Subuh di Sabtu Legi

Subuh di Sabtu Legi

Subuh di Sabtu Legi

Oleh : Nur Khotimah

 

Sabtu Legi pertama tahun 2000. Rubiah tak pernah tahu bahwa babak baru kehidupannya baru saja dimulai. Ia juga tak menyadari bahwa gelas kopi yang retak saat terisi air panas pagi itu, adalah pertanda sesuatu yang buruk akan menimpa. Ia hanya menggantinya dengan gelas baru, kemudian menyajikannya pada Darman.

Rubiah meringkuk di kasurnya yang lapuk. Tubuhnya sesekali bergetar karena menahan isak. Tangannya yang legam memeluk sarung bekas pakai Darman, suaminya. Sesekali diciuminya sarung usang berwarna cokelat tersebut. Menghidu setiap aroma yang tertinggal di sana, berharap bisa sedikit mengobati rasa rindu kepada si empunya.

Darman, dia memang tidak tampan, tetapi bagaimana Rubiah bisa melupakan laki-laki bertubuh bogel itu bila kenangan yang tertinggal begitu dalam. Dari sekian banyak pemuda di kampungnya, hanya ia yang mau menikahi Rubiah, gadis yatim piatu berwajah pas-pasan dan tak berpendidikan yang sehari-harinya hanya bekerja sebagai kuli cetak batu bata.

“Aku berjanji akan membahagiakanmu.” Begitu janji laki-laki itu ketika meminta kesediaan Rubiah untuk dijadikannya istri.

Rubiah tak menolak. Ia terima pinangan lelaki yang berusia lima tahun lebih muda itu, meski tak tahu apa pekerjaannya. Satu hal yang Rubiah tahu, Darman bekerja di pekan hewan. Entah sebagai calo atau apa, Rubiah tak tahu persis.

Tak ada pesta mewah, pernikahan mereka hanya sekadar ijab kabul di musala kampung dengan disaksikan oleh Ketua RT dan beberapa warga desa.

Lelaki itu menepati janjinya. Ia selalu berusaha untuk menyenangkan hati Rubiah. Meski pas-pasan, ia bisa memenuhi semua kebutuhan istrinya. Rubiah tak perlu lagi capek bekerja.

“Kang … aku kangen, Kang,” lirih Rubiah. Semakin erat ia memeluk sarung usang itu. Betapa ia merindukan sosok itu ada di sampingnya. Ia rindu tatapan matanya yang penuh dengan cinta, rindu kata-kata mesra yang keluar dari mulutnya, juga rindu aroma tubuhnya.

Perempuan kurus itu semakin terkenang kekasih hatinya. Terbayang hari terakhir di mana mereka saling bercerita tentang impian di masa depan, kemudian menghabiskan malam dengan bara menggelora.

“Aku ingin segera punya anak,” bisik Darman malam itu, disambut Rubiah dengan senyum malu-malu.

Air mata semakin membanjiri pipi, Rubiah tak sedikit pun menghapusnya. Bantal dan kain sarung pun turut basah. Rubiah tak peduli. Ia hanya sedang ingin melepaskan semua kegundahan dan kerinduan di hatinya.

Seperti ada sesuatu yang menusuk jantung Rubiah mana kala ia ingat hari itu. Hari di mana Darman berpamitan untuk pergi ke pekan hewan di kota sebelah.

Pagi itu, bahkan sebelum azan Subuh terdengar dari musala kampung, Darman berpamitan setelah menyeruput kopinya. Hati Rubiah merasakan sesuatu yang berbeda, tetapi ia sendiri tak mampu memaknainya.

Rubiah baru menemukan jawabannya sesaat usai salat Subuh, manakala seseorang tergopoh-gopoh mengetuk pintu rumahnya.

Kula nuwuun! Rubiah! Rubiah!” teriak seorang laki-laki diikuti gedoran di pintu rumahnya yang reot.

Perempuan berusia tiga puluh tahun itu buru-buru melipat mukena, kemudian bergegas membuka pintu. Ia terkejut karena yang datang ialah Carik Sutarmo.

“Pak Carik, ada apa pagi-pagi sudah ke tempat saya?” tanya Rubiah penasaran.

Carik Sutarmo mengatur napasnya yang ngos-ngosan, kemudian berkata, “Darman! Darman babak belur dihajar warga!”

“Astaghfirullah … di mana? Kenapa?” tanya Rubiah dengan ekspresi terkejut.

“Lakimu ketangkep basah nyolong ayam bangkok pak lurah,” jawab pria yang bertugas sebagai sekretaris desa itu dengan napas tersengal-sengal.

Rubiah menutup mulutnya seakan tak percaya. Pria yang selama ini ia anggap baik mana mungkin melakukan berbuatan nista semacam itu.

“Sebenarnya, warga sudah lama mencurigai Darman, Biah. Setiap Sabtu Legi kan ada pekan hewan, dan setiap hari itu juga pasti ada warga yang kehilangan ayam. Salah satu warga pernah melihat Darman sedang menjual ayam miliknya di pasar, tapi suamimu itu pintar mengelak. Dia ndak mau mengaku. Karena itu, semalam kami sengaja menjebak dia. Ternyata warga ndak bisa nahan diri, mereka ramai-ramai menghajar suamimu.” Carik Sutarmo menunduk. Terlihat penyesalan di wajahnya.

Air mata Rubiah tak terbendung lagi. Dari info yang diberikan Carik Sutarmo, suaminya kini sudah dibawa ke puskesmas untuk mendapatkan pertolongan.

Tanpa basa-basi lagi, Rubiah mengambil sepedanya, kemudian mengayuhnya secepat kilat ke puskesmas yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.

Air mata menjadi saksi besarnya cinta Rubiah kepada Darman. Di setiap kayuhan pedal sepeda ada doa terucap untuk lelaki itu. Rubiah tak mau sesuatu yang buruk menimpa Darman. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya bila tanpa lelaki itu di sampingnya. Dia tak mau bila usia kebersamaan mereka hanya tiga bulan, kalau bisa ia ingin meminta tiga kali kehidupan dilalui bersama Darman.

Sayang, nasib sedang tidak berpihak pada Rubiah. Kekasih hatinya meregang nyawa sesaat sebelum ia melemparkan sepeda ontelnya di halaman puskesmas. Hanya tubuh dingin dan wajah lebam Darman yang menyambutnya.

“Kang Darmaaan!” Rubiah kini menjerit. Teringat pada lelakinya yang meninggal dengan cara mengenaskan. Satu hal yang menambah kesedihannya, ialah Darman tak tahu kalau Rubiah sudah telat datang bulan.

Azan Magrib berkumandang, Rubiah bangkit dari pembaringannya. Berjalan menuju sumur yang terletak di belakang rumah, kemudian mengambil air wudu.

Sajadah sudah digelar. Ini adalah Magrib paling syahdu di sepanjang hidup Rubiah. Ia khusyuk berdoa, memohon ampunan untuk semua dosa-dosa suaminya.

Tangis Rubiah kembali pecah. Teringat Darman yang tak pernah mengimaminya. (*)

Cikarang, 29 Desember 2019


Nur Khotimah. Seorang bakuler yang punya hobi membaca, dan masih belajar menulis di sela-sela kesibukannya.
Untuk lebih mengenalnya bisa add FB Nur Khotimah

Editor: Erlyna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply