Suara Sekeping Hati
Oleh: Dyah Diputri
Ketika sekeping hati terendap dan terkunci
Sekian lama terkucil dalam sunyi yang menggigit
Tanpa jamah, tanpa rasa
Sepi … gundah mendamba.
Lalu napasmu hadir membingkai celah
Dengan gerak simpul menyusupkan detail-detail tanya dalam sukma
Aku mencuat, melayang-layang di udara
Berharap setitik nyala membebaskan dilema yang menggusarkan jiwa
Bilakah kau merobek sulaman senyap penghalang nada rindu?
Datanglah, Kekasih!
Tanpa aku menguak suara …
***
“Percayakah kau akan cinta, Astari?” Sesekali Diaz melontarkan pertanyaan yang tak bisa kujawab. Cinta … apa itu? Apakah itu getar dan debar di dada ketika menatap tatapan lembut yang dia punya? Ataukah ia adalah napas menderu yang mengeja kata rindu di tiap dengungan aksara yang kudengar darinya? Entah ….
“Kau lihat gambar cincin ini? Desain pelaminan dan foto pre-wedding ini?” Diaz menunjukkan dengan saksama proyek wedding organizer yang sedang ditanganinya, “Inilah cinta, sebanyak apa pun kata yang kau punya jika kau tak membuktikannya, maka itu hanya fatamorgana. Cinta sesungguhnya adalah ketika kau telah melewati ini.”
Aku memandang takjub pada foto-foto pre-wedding klien Diaz. Terbersit tanya mungkinkah aku akan melewati fase itu dengannya? Sementara detik ini rasaku masih kutanggung sendiri.
Pertama kali Naina, kakakku mengenalkanku padanya. Diaz, partner kerja Naina yang mengatur foto wedding dan pre-wedding, dekorasi pelaminan, cincin kawin, dan segala hal yang berbau pernikahan impian. Sementara Naina mengurusi bagian katering. Terkadang mereka membawa obrolan pekerjaan sampai ke rumah sekalian test food jika Naina menemukan menu baru. Dan aku hanya malu-malu memperhatikan tanpa banyak kata. Bagaimana aku harus berkata sementara tiap gerik Diaz sudah membungkam bibirku lalu ia tambahkan pula sihir cinta ke dalam mataku. Aku mengaguminya dalam sunyi, dalam hening yang mencabik sendiri asa dan inginku.
“Apa kau tak pernah berpikir menyiapkan pernikahanmu sendiri?” tanyaku menggali lebih banyak tentang Diaz. Ya, aku mencinta tetapi aku tak tahu apa-apa tentangnya. Aku malu bertanya pada Naina karena dia terlalu sibuk dengan dapur dan karyawannya, lalu waktuku dengan Diaz hanya saat aku menemaninya minum teh sembari mengerjakan pekerjaannya.
Diaz terdiam sejenak memikirkan jawaban atas pertanyaanku. Entah mengapa ini bagi buah simalakama, aku menanyakan hal yang bisa jadi jawabannya akan menoreh luka dan membekaskan perih di hatiku. Bagaimana jika Diaz memang sudah punya pasangan?
“Aku mencintai seseorang diam-diam karena dia juga diam-diam menghanyutkanku dalam kekaguman. Aku sudah memintanya kepada orangtuanya.”
Duaaarrr!!!
Rasanya debaran yang kutahan meletus seperti petasan. Dalam ketidaksiapan aku menelan mentah-mentah sebuah siratan penolakan tanpa aku mengajukan permintaan. Sakit! Nyerinya menguar di selubung raga dan sukmaku. Sekuat rasa kutahan agar mata ini tak sampai berkaca. Aku pergi menjauh, membelakanginya dengan batin yang tersiksa. Cinta pertamaku gulita sebelum kusentuh terangnya.
***
“Astari, aku akan menikah!” Naina memekik girang di hadapanku. Kemudian ia berlari mengitari rumah, kembali ke ruang keluarga dan bergantian memberi kecupan di pipiku, Ayah, dan Bunda. Sampai akhirnya ia akan berhenti di dapur dan mengungkapkan kebahagiaannya lewat aroma masakan yang menggiurkan.
Aku masih mematung heran. Selama ini Naina tak pernah mengenalkan seorang pria atau bercerita tentang pacarnya kepadaku. Dia selalu larut dalam pekerjaannya. Kami pun jarang bertatap muka meski tinggal satu atap. Beberapa kali ia mampir ke playgroup tempatku mengajar sekadar mengirimi kue, bersama … Diaz!
Jantungku berdetak, menabuh irama resah tak terkira. Berbagai prasangka carut marut di kepalaku. Aku gelisah menanti siapa yang akan melamar Naina. Kenapa berita ini begitu sinkron dengan kabar bahwa Diaz juga akan menikah. Apa Naina …? Ya, Allah. Pikiran picik macam apa yang kupunya. Kalaupun Diaz adalah calon Naina, harusnya aku ikut bahagia. Mereka serasi, kompak, bekerja dalam bidang yang sama. Apa lagi? Aku? Apalah aku ….
Aku membuka pintu ketika mendengar belnya. Kubulatkan hati yang telah remuk kemarin untuk menghadapi kehancuran selanjutnya.
“Assalamualaikum.” Suara yang tak asing kudengar. Jantung yang tadinya keras memompa galau kini melemah dengan nada tak percaya.
“Pak Amin!” Aku terbelalak memandang calon Naina di hadapanku. Dia kepala sekolah tempatku bekerja. Bagaimana mungkin? Jadi bukan Diaz? Namun, ahh …! Tetap saja Diaz akan menikah dengan wanita pujaannya.
***
Setelah hari itu Diaz tak pernah berkunjung ke rumah. Sisa-sisa rindu kupunguti dan menggumpal lagi dengan indahnya. Meski aku tak pernah bisa memilikinya, entah mengapa rasaku tak pernah padam untuknya.
“Apa Diaz juga akan menikah?” Naina terhenyak, dihentikannya gemulai tangannya mengaduk adonan kue lalu memicingkan mata padaku.
“Ya. Dia bilang begitu.”
“Kau tahu dengan siapa?”
Naina menggeleng. Dia melanjutkan pekerjaannya. Aku kecewa atas jawabannya. Sepertinya cinta ini terlalu memforsir gerak dan hatiku sampai aku tak bertenaga.
“Kenapa tak kau tanyakan kepadanya?!” Aku menghentikan langkahku mendengar suara Naina.
“Kalau kau suka kenapa tak bicara? Setidaknya suaramu tak akan menenggelamkanmu dalam penyesalan, Astari!”
***
Sekeping hati
Haruskah ia mendobrak gerbang keangkuhannya
Dengan suara lantang yang menggema
Melepaskan tombak yang menancap menghantuinya di depan jendela
Suarakan saja!
Hingar bingarkan dengan dada jemawa
Biar ia tak hanya terpenjara
Biar terjaga desah tanpa ucap mengapa.
Diaz melambaikan tangannya dari jauh. Senyumnya mengembang seolah berucap, “Tunggu aku!”
Selang 5 menit Diaz menghampiriku. Kami bersalaman dan dia menggiringku pergi meninggalkan area resepsi yang sedang digarapnya untuk Nania. Konsep resepsi outdoor di pinggir pantai dengan sentuhan warna putih dan biru yang menyatu dengan laut dan langit. So Nania’s wedding dream!
“Apa tak menganggumu?” tanyaku. Diaz menggeleng, tetap fokus pada kemudinya.
Mobil hanya melaju selama 5 menit dan berhenti di tepi pantai yang lain. Dari sisi ini kami bisa melihat senja lebih berkilau daripada tempat sebelumnya.
“Apa kau benar akan menikah?” Gugup aku berkata. Belum-belum riak risauku mendempul butir peluh di pelipisku. Senja menyengat dan Diaz jauh lebih menyilaukan bagiku.
“Setelah Nania, mungkin tahun depan.”
Kuberanikan diri menatap pada tajam sorot matanya. “Aku mencintaimu, Diaz. Sejak lama … maafkan aku,” ungkapku pasrah. Perlahan kaca-kaca di mataku retak dan mengalirkan titik demi titik kesedihanku.
“Aku tahu aku tak pantas … tapi aku tak sanggup lagi diam. Aku tak bisa menyimpannya sendirian.” Aku menunduk, menyeka air mata, dan terduduk di hamparan pasir. Diaz tak bergeming, ia ikut duduk di sampingku. Kulirik ia hanya menatap senja dengan syahdu.
“Haruskah kau ungkapkan semua itu? Aku rasa usiamu sudah tidak pantas untuk berbuat seperti ini!”
Aku malu. Tak punya muka lagi saat ia mengucapkan itu. Perih hatiku sudah bukan yang utama. Seandainya bisa, aku ingin kembali ke satu jam yang lalu dan mengurungkan eksekusi ide konyol Naina.
“Cinta tak harus diungkapkan, Astari. Karena manusia terlalu hina untuk dicintai. Hanya Sang Mahacinta yang berhak mendapatkannya.”
Kembali, aku terperangah mendengar kata-katanya. Semakin aku sakit menyimpan rasa, semakin besar rasa kagumku kepadanya.
“Aku sudah memintamu pada ayahmu. Tapi tahun depan aku baru bisa menikahimu. Kau tahu, kan? Dua anak gadis tak bisa menikah di tahun yang sama. Kenapa kau tak bersabar, Astari?” Serta merta Diaz mengelus puncak kepalaku dengan lembut.
Aku malu semalu-malunya. Tak sanggup lagi bermasam muka, menerka, atau pun bicara padanya. Aku hanya merutuki cinta yang tak bisa kurasa.
Senja itu, aku memeluknya. Sekeping hatiku telah diambil sejak lama dan dikaitkan pada garis tangannya. Di sana, ia telah menyiapkan awal cinta tanpa suara. Yang tak perlu orang tahu bagaimana kami menikmatinya.
Malang, 15 Januari 2019.
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata