Suamiku Bukan Suamiku 9
Oleh: Tutukz Nury Firdaus
Kejadian tadi berlangsung begitu cepat. Permintaan Bu Sri membuat pikiranku menjadi tak keruan. Di sisi lain aku tak ingin berbagi suamiku dengan siapa pun. Tapi di sisi lain ada permintaan seorang ibu yang hampir sekarat. Ya Allah kenapa keadaannya jadi serumit ini?
Aku terbelenggu antara prinsip dan rasa kemanusiaan. Ada ketakutan dalam diriku jika suatu saat nanti berada dalam posisi yang sama dengan Bu Sri saat ini. Anakku dua-duanya juga perempuan.
Mungkin ini yang dinamakan roda kehidupan terus berputar, dulu Mas Pras terpaksa menikahiku karena tekanan dari ayahnya. Apakah sekarang aku juga harus rela berbagi suamiku dengan Lily karena permintaan ibunya?
Suara deru mobil Mas Pras menyadarkan aku dari lamunan.
“Belum tidur?” tanyanya melihatku masih duduk bersandar pada dipan di kamarku. Aku tak menjawab, hanya menatap kosong ke arah jendela.
“Kau masih kepikiran permintaan Bu Sri?” tanyanya lagi. Aku menghela napas.
“Sulit, Mas. Ini keadaan yang sangat rumit untukku.”
“Aku tau, kau tak mau dimadu. Tapi aku juga tak akan menceraikan kamu Ratih. Apa pun alasannya,” ucapnya datar.
“Lalu Lily?” tanyaku kesal.
Mas Pras meremas rambutnya dan mengusap wajahnya. “Seandainya saja aku bisa membahagiakan semua orang tanpa harus ada yang terluka,” gumamnya lirih.
Pikiranku benar-benar kalut. Apakah aku harus melanggar prinsipku untuk kebahagiaan Mas Pras dan orang lain? Ataukah aku tetap pada pada prinsipku, dan melanggar janjiku pada almarhum ayah mertuaku? Ya Allah kapankah badai ini akan berlalu?
Seharian ini kepalaku terasa berat, karena semalam aku tidak bisa tidur. Tapi bagaimanapun itu, aku harus tetap bangun pagi, untuk mengurus rumah dan menyiapkan segala keperluan Aya juga Mas Pras. Serta harus menjaga Alya, yang sedang aktif-aktifnya berjalan ke sana kemari membuat aku sedikit kewalahan. Karena teledor, Alya terjatuh di taman depan. Dia menjerit histeris, ada darah segar mengalir dari lututnya membuat aku panik.
“Kenapa Alya? Jatuh, ya?” saking paniknya aku tak menyadari kedatangan Nina.
“Iya, Nin. Tolong ambilkan kotak obat di kotak bawah yang paling kiri, di bufet yang ada ruang tamu itu,” pintaku pada Nina.
Nina segera bergegas mengambil kotak obat yang dimaksud, lalu membantuku membersihkan dan membalut luka Alya. Setelah lukanya diobati, aku menggendong Alya, berusaha menenangkannya dengan menberinya sebotol susu. Beberapa saat kemudian tangis Alya berangsur mereda dan ia pun tertidur di gendonganku.
“Kok, bisa jatuh sih, Alyanya?” tanya Nina, Aku tak menjawab hanya mengangkat bahu sebagai tanda tidak mengerti.
“Halah, paling juga kamunya ngelamun terus,” tukasnya gemas melihat reaksiku, “gimana keadaanmu sekarang? Udah baikan?”
“Alhamdulillah,” kujawab pendek saja.
“Trus Pras? Udah waras?” Nina terus mencecarku dengan pertanyaan.
“Makin parah.”
“Maksudnya?”
“Bentar ya, aku mau nidurin Alya dulu,” ucapku sambil berlalu ke kamar Alya, meninggalkan Nina duduk sendiri di beranda. Sekembalinya dari kamar aku menceritakan kejadian semalam, saat Bu Sri dan Lily datang. Nina mendengarkan dengan antusias.
“Gila bener tuh emaknya Lily, ya? Minta suami orang buat anaknya. Ya Allah, wanita macam apa dia?” seru Nina sambil geleng-geleng kepala.
“Aku bisa ngerti, Nin. Bu Sri tidak punya pilihan lain, walaupun tindakannya itu tak bisa dibenarkan juga,” ucapku datar.
“Bisa mengerti dari Hongkong? Ga, kalau aku ga bisa ngerti,” sahutnya kesal, “trus tanggapan kamu?” lanjut Nina masih mencecarku.
“Ya, aku bingung, Nin. Kamu tau kan, prinsipku aku ga mau dimadu. Tapi kalau harus bercerai, bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana dengan Ibu dan Mama? Pasti mereka kecewa padaku. Ini cukup rumit untukku. Ada banyak hati yang harus kujaga.”
“Hmm… rumit juga ya. Trus tanggapannya Pras gimana?”
“Mas Pras juga ga mau ceraikan aku, Nin. Tapi dia juga ga mau ninggalin Lily.”
“Hadeh… laki-laki mau enaknya.”
“Apa baiknya aku izinkan Mas Pras menikahi Lily, ya?” gumamku lirih, merasa putus asa.
“Apa? Ga salah denger? Kamu sakit?” seru Nina sambil meraba keningku.
“Lalu aku mesti gimana, Nina? Ayo dong kasih solusi. Jangan meledek terus, ah,” ujarku sewot, sembari menepis tangannya. Nina menghela napas dalam-dalm.
“Sulit ya, Tih. Aku paham posisi kamu. Tapi dalam kondisi ini aku ga bisa ngasih pendapat. Karena ini sudah menyangkut masalah pribadimu. Bukan ranahku lagi, baik menurutku belum tentu baik bagi kamu. Salat istikharah aja. Minta Allah pilihkan yang terbaik,” ucap Nina sambil memegang kedua tanganku. Aku hanya menghela napas.
“Kamu yang sabar ya, Tih. Semoga ada jalan keluar terbaik,” lanjut Nina dengan tatapan iba.
Obrolan kami harus terhenti, karena ada sebuah mobil berhenti di depan pagar rumahku.
“Siapa?” tanya Nina, aku tak segera menjawab.
“Pandu, orang yang nabrak aku waktu itu,” jelasku setelah melihat Pandu keluar dari Mobil. Nina ber-oh pelan.
“Assalamualaikum,” Pandu memberi salam, sambil berjalan menuju ke arah kami.
“Waalaikumsalam,” jawab kami serempak.
“Apa kabar, Mbak? Gimana udah sehat?” sapa Pandu dengan ramah.
“Alhamdulillah, kok bisa tahu rumah saya,” sahutku heran.
“Oh, waktu saya mengurus administrasi kepulangan, Mbak. Saya lihat alamatnya. Trus pas tadi cari-cari lihat Mbak dari jalan. Ketemu, deh. Kok sepi Mbak, kemana orang-orang?”
“Mas Pras belum pulang. Anak saya yang gede ke madrasah, yang kecil tidur,” jelasku pada Pandu.
Nina menyikut lenganku pelan, “Kenalin dong, masa dari tadi dicuekin,” bisiknya kesal. Aku nyengir.
“Oh ya, lupa. Kenalin, Nina sahabatku.”
“Pandu,” ucap Pandu sambil mengulurkan tangan kepada Nina.
“Kayaknya kenal deh, tapi dimana ya?” ucap Nina sambil menerawang.
“O ya? Dimana, Mbak?” tanya Pandu penasaran.
“Di TV,” Pandu mengernyitkan dahinya. “Habisnya mirip Lee Min Ho, sih” lanjut Nina sambil nyengir lebar. Sontak aku dan Pandu tertawa.
“Oh ya, Mbak, sampai lupa. Aku bawa es pisang ijo di mobil. Entar aku ambil.” Pandu berlalu menuju mobilnya.
Nina segera mengambil alih bungkusan kresek yang berisi lima gelas es dari tangan Pandu. Dia membuka satu setelah meminta ijinku dan segera mencicipinya.
“Kok, rasanya gini, ya,” ucap Nina dengan tengil.
“Kenapa, Mbak? Ga enak, ya?” Pandu gelagapan melihat reaksi Nina ketika mencicipi es pisang ijo yang dia bawa.
“Rasanya lain,” lanjut Nina menegaskan.
“Lain gimana, Nin?” tanyaku penasaran, aku pun segera mencicipinya juga.
“Lain kalau dibawain orang ganteng,” ucap Nina sambil terkekeh, yang membuat aku dan Pandu lagi-lagi tegelak melihat tingkahnya.
Kami bertiga bercengkerama dengan akrab. Pandu orang yang supel, dia bisa dengan cepat akrab dengan orang yang baru dikenal. Kehadiran Nina dan Pandu membuat soreku terasa lebih ceria. Melupakan sejenak masalah yang sedang aku hadapi. Kali ini Pandu banyak bercerita tentang siswa badungnya, yang selalu ditanggapi tengil oleh Nina. Aku hanya sesekali menimpali saja, sambil menikmati es pisang ijo yang dibawakan Pandu.
Mobil Mas Pras memasuki halaman, diikuti dengan motor Vario putih yang dikendarai oleh seorang wanita. Setelah wanita itu melepas helm yang dikenakannya, baru aku tahu, dia adalah Lily.
“Siapa dia?” tanya Nina setengah berbisik.
“Lily,” bisikku pada Nina.
“Huh,” Nina mendengus kesal. Aku menghela napas. Nina menyikutku pelan sambil melirik ke arah Pandu, yang memandang Lily tak berkedip.
Lily bergegas menuju beranda, di mana kami bertiga bercengkerama. Sedangkan Mas Pras masih sibuk memasukkan mobilnya ke garasi samping. Lily menyunggingkan senyum manisnya.
“Ini Lily ya, yang dulu masuk tim cheerleaders di SMA Tunas Harapan,” ucap Pandu memastikan.
“Iya… ini Kak Pandu, ya. Ketua tim basket yang menjadi incaran cewek-cewek,” sahut Lily antusias. Aku masih diam melihat ekspresi gembira mereka berdua setelah sekian lama tak bertemu.
“Hmm, ternyata dunia ini sesempit daun katu, ya,” ujar Nina dengan tengil membuat Pandu dan Lily menghentikan obrolan mereka. Lily memandang Nina kemudian tersenyum.
“Kenalin, Nina sahabat Ratih. Ini Mbak Lily, ya,” Nina memperkenalkan dirinya sendiri, “cantik, semoga hatinya juga cantik,” lanjut Nina ketus.
“Ih, Mbak Nina bercanda terus dari tadi,” Pandu menengahi, “jangan dimasukin dalam hati, Mbak Nina emang gitu orangnya,” jelas Pandu pada Lily. Lily tersenyum canggung.
“O ya, minta no WA-nya dong. Nanti aku masukin ke grup alumni SMA,” ucap Pandu dengan riang.
Pandu dan Lily mengobrol dengan asik bernostalgia tentang masa-masa sekolahnya, sedangkan aku dan Nina hanya diam saja memerhatikan mereka berdua.
“Ehem… ehemmm,” Mas Pras berdeham. Ia berdiri dengan melipat tangan di dada dan memandang sinis ke arah Lily dan Pandu, membuat Lily jadi salah tingkah.
“Wah, kelihatannya seru, nih ngobrolnya,” seru Mas Pras ketus, kemudian dia beralih memandang Nina, “Nin, udah dari tadi?” sapa Mas Pras pada Nina.
“Ya, lumayan sih,” jawab Nina datar.
“Dan….” Mas Pras menoleh ke arah Pandu.
“Barusan aja kok, Mas,” sahut Pandu kikuk, seolah mengerti maksud pandangan Mas Pras.
HP Nina bergetar. Ada pesan masuk, Nina segera membukanya.
“Ehm… kayaknya saya balik dulu, deh. Udah dijemput sama suami,” ujar Nina sambil memasukkan HP ke dalam tasnya. Aku mengantar Nina sampai depan pintu pagar.
“Inget, ya, kamu ga boleh gegabah menghadapi Lily. Kamu harus kuat. Rival kamu berat, lho,” bisik Nina padaku. Aku hanya mengangguk tanda mengerti. Kemudian Nina pergi setelah suaminya datang menjemputnya.
“Mbak, aku pamit juga, deh,” Pandu menyusul pamit pulang.
“Lho, mau pulang juga. Buru-buru amat, sih,” sahutku basa-basi.
“Udah sore, waktunya jemput Farel. Lily aku duluan, ya. Mari, Mbak, Mas.” Pandu berlalu setelah berpamitan.
***
Kini tinggal aku, Lily dan Mas Pras.
Hening.
“Bagaimana Ibumu?” tanyaku pada Lily memecah keheningan.
“Ibu, masih dirawat,” jawab Lily gugup.
“Lalu? Ngapain ke sini. Harusnya kamu jaga ibumu. Bukan kelayapan ke rumah orang.”
“Aku ada perlu sama Mbak.”
“Cepat katakan aku tak punya waktu banyak.”
“Aku harap Mbak Ratih ga usah menghiraukan permintaan Ibu.”
“Manis sekali caramu. Kau bawa ibumu kemari, meminta suamiku, lalu kau datang dan bilang padaku untuk tidak menghiraukan kata-kata ibumu.”
“Ratih…,” Mas Pras mendesis.
“Mengapa Mas, kamu marah? Takut wanitamu tersakiti?” sinisku pada Mas Pras. “Sekarang saatnya Mas, kamu pilih aku dan anak-anak. Atau dia? Tidak sulit, kan? Tinggal bilang,” ucapku datar nyaris tanpa ekspresi. Aku sudah lelah dengan keadaan ini.
“Mbak, aku mohon. Aku tidak mau Mbak sama Mas Pras berpisah. Aku mohon,” ada kesungguhan yang terpancar dari tatapan mata bulatnya. Namun, kata-katanya tak juga bisa meredakan lecutan emosiku yang kian tak terkendali.
“Kamu ingin aku tak berpisah? Tapi kamu selalu hadir di tengah-tengah kami. Jika kamu memang tidak ingin aku pisah, tinggalkan suamiku. Mudah, kan? Tapi ya, itu kalau kamu sebaik omonganmu, kalau enggak ya…,” aku menggantung kalimatku.
“Ratih! Jaga batasanmu!” desis Mas Pras geram.
“Baiklah, jika begitu tolong bilang juga sama suami Mbak, jangan pernah menghubungi saya lagi. Dan berhenti mengejar-ngejar saya,” seru Lily dengan suara parau menahan tangis.
Setengah berlari dia menuju sepeda Varionya yang terparkir di halaman. Mas Pras mengejar, mencoba menahannya tapi tak berhasil. Lily pergi tanpa sedikitpun menggubris kata-katanya.
Wajahku seketika terasa kebas mendengar kata-kata Lily. Benar, dari tadi atau bahkan dari kemarin-kemarin aku hanya menyalahkannya. Menganggap Lily sebagai wanita penggoda. Aku lupa, bahwa perselingkuhan itu terjadi karena dua pihak saling membuka diri, memberi kesempatan dan memberikan hatinya untuk orang yang tidak semestinya.
“Ratih kau benar-benar keterlaluan,” ucap Mas Pras geram, “Lily kesini baik-baik, dia meminta kamu untuk tidak menuruti permintaan ibunya. Karena dia menghormati kamu sebagai istriku. Tapi kamu malah menghinanya.” Mas Pras berkata dengan nada marah. Ia berlalu ke kamar Alya yang terdengar menangis karena terbangun dari tidurnya.
“Kenapa lutut Alya?” tanyanya sambil menggendong Alya.
“Jatuh,” kujawab pendek saja, malas berdebat lagi.
“Kok bisa jatuh? Karena keasyikan ngobrol dengan Pandu?” tuduhnya padaku, membuat emosiku naik lagi. Aku lupa ada Alya di antara kami saat ini.
“Ga usah bawa-bawa Pandu.”
“Kenapa, gak terima?”
“Iyalah. Kami memang tidak ada hubungan apa-apa, beda sama kamu.”
“Siapa yang tau. Kalau dia laki-laki yang baik dia harusnya tau, tidak boleh mengunjungi istri orang jika suaminya tidak di rumah.”
“Hmm, kau benar. Jika wanitamu itu memang wanita baik-baik, dia tidak akan menggunakan ibunya untuk meminta suami orang.”
“Kau dibutakan oleh rasa kebencian Ratih.”
“Kau juga dibutakan cintamu.”
“Kau tau, kalau bukan karena Ibu dan anak-anak aku pasti sudah….”
“Sudah apa?” Suara Ibu menghentikan perdebatan sengit kami. Aku tidak tahu sudah berapa lama Ibu berdiri di pintu memerhatikan kami.
Bersambung….
Tutukz Nury Firdaus, lahir di Banyuwangi. Ibu beranak dua ini adalah seorang guru yang saat ini aktif mengajar di pulau antah berantah. Dia menulis, untuk membunuh rasa sepinya yang harus hidup sendiri tanpa anak dan suami di tempat tugas.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita