Suatu Siang, di Depan Perlintasan Kereta Api

Suatu Siang, di Depan Perlintasan Kereta Api

Suatu Siang, di Depan Perlintasan Kereta Api
Oleh : Imas Hanifah N.

Aku merasa beberapa pengendara ingin menerobos. Akan tetapi, seorang petugas dengan bendera yang tergulung di tangannya berada tepat di antara palang pintu yang memisahkan dua sisi di perlintasan kereta api.

“Keretanya mana, atuh?” celetuk salah seorang pengendara motor, disusul gerutuan dari yang lainnya. Aku juga merasakan hal yang sama. Kesal, panas, gerah, dan ingin segera palang pintu itu terbuka.

“Aduh, alamat lama ini, mah, Kang.”

Kalimat tukang ojek, membuatku sedikit ingat tentang ongkos. Hanya tinggal tujuh ribu. Kurang tiga ribu dari tarif biasa. Tadinya, aku berpikir, wajar saja membayar kurang. Toh, ojek ini, sudah jadi langganan. Namun, setelah kalimat tadi, aku jadi mulai merasa tidak enak. Mesin motornya masih menyala. Itu berarti, bensinnya perlahan akan berkurang. Bagaimana ini?

“Kang, mana nih, keretanya?” tanya seseorang di barisan belakang dengan keras.

“Sabar, Kang. Tunggu saja,” sahut yang lain.

Aku tidak terlalu peduli dengan suara-suara itu. Berdempetan dengan banyak pengendara di siang yang terik, disertai suara khas tanda kereta akan lewat, dan campur aduk aroma yang berbaur di udara, membuatku mual. Oh, ayolah, mana keretanya?

Kwoooong ….

Suara itu mulai terdengar. Aku bernapas lega. Sepertinya, semua orang juga merasakan kelegaan yang sama. Akhirnya, kereta datang. Semua siksaan ini, selesai sudah.

Beberapa detik, kami yang masih menunggu, ternyata diberi harapan palsu. Kereta hanya melaju sedikit, lalu berhenti lagi. Sang masinis terlihat mengintip ke luar dari jendela. Sementara petugas yang memegang bendera itu, mencoba menenangkan.

“Gimana nih, keretanya gak jalan mulu.”

“Sabar, Kang.”

“Sabar apanya, lama nih, panas!”

“Iya, tapi kan, itu lagi dibenerin.”

“Lah, mending dibuka dulu pintunya. Udah numpuk di sini!”

“Kira-kira atuh, Kang. Mereka yang tahu kereta, kita mah tunggu saja.”

“Heh, berani kamu?” suara pengendara tersebut meninggi. Orang-orang berusaha menenangkan. Jujur saja, cuacanya luar biasa panas. Kalau emosi, ditambah sinar matahari yang terik seperti ini, pastilah amarah semakin berkobar. Aku saja sudah sangat tidak tahan. Ongkos, perasaan tidak enak, gerah, pusing, dan mual. Mengesalkan!

Aku melihat lagi ke arah kereta. Sepertinya, memang ada yang perlu diperbaiki, atau entahlah. Sang masinis juga terlihat kusut wajahnya. Sang petugas, mengelap peluh yang menetes dengan punggung tangannya. Di sebrang jalan, puluhan kendaraan mengular. Ini sudah di luar batas. Tidak pernah aku menunggu yang hendak kereta lewat sampai selama ini.

“Buka saja dulu!” teriak seseoang yang ternyata masih pengendara yang sempat emosi tadi.

Tak ada balasan dari siapapun. Sepertinya, semua orang sudah sangat tak peduli dan tak punya keinginan untuk mengeluarkan sepatah katapun.

“Heh! Pak Petugas! Buka dulu atuh!”

“Sabar, Kang. Sabar ….”

“Dari tadi, bilang sabar terus, sini kalo berani!”

Tak disangka, seseorang yang menyuruh sabar itu, turun dari motornya. Semua orang mulai panik.

“Tenang, Kang,” kata yang lain. Namun, itu tak berhasil.

Seseorang yag baru turun itu mendatangi si pengendara emosian. Semua orang bisa melihat mereka saling menatap tajam. Si pengendara emosian menggulungkan baju lengannya. Beberapa pengendara lain juga turun. Bahkan, gilanya, ada orang yang mengeluarkan ponsel dan mulai merekam. Ah, kapan keretanya selesai diperbaiki?

“Sok atuh, mau satu lawan satu mah! Saya berani!”

“Saya juga gak takut! Jadi orang teh, harus sabar, gak boleh emosian!”

Mendengar keduanya, rasanya aku ingin loncat saja ke tengah rel kereta. Sebab pada intinya, mereka berdua sama-sama sedang emosi. Tak ada yang benar-benar sabar.

Aku tidak peduli dengan riuh para pengendara yang berusaha menghentikan mereka berdua. Aku sudah sangat kepanasan. Selain suara berisik itu, suara anak kecil yang menangis tepat disebelahku, membuat semua penderitaan ini lengkap sudah.

“Mah, haus ….” suara anak itu. Aku melirik dan mendapati sang ibu tengah memperhatikan dus yang kubawa sejak tadi. Tunggu, apa maksudnya?

Satu dus air mineral ini, aku membelinya untuk persediaan di rumah. Ini sudah jadi kebiasaan keluargaku. Memberi satu dus air mineral dalam gelas kecil untuk para tamu yang berkunjung. Supaya tidak repot, ibuku berkata begitu.

Dengan sedikit keraguan, aku membuka dus air mineral dan memberikannya satu kepada si anak. Tentunya, dengan senyum seramah mungkin.

“Terima kasih, Kang,” ucap ibunya.

“Sama-sama,” balasku.

Kembali melihat ke kerumunan yang sedang berseteru dan kereta yang belum juga melaju, aku mulai memikirkan sebuah ide. Semua orang kepanasan. Semuanya butuh air.

Aku turun. “Mang, mau minum?” tanyaku sambil menyodorkan air. Tukang ojek tersenyum.

Aku mulai membagikan satu demi satu air dalam kemasan gelas plastik ini. Kemudian, masuk ke dalam kerumunan dan memberikan kepada orang-orang yang berseteru juga. Tidak semua kebagian, tapi itu cukup membuat suasana sedikit tenang.

Kwooong ….

Kereta melaju sedikit demi sedikit. Aku segera kembali naik motor. Sekarang, tanpa sebuah dus. Tak apa, ini lumayan menyenangkan. Merasa sedikit berarti bagi sebagian orang itu, melegakan.

Tepat setelah kereta berlalu, palang pintu terbuka. Semua kendaraan melaju dengan tertib. Aku merasakan angin berembus entah darimana.

Ongkosnya? Aku kembali berpikir keras. Tukang ojek ini, sudah menunggu lama tadi.

“Gak usah, Kang,” ucapnya sesaat setelah sampai. Si tukang ojek menepis tanganku yang menyodorkan uang.

“Lho? Gak boleh, Kang.”

“Gak apa-apa, sekali-sekali, itung-itung THR.”

“Eh, lebarannya aja masih lama, hehe.”

“Gak apa-apa, Kang. Hayuk ah, duluan.”

Aku menyaksikan tukang ojek itu berlalu. Kemudian, pandanganku beralih pada uang tujuh ribu di genggaman. Semudah itukah? Ketika kita berbagi, kita akan mendapatkan balasan yang tak kita duga di waktu yang tak pernah kita sangka? Luar biasa.

 

Tasikmalaya, 2019

Imas Hanifah N. 24 Desember adalah tanggal ia lahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Saat ini, ia memiliki kesibukan sebagai salah satu pelayan di sebuah toko. Ia bisa dihubungi lewat akun Facebook-nya: Imas Hanifah N, akun Ig: @hanifah_bidam atau lewat e-mail: hanifah24halimtuti@gmail.com.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply