

Saat dia masuk SMA, orang tuanya mengirimnya ke sekolah berasrama yang jauh. Aku merasakan dia begitu terluka dan merasa terbuang, seperti sebuah keberadaan yang tidak diinginkan.

Mengapa mereka mengirimku ke sini? Mereka tahu bukan di sini tempat yang kuinginkan. Mengapa orang dewasa begitu?

Dia tidak melanjutkan pertanyaannya. Sejak hari itu, dia bergerak seperti robot. Dia pergi ke sekolah, mendengarkan guru, mencatat pelajaran, pulang ke asrama, dan mengurung diri di kamar. Dia tidak berbicara kepada siapa pun. Saat ada yang bertanya, selama dia bisa menjawab dengan mengangguk atau menggeleng atau menunjuk jawaban di materi, dia tidak akan berbicara.

“Hei, kenapa dia nggak pernah bicara, ya?”

“Lihat matanya, seperti orang nggak ada nyawa.”

“Iya, dia sangat aneh. Dia juga selalu sendirian, nggak punya teman, ya?”

Aku mendengar mereka berbisik-bisik ketika dia melintas. Aku yakin dia mendengarnya juga, tetapi dia tidak berhenti. Kakinya tetap melangkah menuju perpustakaan.

“Gimana mau punya teman? Aneh begitu. Hahaha!”

Aku merasakan mataku basah. Namun, sebelum tetes pertama jatuh, aku telah terdorong menjauh dan dinding-dinding kokoh mengelilingiku. Di sinilah aku kini. Ketika kesedihan datang, kekuatan tak terlihat mendorongku. Mundur, mundur, menjauh ke sudut yang sunyi. Kemudian, dinding-dinding kokoh berjatuhan, mengurungku dari empat sisi dan menutupku dari atas. Begitu gelap, begitu dingin. Aku terasingkan di ruangan ini. Berapa kali dia melakukannya? Aku tidak menghitung. Kenapa dia melakukannya? Aku tidak peduli lagi.

Itu bukan satu-satunya bisik-bisik yang terdengar tentangnya. Makin dia mendengar, makin dia menarik diri, makin banyak bisik-bisik itu. Dia menahannya, selalu menantikan saat akhir pekan tiba dan dia akan bergegas pulang, meninggalkan asrama dan bisik-bisik yang menyesakkan. Namun, hari itu, dia kecewa.

“Kenapa kamu pulang lagi?” Ibunya bertanya bahkan sebelum kakinya melangkah melewati gerbang. Dia yang pulang dengan bahagia hanya diam saat ibunya melanjutkan, “Bukankah minggu lalu kamu sudah pulang? Kamu tinggal di asrama, untuk apa pulang terus? Apa temanmu pulang sesering ini? Kamu seharusnya tidak pulang kalau tidak ada libur.”

“Tapi, ini hari Sabtu, Bu. Besok Minggu hari libur.” Itu jawabannya, meskipun di sini aku dapat mendengar yang lain. Aku tidak tahu bagaimana memulai pertemanan, Bu. Teman mana yang Ibu maksud? Ada banyak definisi teman di sini. Teman sekelas, teman satu sekolah, teman satu asrama, teman yang menyukaimu, teman yang tidak menyukaimu, teman yang tertawa bersamamu, teman yang menertawaimu, mereka semua adalah teman, Bu, tetapi aku tidak berbicara kepada mereka. Aku tidak tahu caranya.

“Pulanglah saat libur panjang saja!”                                      

Ada banyak hal yang ingin kuceritakan, Bu. Tidakkah Ibu ingin mendengarnya?

Benaknya menggemakan pertanyaan, tetapi mulutnya terdiam. Dadanya sesak, aku pun begitu. Namun, seperti biasa, dia mendorongku ke dalam gelap. Itu, terakhir kalinya dia pulang ke rumah. Sejak hari itu, hampir satu semester telah berlalu. Beberapa kali libur panjang datang, tetapi dia tidak pernah pulang. Ketika teman-temannya di asrama pulang, dia duduk sendirian di teras belakang asrama sembari memandangi bintang-bintang di langit atau membaca buku. Dia sangat suka membaca buku dan pada saat itu, aku bisa bebas meluapkan perasaanku. Aku bisa menangis saat dia membaca buku, tanpa dinding yang memisahkanku darinya. Kami menangis bersama-sama.

Hari-hari terus berlalu. Aku tahu dia mulai lelah. Dia tidak mendorongku pergi, tidak menjatuhkan dinding-dinding kokoh untukku. Dan di sini, pertanyaannya menggema. Berkali-kali, pertanyaan yang sama.

Sesungguhnya, apa tujuan seorang manusia hidup?

Dia mulai membawa cutter di sakunya, atau pecahan cermin yang tajam, atau silet yang tipis. Setiap kali dia merasa ragu terhadap dirinya, tangannya akan menyelip ke saku rok dan menggenggam benda-benda itu dan dia akan merasa tenang. MP4 Player miliknya memutar lagu-lagu yang menyedihkan dan membanjiri tempat ini dengan kepedihan. Begitu muram dan menyesakkan. Tempat ini seolah-olah diliputi kematian.

 

Everybody’s screaming, I try to make a sound but no one hears me. I’m slipping off the edge, I’m hanging by a thread, I wanna start this over again. So, I try to hold onto a time when nothing mattered and I can’t explain what happened and I can’t….

It’s easier to run, replacing this place with something numb. It’s so much easier to go than face all this pain here all along.

I tried so hard and got so far, but in the end it doesn’t even matter. I had to fall to lose it all, but in the end it doesn’t even matter.’

 

Lagu-lagu penuh kepedihan berputar, lagi dan lagi. Hingga pada hari itu, aku tahu dia merasa cukup. Dia membebaskanku dari ruang pengasinganku dan bersama-sama kami menangis sejadi-jadinya. Semua perasaan, semua hal yang dia tahan membuncah, meledak di dalam kepala dan di dadanya. Kemudian, aku melihat merah sebelum semuanya gelap.(*)

 

Kaki Gunung Kelud, 23 April 2020

 

Mega Yohana sesekali menulis, tetapi lebih sering procra. Bisa disapa melalui akun ini atau di Instagram, @sasakalasenja.

 

Komentar juri:

Ada cukup banyak cerpen yang menggunakan konsep seperti cerita ini, di mana tokoh bertarung/terpenjara dalam “diri mereka yang lain” (alam bawah sadar/isi hati terdalamnya). Selain itu, bahwa tokoh pun menjadi korban dari pertikaian orangtuanya. Tetapi–menurut saya–Mega adalah yang paling berhasil menerapkan konsep itu  ke dalam cerita.

Di cerpen ini, kita bisa melihat kemampuan si penulis yang menguasai teknik bercerita yang baik dan mengerti bagaimana menggunakan bahasa, sehingga setiap bagian yang ditulis tidak “kabur makna” dan “kabur fungsi”. Bagaimana penulis dengan perlahan “mengenalkan” siapa aku (yang terus terdorong dan terpenjara) secara bertahap hingga pada akhirnya membongkar betul siapa aku sebenarnya.  Yang tak lain adalah perasaan tokoh utama yang ia tekan secara paksa.

Kelebihan lain, ending cerita ini tidak sekadar memberi kejutan. Tetapi memberi makna baru terhadap kejutan itu. Ia bukan kejutan kosong yang sekadar membuat pembaca berkata, “oh ternyata?”. Tidak. Ending cerita ini menghadirkan ledakan emosi si tokoh, bahwa pada akhirnya ia tidak lagi menafikkan “aku”. Kini ia menyadari, bahwa tidak ada gunanya sok kuat. Kini, “aku” dan tokoh berjuang bersama-sama.

Good job! 😀

-Vero

 

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply