Suatu Hari di Bus
Oleh: Reza Agustin
Menaiki transportasi umum, berarti harus bersiap dengan konsekuensinya. Mengalah. Orang-orang lahir dengan isi kepala berbeda. Namun, ketika menaiki transportasi umum mau tak mau semua penumpangnya harus mematuhi aturan tak tertulis itu. Aturan dari sang kondektur dan aturan penumpang secara umum. Maka, secara tak langsung para pengguna transportasi umum dididik menjadi pribadi yang lapang dada dan sedikit mengeluh. Ya, sedikit saja. Karena tak semua isi kepala sama.
“Pak sopir, mbok jangan ngebut. Kasihan itu sama yang enggak dapat tempat duduk. Pada bergoyang semuanya,” keluh seorang ibu-ibu yang duduk dekat pak sopir. Sopir tersebut tak acuh. Baginya, kendali setir lebih penting daripada mendengar ocehan ibu-ibu.
“Kalau enggak ngebut, enggak dapat penumpang. Enggak bisa kejar setoran, enggak bisa makan. Emang situ mau kasih makan anak saya.” Pak kondektur menimpali, mukanya sama masamnya dengan handuk yang tergantung di leher. Handuk usang yang sudah lama sekali menemaninya menjadi kondektur.
Si ibu terdiam, tetapi mulutnya mencebik kesal. Semua penumpang juga tahu kalau si ibu pastinya mengomel dalam hati. Lihat saja bagaimana ekspresi wajahnya yang kesal bukan main. Pak sopir tersenyum mengejek, beruntungnya tak tampak oleh si ibu.
Keluhan si ibu seputar kinerja sopir yang sering kali ngebut hanya salah satu dari permasalahan yang sering dijumpai di kendaraan umum. Salah satu masalah lain adalah indra penciuman seseorang yang terkadang terlalu sensitif. Bahkan untuk aroma-aroma yang sebenarnya menyegarkan.
“Pak, kalau mau pakai pewangi mobil, jangan pakai yang aroma murah kayak gini. Hidung saya sensitif soalnya, udah gitu di kursi paling belakang ada yang merokok. Emangnya boleh merokok di kendaraan umum. Tolong ditegur, Pak.” Seorang wanita muda mengomel pada kondektur. Pria yang telah belasan tahun mengembara di atas bus tersebut hanya tersenyum renyah. Ia tak menghiraukan wanita muda yang sejak tadi menutup hidungnya menggunakan jemari tangan. Salah sendiri tidak pakai masker.
Kondektur bus biasanya lebih agresif jika menangani penumpang seperti ini. Terkadang mereka akan balik membalas dengan kata-kata yang tak kalah pedas. Namun, ada juga yang memilih untuk diam. Lebih memilih untuk menyelesaikan tugasnya. Walau kadang kala kondektur bus juga akan ikut membicarakan kejelekan para penumpang di belakang bersama kernet. Atau menggoda penumpang langganan yang sering naik bus mereka.
Kadang kondektur yang genit tak segan untuk menggratiskan penumpang yang cantik parasnya. Tentu saja dengan imbalan bertukar nomor telepon, atau alamat rumah sekalian.
“Kamu sama pacarmu kemarin jalan-jalan ke pantai, ‘kan? Pergi main, kok, enggak ngajak-ngajak,” tegur si kondektur pada salah satu penumpangnya.
Perempuan dengan riasan setebal kulit badak itu terkekeh kecil. “Lha, masa sampeyan minta diajak? Sampeyan kan, kerja.”
“Namanya juga orang hidup, sekali-kali boleh main, dong. Nanti kalau aku dapat jatah libur, mau ndak aku ajak ke pantai?” balas si kondektur sambil menatap penumpangnya menggoda.
“Nanti istri sama anakmu marah gimana?” Bak gayung bersambut, si penumpang akhirnya menangkap umpan si kondektur.
“Ya, jangan sampai tahu pokoknya,” pungkas si kondektur sambil tertawa terbahak.
Tak tahukah bahwa mereka sedang jadi bahan obrolan dua ibu-ibu berbadan gempal yang duduk di barisan kursi dekat pintu. Tiga jatah tempat duduk habis mereka ambil. Membicarakan aib seseorang terkadang bisa menjadi cara ampuh untuk membunuh waktu. Tipe-tipe penumpang yang juga tak disukai oleh kondektur dan para penumpang lain. Selain mengusik ketenangan, terkadang juga bikin sakit hati.
“Masa anak saya lama kerja di Kalimantan, gajinya belum naik-naik juga. Kemarin masih enam juta, padahal yang lain gajinya udah delapan, lho.”
“Eh, beneran? Anak saya gajinya baru naik, soalnya dipindah cabang. Lumayan gajinya, bisa buat beli sapi sama emas.”
Kernet bus mencebikkan bibir. Kalau mau perang harta sama kehebatan anak jangan di kendaraan umum, malah bikin malu. Mungkin sekiranya itu yang terlintas di kepala si kernet. Suasana bus yang ramai karena perbincangan “seru” dua ibu tersebut tiba-tiba terhenti. Sopir mengerang kesal, beberapa umpatan lolos dari bibirnya.
“Ada apa lagi to, Pak Sopir?” tanya Ibu-ibu yang sejak tadi protes mengenai tingkah ugal-ugalan sang sopir.
“Mogok! Semua penumpang diturunkan. Tunggu bus selanjutnya lewat. Suruh angkut mereka semua!”
Menaiki transportasi umum, berarti harus bersiap dengan konsekuensinya, termasuk mogok.
Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram: @Reza_minnie, dan Wattpad: @reza_summ08.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata