Suatu Hari Ketika Hujan Bicara
Oleh : Vianda Alshafaq
Dia mengetuk-ngetukkan bolpoin ke dagunya, matanya sedikit memicing, dahinya berkerut—khas orang yang sedang berpikir sekali. Sebuah buku tulis yang hanya menyisakan sedikit halaman kosong, dia telantarkan begitu saja di atas meja; secangkir kopi yang masih mengepulkan asap juga ada di sana; sementara di luar sana, di balik jendela, hujan tengah berdendang indah, sembari berdansa dengan daun-daun. Ah, benar-benar suasana yang indah untuk memulai sebuah tulisan, seharusnya.
Karena tak menemukan apa pun untuk ditulis, dia meletakkan penanya di atas buku. Dia ketukkan jari-jari tangan kirinya di atas meja seolah-olah sedang bermain piano dan mengikuti irama yang hujan ciptakan.
Tiba-tiba, sepasang pengunjung menduduki meja di sebelahnya. Sepertinya mereka sepasang kekasih.
“Hujan memang selalu romantis, ya, Sayang,” celetuk sang wanita dengan mengukir senyum termanis di wajahnya.
Dia mengernyit. Kemudian bergidik ngeri. Tiba-tiba dia menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikiran-pikiran aneh yang bergelut di otaknya. Dia kembali melihat ke luar. Keadaan masih sama. Hujan lebat. Saking lebatnya, air itu terlihat menggenangi jalan, meski tak tinggi. Hanya sebatas terlihat genangan.
“Apa hubungannya hujan dengan romantis?” Entah kepada siapa dia mengajukan pertanyaan itu. Barangkali dia mengutarakan pertanyaan itu kepada satu-dua orang yang melintas di depan matanya, berjalan di luar jendela sembari menggunakan sebuah payung.
Karena lelah memikirkan apa yang tidak bisa dia jawab, dia mengalihkan pikirannya pada ponsel. Barangkali ada “sesuatu” yang bisa dia temukan. Dia menggeser layar ponselnya, sesekali menekan bagian tengah layarnya sebanyak dua kali.
Hujan selalu membicarakan kenangan. Kapan pun dia datang, dia selalu mengingatkanku pada masa yang sudah hilang.
Itu adalah kalimat sebuah postingan yang lewat di berandanya. Postingan seorang teman yang cukup dekat dengannya.
“Dia sudah gila. Apa hubungannya hujan dengan kenangan? Tidak ada sama sekali!” Dia memilih untuk menutup ponselnya karena bosan. Dia masih belum menemukan “sesuatu” untuk ditulis.
Dia kembali berpikir, mungkin saja dia sudah melewatkan sesuatu yang “layak” untuk ditulis. Setelah beberapa saat, dia meraih kembali penanya, lalu membuka buku yang tadi sempat dia tutup karena tak tahu harus menulis apa.
Jika hujan bisa berbicara, apa yang akan dia sampaikan?
Dia menulis kalimat itu di bukunya. Kemudian, dia menyeruput kopinya yang sudah mulai dingin.
“Sudah saatnya aku kembali menulis.”
***
Sudah tiga puluh menit berlalu. Dia sudah menuliskan bagaimana sepasang kekasih mengaitkan hujan dengan keromantisan, bagaimana seseorang menyalahkan hujan atas kenangan pahit yang datang. Dan, dia juga menuliskan bagaimana jika hujan bisa berbicara, apa yang mungkin akan dia sampaikan.
Dia menutup kalimatnya. Tidak tahu lagi harus menulis apa. Sebab, dia tidak tahu apa yang mungkin saja ingin hujan sampaikan jika dia berbicara.
Di luar jendela, dia melihat bulir-bulir hujan menyatu, membentuk sebuah formasi … menyerupai tubuh manusia. Hujan itu berjalan mendekatinya, menembus jendela begitu saja tanpa memecahkannya.
Dia terperanjat. Namun, setelahnya duduk kembali. Dia mencoba tenang, dan mengikuti permainan hujan yang saat ini duduk di kursi yang ada di depannya. Hujan itu … benar-benar menyerupai manusia.
Dia masih bungkam. Tidak tahu harus berkata apa dalam keadaan seperti itu. Dia memperhatikan hujan itu dengan teliti. Di bagian mata hujan, dia melihat buliran air. Hujan itu … menangis!
Karena tak tahu apa yang harus dilakukan, dia memilih untuk mengambil bukunya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Ini hanya imajinasi, begitu pikirnya. Bagaimana mungkin hujan bisa berubah seperti manusia dan duduk di depannya. Bahkan hujan itu menangis. Tidak mungkin! Dia tidak percaya semua itu.
Dia memilih untuk pulang. Tidak peduli dengan hujan yang masih bertarung dengan genting. Dia harus pulang. Dia harus tidur untuk mengenyahkan semua imajinasi liar yang ada di pikirannya saat ini.
Seharusnya dia basah kuyup setelah sampai di luar mengingat hujan yang sangat lebat. Tapi kenyataannya tidak begitu. Dia tidak basah sedikit pun. Seperti ada “sesuatu” yang melindunginya dari percikan hujan. Dia menoleh ke kiri. Mendapati hujan yang menjelma seperti manusia tadi. Dia terperanjat kaget. Hujan itu mengikutinya.
“Kamu tidak akan pernah basah ketika hujan,” ujar hujan yang berdiri di sampingnya.
“Dan, saya tidak berada dalam imajinasimu. Saya memang sedang mengikuti kamu saat ini, meski sebenarnya cuma kamu yang dapat melihat saya.”
“Kenapa hanya saya yang bisa melihat kamu?”
Hujan itu tersenyum. Ini adalah pertanyaan yang sedari tadi dia tunggu-tunggu.
“Karena hanya kamu yang memikirkan apa yang ingin saya sampaikan.”
Dia mengernyit. Heran. Sebuah ide gila yang datang begitu saja membuatnya dapat mendengar suara hujan yang berbicara dengannya.
“Jadi, sekarang saya bisa mendengar suaramu. Apa yang harus saya tulis untuk mengakhiri tulisan saya?”
“Tulislah di sana bahwa saya tidak salah dan tidak terikat pada apa pun.” [*]
Vianda Alshafaq, seorang mahasiswa yang sedang lelah dengan tugas-tugasnya. Bisa dihubungi melalui akun Facebook: Vianda Alshafaq.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata