Suamiku dan Rumah di Seberang Jalan
Oleh: Lily Rosella
Aku melepas topi bowler yang tengah dipakai Antonie pagi ini. Mengarahkan handycam tepat ke wajahnya. Raut wajah yang selalu terlihat cerah itu tersenyum, tangan kanannya terangkat dan sengaja dilambaikan.
“Kau ingin risotto atau tortellini?”
“Bisakah jika kita makan di luar saja?”
“Ayolah, Antonie. Bukankah kau bilang ingin mencicipi masakanku?”
Antonie tertawa. Telapak tangannya yang besar menutup separuh wajahnya sambil tetap tertawa. “Bisakah aku melakukannya lain waktu?
“Tidak!” jawabku singkat.
“Bagaimana jika kita pergi makan ke restoran favoritmu?”
Aku menggeleng. Memonyongkan bibirku dan memicingkan mata padanya.
“Bagaimana?”
“Kau menyebalkan!”
Pria berambut klimis itu tertawa kecil, merebut kembali topi bowler-nya yang masih kupegang dan beranjak mengambil mantel di stand hanger.
“Ayo kita bahas lagi setelah aku pulang kerja,” sahutnya sebelum menutup pintu depan.
***
Sama seperti kemarin, aku menatap rumah bercat oranye di seberang jalan sambil menyeruput secangkir cokelat yang masih mengepulkan uap panas. Sebuah senyum miring tersungging begitu saja saat Antonie keluar dari rumah tersebut. Aku melirik jam, sudah pukul 12 malam.
“Kapan aku bisa memasak untukmu?” tanyaku setelah Antonie melepas sepatunya.
Di luar salju masih turun satu persatu, sementara angin berembus masuk dari cerobong asap, membuat api unggun bergerak-gerak.
Tanpa menjawab apa pun Antonie langsung memelukku. Menaruh cangkir cokelat yang masih berisi separuh ke meja kecil. Mengajakku untuk merebahkan diri di sofa dekat perapian.
“Seperti apa seseorang yang kau cintai itu?” tanyaku, “Apa dia wanita yang tinggal di rumah seberang jalan?”
Antonie mengangkat alis kanannya, mencubit hidungku seraya berbisik, “Aku tidak tertarik padanya.”
“Kau selalu berkunjung ke sana. Bagaimana mungkin kau tidak tertarik padanya?”
Ia mengangkat tangannya yang semula merangkulku. “Aku menemui Robert.”
“Apa masuk akal jika kau menemui karyawanmu sepulang dari kantor?”
Bola mata berwarna cokelat itu memandangiku. Wajahnya bergerak mendekat, membuat degup jantungku tak beraturan. Bibir tebalnya mendarat tepat di keningku, lantas mengecup hidungku yang mancung. Pun mataku terpejam, juga bibir yang bergetar menunggu sebuah ciuman darinya.
Hanya saja sama seperti malam-malam sebelumnya, gerakan wajahnya terhenti. Tatapannya yang hangat hanya bisa memandangi bibir tipisku, lantas ia menyandarkan kembali punggungnya ke sofa.
“Maafkan aku,” ucapnya.
Aku membuka mata perlahan. Bangkit dan berjalan ke depan jendela, menatap ke luar sambil tersenyum kecut. Mengusap-usap kedua lenganku. Cuaca malam ini ternyata lebih dingin dari yang aku perkirakan. Bahkan angin yang menerobos dari cerobong asap seperti menusuk-nusuk hingga ke tulang.
“Tidak apa. Kita bisa melakukannya lain waktu,” jawabku pelan.
***
“Kemarikan tanganmu,” ucapnya.
“Untuk apa?”
“Mana?”
Aku langsung mengulurkan tanganku padanya sambil memalingkan wajah ke arah pintu depan yang terbuka. Seketika tatapanku tertuju pada seorang gadis berambut pirang yang berdiri di seberang jalan, menatap rumahku dan jam tangannya secara bergantian.
Baru saja Antonie hendak memasangkan sesuatu, aku langsung menarik tanganku perlahan. “Aku rasa seseorang sedang menunggumu,” ucapku pelan.
Antonie melirik ke luar, lantas menghela napas. “Siapa dia?”
“Wanita yang tinggal di seberang jalan.”
“Benarkah?”
Aku mengangguk. Memilih untuk pergi ke kamar saat melihat wanita itu tersenyum padaku. Tadi kakinya berjinjit sedikit, kepalanya ditelengkan, menatap Antonie yang berdiri di sampingku. Bohong jika pria berambut hitam itu tidak mengenali wanita tersebut.
“Ada apa denganmu?” tanyanya sambil merebahkan diri di sampingku. Aku menarik selimut lebih tinggi. Memunggunginya.
“Apa kau cemburu?”
“Kau akan terlambat nanti.”
“Aku tidak mengenalnya, apalagi menyukainya.”
“Kau selalu ke rumah itu. Bagaimana bisa kau tidak mengenalnya?”
“Bukankah kau tahu kalau itu rumah Robert? Aku menemui Robert di sana.”
“Wanita itu juga tinggal di sana,” seruku pelan.
Antonie terdiam. Ia mengangkat sedikit tubuhnya. Mengecup pipiku lantas beranjak ke luar. Bersiap-siap pergi ke kantor.
***
Di luar salju masih turun seperti biasa, menutup beberapa jalan sehingga membuatku kembali lebih cepat.
Aku melepas mantel juga syal, menggantungnya di stand hanger. Kemudian memasang piringan hitam dan membuatkan minum untuk Antonie. Aku tahu dia sedang sibuk di ruang kerjanya meski libur. Bukan libur. Pekerjaannya dikerjakan di rumah untuk beberapa waktu ke depan, karena jalan menuju kantor tempatnya bekerja terpaksa diblokir akibat badai salju semalam.
Sambil sedikit berputar menikmati alunan musik dari piringan hitam aku mulai menaiki anak tangga, membawa secangkir cappuccino. Menggerak-gerakkan kepalaku dan tersenyum cerah sampai alunan musik terdengar samar di anak tangga paling atas. Lantas berjalan santai menuju ruang kerja Antonie.
Gerakan tanganku yang hendak mengetuk pintu terhenti, pun senyumku perlahan memudar. Aku mengenali suara tersebut.
“Kapan kau akan memberitahukan pada Jessi tentang hubungan kita?”
“Aku rasa sekarang bukan waktu yang tepat.”
“Tapi sampai kapan kau akan menyembunyikan semua ini darinya?”
“Aku tidak tahu. Aku… hanya tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.”
“Bukankah dia sudah tahu bahwa kau tidak pernah mencintainya?”
Lengang. Tidak ada suara sama sekali dari dalam. Aku membuka pintu perlahan, memastikan dengan mata kepalaku sendiri seseorang yang bersama Antonie.
Saat ini, aku seperti kehilangan pijakan. Bahkan setelah menikah dua tahun lamanya pria bermata cokelat itu tak pernah sekali pun mencium bibirku. Tidur bersama? Ah, itu hanya sebuah harapan yang tak pernah terwujud. Tapi sekarang… Antonie mencium seseorang tepat di depan mataku. Melepas satu per satu kancing baju kemejanya.
Prang!
Mataku terbelalak. Terkejut dengan suara cangkir yang baru saja kujatuhkan. Perlahan, kakiku mundur selangkah demi selangkah, menginjak serpihan beling yang berserakan di lantai.
“Jessi!” Pria berambut hitam itu menyusulku.
Aku berlari menuruni satu per satu anak tangga, masuk ke dalam kamar berukuran 2 x 2 meter di samping dapur.
“Lepaskan!” teriakku saat Antonie memegang kedua bahuku.
“Dengarkan aku dulu!”
“Lepaskan… aku,” ucapku sambil mengatur napas.
“Semua itu, aku, kita bisa bicarakan ini ba—”
“Tidak. Tidak ada yang perlu dibicarakan.”
Lengang. Ia tidak membantah ucapan terakhirku. Kepalanya tertunduk sekilas, lantas kembali terangkat. Mata yang berwarna cokelatnya menatap pintu yang terbuka lebar. Tanpa sepatah kata pun Antonie keluar, meninggalkanku yang hanya bisa terduduk di ranjang sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan, untuk kemudian merebahkan diri. Menatap lekat langit-langit yang tak terlalu tinggi.
“Biar aku obati kakimu,” ucap Antonie yang sudah kembali beberapa detik lalu.
Aku mengabaikannya yang sedang memegang kakiku, meletakkan tepat di lututnya. Sambil menahan perih, mataku sesekali melirik ke arah pria yang dengan telaten mengobati lukaku. Memberikan plester setelah membersihkan dan memberi obat merah.
“Pasti ini sakit,” ucapnya.
Antonie bangkit dan meletakkan kotak P3K di meja kecil samping ranjang. Tubuhnya yang tinggi mematung untuk semenit sambil memandangiku, kemudian ikut merebahkan diri.
“Maaf karena aku tak mengatakannya sejak awal,” ucapnya sekali lagi.
“Haruskah kita akhiri saja?”
“Sungguh, aku sudah berusaha semampuku untuk mencintaimu, tapi ….”
“Sejak awal aku sudah tahu ada seseorang lain di hatimu, hanya saja… dia? Astaga!” Aku menghela napas. Tidur di pelukannya sambil tetap menatap langit-langit kamar.
Tanpa berkata-kata Antonie tertawa kecil, mengusap lembut kepalaku, membuatku ikut tertawa hambar.
Aku mengangkat tangan kananku tinggi-tinggi, merentangkan semua jari lebar-lebar. “Kau seperti ini,” bisikku sambil meliriknya, “tak bisa kugapai.”
“Dan kau selalu seperti ini,” ia memelukku semakin erat, “di sisiku meski waktu terasa sulit untukmu,” lanjutnya.
Di ruang tengah musik masih mengalun dari piringan hitam yang kuputar setengah jam lalu. Kami sama-sama terdiam, memejamkan mata dan mengabaikan lampu di langit-langit kamar yang tak menyala sama sekali, juga langkah kaki yang perlahan menuruni satu per satu anak tangga, beranjak pergi dari rumah ini.
“Tapi… apa kau benar-benar mencintainya?” tanyaku memecah sunyi.
“Menurutmu?”
Aku terdiam, menghela napas sambil memandangi setiap lekuk wajahnya. “Kau bodoh!”
Antonie hanya tertawa dan mengusap lembut kepalaku. Ia tak berkomentar apa pun.
“Kau tahu?”
“Apa?”
“Aku merasa begitu gila saat ini.”
“Benarkah?”
Aku mengangguk, menggenggam tangan Antonie yang berada di bahuku, memautkan jari satu sama lain.
“Maafkan aku.”
“Ah, tidak perlu meminta maaf. Kau hanya membuatku nampak bodoh dengan mengucapkan kalimat itu berulang kali.”
“Lantas kau ingin aku mengatakan apa?”
“Apa aku benar-benar tidak menarik dibanding Robert?”
“Entahlah.” (*)
Lily Rosella, seorang gadis pencinta hujan yang lahir di Jakarta pada bulan Desember ini penyuka dongeng dan cerita-cerita bergenre fantasi juga mistis. Menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn/Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita