Suatu Hari yang Melelahkan
Oleh: Imas Hanifah N
Pilihan Gambar: Gambar 2
Terbaik ke-19 Lomba Cermin Lokit
#Menerjemahkan_Gambar
“Kau benar-benar akan pergi hari ini?” tanya Leony, temanku yang matanya sipit itu. Kalau ia sedang tertawa, kedua matanya benar-benar seperti tertutup sempurna. Dan aku akan ikut tertawa setiap kali itu terjadi.
“Iya, mau bagaimana lagi?”
“Aku tahu ini berat dan akan lebih menyakitkan jika terus-terusan di sini. Lelaki tidak tahu malu itu, ah … memang. Aku sebenarnya sangat ingin kau tinggal di rumahku, tapi kau tahu kalau anggota di rumahku saja sudah enam orang. Juga hari ini, maaf aku tidak bisa mengantarmu.”
Aku mengangguk dan tersenyum, seraya mengelus pundaknya pelan. “Tidak apa-apa. Aku mengerti. Tentu saja kau harus pergi ke nenekmu yang sedang sakit. Aku bisa sendiri. Kakakku sudah membelikan tiket. Ia juga sangat ingin aku tinggal di rumahnya.”
“Baiklah.”
Leony pamit setelah membantuku memasukkan semua barang-barang ke dalam beberapa kotak yang kukatakan kepadanya adalah milik lelaki itu. Aku juga sudah memasukkan baju dan yang lainnya ke dalam koper besar dan tas. Sebenarnya, koper pink itu nyaris tidak pernah dipakai. Kakakku menitipkannya kepadaku sebelum pindah ke luar kota. Katanya ia mendapatkannya cuma-cuma dari kuis di internet.
Leony kemudian memelukku dua kali, seakan tak ingin pergi dan aku berusaha keras untuk menahan tangis. Sungguh-sungguh berusaha, sampai tenggorokanku terasa sedikit sakit.
“Hubungi aku kalau sudah sampai, ya.”
Aku mengangguk. “Tentu.”
Ia tersenyum dan berjalan pelan, pergi meninggalkanku di kamar kosku sendirian. Pandanganku lalu tertuju ke tiga kotak ukuran sedang di samping koper besar. Ternyata, hubunganku selama tiga tahun menyimpan banyak kenangan. Lewat barang-barang juga. Tadi saat membereskannya bersama Leony, aku tak begitu memperhatikan. Maka, kubuka satu kotak dan menemukan jam tangan cantik berwarna perak. Hadiah ulang tahunku, mungkin di tahun pertama saat aku dan mantan pacarku masih dalam tahap awal menjalin hubungan. Aku kembali memasukkannya ke dalam kotak dan tiba-tiba merasa lapar.
Ada roti yang sangat kusukai. Itu adalah roti rasa stroberi. Aku membeli beberapa kemarin dan memakannya di saat seperti ini, rasanya jadi dua kali lipat lebih enak. Entah mengapa, kupikir kesedihan, jika diibaratkan sebagai penyakit, akan selalu menemukan obatnya. Mungkin makanan cukup berperan penting juga. Ah, itu tergantung seberapa besar kesedihannya. Ya, sepertinya begitu.
Selesai makan, aku ingat kalimat mantanku dua hari lalu. “Jangan pindah. Tinggallah di sana sesukamu, sembari memikirkan hubungan kita selanjutnya. Jangan cemas soal membayar uang kos. Aku akan bertanggung jawab. Sekali lagi, aku meminta maaf karena telah selingkuh. Semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Dan aku percaya, kau adalah perempuan yang pemaaf.”
Aku hampir tersedak saat minum. Omong kosongnya itu terlalu jelas.
Sebenarnya aku tidak yakin, kenapa pula aku repot-repot mengumpulkan barang-barangnya? Aduh, pikiranku ini sedang error atau apa? Sial sekali. Aku ingin menangis.
Setengah jam, mungkin, setelah aku merasa agak baikan, tapi aku tidak bisa menangis tadi. Hanya melamun saja dan ketika aku rasa hari sudah semakin siang, maka kuputuskan untuk pergi. Tiga kotak itu kubiarkan di sudut. Koperku juga sudah siap.
Kutinggalkan sebentar koperku, selagi aku keluar dan menyerahkan kunci kamar kepada pemilik kos. Setelahnya, barulah kuseret koper itu keluar.
Aku memesan taksi online untuk sampai ke stasiun kereta. Kakakku, selain membelikanku tiket, juga mengirimkan sejumlah uang yang cukup. Ia memang menginginkan ini sejak lama. Ia tidak menyukai mantanku itu dan bahkan sepertinya lebih dari itu. Ia tak pernah mau membahas soal hubunganku dan cenderung marah kalau aku sebut nama mantanku, baik secara langsung atau di sambungan telepon. Aku ingat kata-katanya dulu.
“Pekerjaanmu tak harus membuatmu pindah ke tempat kos. Penulis bisa bekerja di mana saja. Itu pasti modus pacarmu. Supaya dia bisa mengunjungimu setiap hari.”
Ah, sekarang kata-kata itu terdengar seperti nasihat filsuf. Begitu agung dan sarat akan kebenaran.
Di sepanjang perjalanan menuju kereta, aku memasang headhpone. Kudengarkan lagu-lagu. Lagu-lagu yang sebenarnya tidak tepat untuk sebuah keberangkatan. Lagu-lagu yang kudengar adalah tentang perpisahan, sendu, dan lebih cocok didengarkan di bus perjalanan pulang sehabis patah hati. Lagi-lagi, ini semakin terasa menyebalkan. Efek roti stroberi sudah hilang.
“Sudah sampai,” kata sopir.
“Berapa?”
“Tiga puluh lima.”
Ya, aku tahu kalau sudah sampai. Aku hanya ingin duduk lebih lama. Ini mungkin terdengar konyol, tapi jika saja jam belum menunjukkan pukul sebelas, mungkin aku akan meminta si sopir untuk terus berkendara, berputar-putar mengelilingi kota. Aku suka melihat dari jendela mobil sambil mendengarkan lagu.
Sopir membantuku mengeluarkan koper dari bagasi. Ia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum lebar. Aku hanya mengangguk.
Setelahnya, aku duduk di kursi tunggu. Menunggu kereta.
Selang beberapa menit, anak kecil yang duduk di sebelahku menangis. Headphone yang sebelumnya kulepas, segera kupakai kembali. Aku menatapnya tajam, seakan memberi anak itu peringatan untuk berhenti menangis. Dan itu berhasil. Ia merapatkan tubuhnya kepada sang ibu yang sepertinya sedang sibuk bermain Facebook. Layarnya jelas terlihat. Aku tidak perlu mengintip untuk melihatnya.
Aku tak perlu menjelaskan bagaimana perjalanan di kereta. Karena itu sangat menyebalkan. Lagi dan lagi, ada anak kecil yang menangis dan aku tidak bisa tidur sama sekali.
Sekarang, aku kembali menderita. Aku harus menaiki tangga untuk sampai ke rumah kakakku. Rumah kakakku adalah salah satu unit di sebuah rusun. Bukan rusun yang buruk. Masih bisa kusebut lumayan. Tadi sebelum berangkat, aku sama sekali tidak memikirkan soal adanya tangga sialan ini. Sungguh!
Lalu entah di anak tangga ke berapa, seseorang menyenggolku. Saat aku melihatnya, ia tak mengatakan apa pun atau bahkan melihatku. Ia adalah seorang lelaki muda yang sedang bertelepon dan terus berjalan menaiki tangga. Ya ampun. Apa yang tadi lewat itu manusia? Sepertinya bukan.
Aku masih berkutat dengan koperku, menaiki anak tangga, satu demi satu, saat kulihat dompet lelaki itu jatuh. Aku meliriknya sebentar dan tebakan kalian benar. Aku tidak peduli. Lelaki itu sepertinya tak menyadarinya juga.
Aku terus naik dan akhirnya sampai. Saat aku masuk, kakakku mengomel kenapa tidak bilang. Kalau ia tahu aku sudah di depan, ia akan membantu.
“Aku ingin tidur,” ucapku.
“Oke.”
Aku lelah, ingin tidur, ingin menangis, tapi tiba-tiba saja aku ingat belum memberi kabar kepada Leony kalau aku sudah sampai. Ah, mana ponselku?(*)
Tasikmalaya, 2022
Imas Hanifah N, bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 1996. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun Facebook-nya: Imas Hanifah N atau akun Ig: @hani_hanifahn. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
Komentar juri, Berry:
Cerita ini sedikit banyak “diselamatkan” oleh judulnya, yang berkesesuaian dengan isi. Suara narator (aku) yang terasa tidak konsisten, melantur, dan perilakunya yang terkesan setengah-setengah—entah peduli entah tidak—cukup berhasil merefleksikan kata “lelah” pada judul, yang merupakan perasaan yang saat itu menggantungi tokoh utama. Mulai dari ia melihat ketiga kotak dan hanya membuka salah satunya, celetukan-celetukannya terhadap musik dan kue, sikap tidak bersahabatnya ke anak kecil, hingga ketidakpeduliannya dengan seorang lelaki yang menyenggolnya di tangga, dst, yang digambarkan secara alami—tanpa keinginan mendramatisasi keadaan. Karena itu, nuansa murung yang disajikan penulis pun terasa lebih relevan.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)