Suatu Hari di Bulan Desember 2002
Di rumah pemasyarakatan itu sempat timbul ribut-ribut kecil ketika Marsiyam melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan, menurut penilaian teman-teman di situ, sangat tampan. Sebelumnya tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa ada perempuan bunting di situ. Dan mungkin tidak ada yang benar-benar yakin bahwa Marsiyam memang bunting sebelum melahirkan. Berbagai jenis pikiran baik dan buruk beredar di bangunan yang berdasarkan perhitungan akal sehat sudah tidak bisa menampung pesakitan lagi itu. Tidak ada seorang laki-laki pun di situ, kecuali kepala penjara. Tapi, apa ada alasan untuk mencurigainya sebagai bapak bayi itu? Rasanya tidak. Tampang lelaki yang tak pernah tersenyum itu jauh dari selera perempuan mana pun. “Tampangnya nyebelin,” kata mereka. Dan tampang bayi laki-laki itu minta ampun cantiknya.
Marsiyam dikenai hukuman dua tahun penjara sebab dituduh telah menganiaya suaminya, seorang lelaki yang bekerja sebagai guru, yang—menurut sementara tetangga—sudah sepantasnya dianiaya, entah sebab apa. Mereka kawin sekitar tiga tahun dan belum dikaruniai anak. Guru itu selalu menyalahkannya dan malah sering menuduhnya telah berbuat serong dengan laki-laki lain. Marsiyam mula-mula menerima tuduhan itu dengan tenang, bahkan dia yakin kecemburuan suaminya itu muncul justru karena lelaki itu sangat mencintainya. Ia sadar dirinya cantik, dan tentunya ada alasan juga bagi suaminya untuk memelihara rasa curiganya.
Sampai pada suatu sore ketika ia sedang memasak untuk makan malam, ketika suaminya mendekatinya dan mendesakkan pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan, yang menuduhnya telah berselingkuh dengan seorang pemuda pengangguran yang suka membantu keluarga itu membetulkan atap bocor atau kabel listrik yang korslet. Anak muda itu memang lumayan tampangnya, dan sering berada di rumahnya ketika guru itu sedang mengajar. Marsiyam meladeni rentetan pertanyaan suaminya dengan sabar, tetapi semakin lama lelaki yang pendapatannya tak cukup untuk hidup layak itu menunjukkan tampang yang semakin menyebalkan. Marsiyam menyekam kesabarannya, dan mendadak bagaikan api kemarahannya berkobar. Ia ambil barang sekenanya di dapur itu, dipukulkannya ke kepala suaminya yang langsung terkapar di lantai. Diinjaknya tubuh yang tengkurap itu berkali-kali sambil menjerit-jerit, “Aku memang tak bisa punya anak, mau apa kau. Aku memang gabuk, mau apa kau.” Tetangga pun berdatangan dan beberapa bulan kemudian ia harus duduk di kursi terdakwa untuk mendengarkan keputusan hakim. Suaminya telah melaporkannya ke polisi sehabis peristiwa di dapur itu.
***
Tentu saja penjara bukanlah tempat yang diidam-idamkannya, tetapi di luar dugaan, Marsiyam dengan cepat bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat yang aneh hubungan-hubungan antarmanusianya itu. Seperti kampung saja, di situ ada ibu muda yang konon menganiaya madunya, ada tukang copet yang suka beroperasi di ka-er-el, ada organisator berbagai arisan yang menggelapkan uang puluhan juta, ada dokter yang kerja sambilannya menjual narkoba, ada pengacara yang ketahuan menyogok jaksa, dan ratusan perempuan lain yang entah profesinya. Marsiyam yang pendiam dan tidak banyak cincong itu diterima di kalangan mereka, bahkan oleh grup-grup yang biasanya bermusuhan. Tidak ada yang mau percaya bahwa perempuan semacam itu telah tega memukuli dan menginjak-injak suaminya, guru yang konon juga dikenal tidak banyak ulah.
Marsiyam tidak tahu alasan apa yang menyebabkan perempuan-perempuan itu lebih suka memanggilnya Marsinah atau Mariyam. Menurut mereka, nama Marsiyam susah diingat—suatu alasan yang menurutnya pasti sekenanya saja. Dan selama ia di sana, tidak pernah ada orang yang menengoknya. Ia hanya menggelengkan kepala atau menunduk kalau ditanya, “Kau tak ada keluarga, ya?” atau, “Kau sudah dibuang keluargamu, ya?” Ia menjalankan tugas rutinnya dengan tekun, tidak pernah membantah sipir yang mana pun, yang beberapa di antaranya dianggap ganas oleh rekan-rekannya.
Sampai malam itu, ketika ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Tidak ada yang yakin bahwa perempuan muda itu pernah bunting. Tak pernah ngidam, tak pernah muntah-muntah. Perutnya rata saja. Tapi tiba-tiba saja ada bayi keluar dari rahimnya. Tak ada seorang pun di sana yang percaya pada mukjizat; mana ada orang jahat percaya akan hal semacam itu? Tetapi pertanyaan yang beredar tetap sama, siapa gerangan yang telah membuntinginya kalau bukan kepala penjara, satu-satunya lelaki di bangunan itu yang boleh berhubungan dengan mereka? Tapi mereka tak percaya juga akan hal itu. Sipir-sipir perempuan yang ganas itu pasti mengetahui perselingkuhan semacam itu dan akan menggunduli lelaki yang rambutnya tinggal beberapa lembar itu—tidak peduli ia atasan mereka atau bukan.
Marsiyam diberi kesempatan mendapatkan kamar khusus untuk mendampingi bayinya sebab toh beberapa hari lagi masa hukumannya akan habis. Tanpa dirasa, sudah dua tahun ia berada di dalam bangunan itu, tanpa sama sekali pernah berhubungan dengan dunia luar. Dokter penjual narkoba itu dengan bangga membantunya, juga tukang copet dan dedengkot arisan. Mereka merasa mendapatkan kebahagiaan dengan membantu ibu muda itu.
Sore itu akhirnya tiba juga. Marsiyam harus meninggalkan rumah pemasyarakatan karena masa hukumannya sudah habis, meskipun ia tak merasa sudah dimasyarakatkan. Ia gendong bayinya sambil menenteng barang bawaannya.
“Kau pulang ke mana Marsinah?” tanya si gembong arisan.
“Entahlah.”
“Kapan-kapan nanti aku boleh menjengukmu, Mariyam? Kalau aku keluar nanti, tentu bayimu sudah besar, sudah sekolah,” kata dokter yang harus meringkuk di bangunan itu bertahun-tahun lagi.
Marsiyam hanya tersenyum. Tidak memedulikan penyebutan namanya yang selalu keliru itu. Ditatapnya bayi yang digendongnya dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa wajahnya mirip lelaki muda yang dulu suka membetulkan atap bocor dan kabel listrik yang korslet di rumahnya. Perempuan itu menyimpan saja perasaannya, yang ia sendiri tidak tahu apa. Selama dalam masa hukuman, ia memang pernah beberapa kali bermimpi bertemu lelaki muda itu, yang katanya menjenguknya untuk meminta maaf lantaran telah menyebabkannya masuk penjara. Ia selalu merasa bahagia setiap kali pemuda itu muncul dalam mimpinya. Sejak semula ia tahu bahwa sebenarnya suaminyalah yang mandul, tetapi ia tidak pernah mengatakan itu karena pasti akan menyinggung perasaan dan menyebabkan guru itu semakin tidak masuk akal tuduhan dan tindakannya.
Ia menoleh untuk terakhir kalinya kepada rekan-rekannya ketika diiringkan oleh beberapa sipir keluar dari bangunan itu.
***
“Kau mau pulang ke mana, Marsiyam?” tanya salah seorang sipir. Ia kaget mendengar namanya disebut dengan benar untuk pertama kali sejak dua tahun yang lalu.
“Pulang.”
“Ke mana?”
“Ke rumah.”
“Rumah siapa?”
“Rumah suamiku. Ia pasti senang aku bisa mendapatkan anak. Ini anaknya. Aku yakin ia akan menerima kami. Ini anaknya.”(*)
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 78 tahun) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka.
*cerpen ini dimuat di harian Kompas edisi 03/30/2003
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita