Suamiku Bukan Suamiku (episode 8)

Suamiku Bukan Suamiku (episode 8)

Suamiku Bukan Suamiku 8

Oleh: Tutukz Nury Firdaus

“Assalamualaikum,” suara orang yang datang membuyarkan lamunanku.

“Waalaikumsalam,” aku dan Mas Pras menjawab serempak. Mas Pras tersenyum kecut melihat orang yang baru saja masuk ke ruanganku. Pandu datang bersama seorang anak laki-laki gemuk dengan usia sekitar lima tahunan.

“Itu Om Pras, dan yang berbaring di situ Tante Ratih. Salim dulu, gih,” Pandu bicara lembut pada anak laki-laki yang datang bersamanya.

Anak laki-laki itu menghampiri Mas Pras untuk bersalaman kemudian menghampiriku.

“Namanya siapa, Sayang?” tanyaku sambil menyambut uluran tangannya.

“Falel,” sahutnya

“Farel, Tante,” Pandu menirukan ucapan anak lelaki itu sambil menyalami Mas Pras.

“Farel ini anakku yang kuceritakan kapan hari. O ya, anak Mbak berapa?” tanyanya padaku.

“Dua cewek semua.”

“Pasti cantik kayak mamanya, ya,” ucap Pandu sambil duduk di sofa memangku anak lelakinya.

“Iyalah, masa kayak tetangga,” sela Mas Pras dengan sinis, yang justru membuat Pandu tergelak.

“Kalau menurut mitos di keluargaku ya, Mbak,  jika anak pertama laki-laki berarti cinta suami lebih besar daripada istrinya. Begitupun sebaliknya, kalau anak pertama perempuan berarti cinta istri lebih besar daripada suaminya,” jelas Pandu.

“O ya? Baru tau, nih,” ucap Mas Pras, mengerling sekaligus tersenyum simpul kepadaku sebagai tanda kemenangan.

“Untung cuma mitos, ya,” ucapku berusaha menyanggah pernyataan Pandu.

“He… iya, tapi biasanya bener lo, Mbak” Pandu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Ooo… iya kayaknya banyak benernya itu,” ucap Mas Pras dengan angkuh membuat aku menjadi jengah.

“Tante Latih,” Farel yang dari tadi hanya bengong menonton televisi yang terpasang di dinding kamarku, menyela pembicaraan kami dengan wajah agak ketakutan.

“Iya, Sayang. Ada apa?”

“Jangan lapolin Ayah Falel ke Pak Polisi. Nanti Ayah Falel di penjala. Telus Falel tinggal sama siapa?” ucapnya dengan cadel.

“Farel. Sini, Sayang.” Aku melambaikan tangan padanya agar mendekat.

“Buat apa Tante lapor polisi?”

“Kan, ayah Falel dah nablak Tante,” sahutnya dengan raut wajah sendu.

“Itu bukan sebuah kesengajaan dan lagian Tante juga salah kok, Tante kurang hati-hati. Udah, Farel ga usah mikir macem-macem. Besok Tante dah pulang, kok.” Farel menarik napas lega.

Farel anak yang lucu. Pipinya tembam, bibirnya mungil, matanya sipit khas wajah oriental. Dia juga termasuk anak yang kritis untuk anak seusianya. Kehadiran Farel dan Pandu membuat ketegangan antara aku dan Mas Pras sedikit mencair.

Setengah jam berlalu, Farel mulai terlihat bosan.

“Ayah, ayo pulang katanya mau beli es klim,” rengek Farel sambil menarik tangan ayahnya.

“Iya, Ayah pamit dulu sama Om dan Tante,” ucap Pandu pada anaknya. Farel mengerti maksud ucapan Pandu, dia segera bersalaman dulu padaku dan Mas Pras.

“O ya Mbak, besok pulang jam berapa? Biar aku urus semuanya.”

“Ga usah repot, ya. Ratih masih ada saya, suaminya. Saya bisa urus semuanya,” ucap Mas Pras pada Pandu yang terkesan angkuh. Pandu menautkan kedua alisnya melihat reaksi Mas Pras.

“Eh… iya sebentar, Nak,” kata Pandu pada Farel yang dari tadi sudah menarik-narik tangannya mengajak keluar. “Saya pulang dulu ya Mbak, Mas. Sampai ketemu besok.”

Aku hanya merespon ucapan Pandu dengan senyuman. Pandu dan Farel berlalu dari ruang rawatku.

“Ow… nampaknya ada yang senang, nih,” sindir Mas Pras padaku. Aku tak menjawabnya. Hanya mengangkat bahu dan tersenyum simpul. Entah ini hanya perasaanku atau memang benar adanya, setiap Pandu datang, Mas Pras berubah menjadi laki-laki yang paling menyebalkan.

***

Pagi ini aku sangat bahagia, karena bisa pulang ke rumah. Jenuh rasanya setelah lebih satu minggu berada di ruangan ini. Ingin segera sampai di rumah, bertemu Aya dan Alya.

Seorang dokter dan seorang perawat masuk ruanganku untuk melakukan pemeriksaan terakhir. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, dokter dan seorang perawat itu pergi.  Beberapa saat kemudian perawat itu kembali dengan membawa sekantong kresek obat. Dia menjelaskan bagaimana aku harus meminum obat itu, lalu ia membuka jarum infus di tanganku.

“Bapak bisa mengurus administrasi kepulangan Ibu sekarang,” ucap perawat itu kepada Mas Pras. Mas Pras mengangguk tanda mengerti. Perawat itu berlalu. Mas Pras memintaku untuk menunggu sebentar. Belum sempat Mas Pras keluar ruangan, Pandu muncul dari arah pintu.

“Aku sudah urus semuanya,” ucap Pandu dengan semringah.

“Apa?” Mas Pras mendesis.

“Terima kasih, maaf sudah merepotkan,” sahutku basa-basi.

“Tidak apa-apa, Mbak. Ini sudah menjadi tanggung jawab saya, sebagai bentuk permintaan maaf. Sekali lagi saya mohon maaf ya, Mbak,” ucap Pandu dengan tulus.

“Ish…,” lagi-lagi Mas Pras tidak menjawab hanya mendesis pelan.

“Maaf saya tak bisa lama-lama masih ada tugas mengajar.”

“Oh, iya. Silakan kalau mau pergi,” ucap Mas Pras ketus. Pandu mengernyitkan dahi, mungkin dia merasa terusir.

“Kan, kasian muridnya kalau harus nunggu,” lanjut Mas Pras menetralisir keadaan.

“Mbak, boleh saya minta nomor HP-nya?” tanya Pandu sambil mengeluarkan smartphone-nya dari saku celana.

“Ini nomor HP saya saja. Ratih jarang-jarang pegang HP,” Mas Pras menyela sebelum aku sempat memberi nomor HP-ku kepada Pandu.

Pandu pamit setelah mencatat nomor HP Mas Pras. Aku dan Mas Pras segera meninggalkan rumah sakit. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan kedua buah hatiku, Aya dan Alya.

***

Satu minggu berlalu. Keadaanku semakin membaik. Keluargaku kembali normal seperti sedia kala. Aku merenungi kejadian yang aku alami beberapa bulan terkahir. Ah, betapa banyak sekali yang telah aku lalui. Mulai dari kehadiran Lily, kecelakaan, dan kecemburuan Mas Pras pada Pandu yang tidak beralasan.

“Ratih, ayo masuk. Angin malam tidak bagus buat kesehatanmu,” suara Mas Pras dari arah pintu mengejutkanku.

“Mas sekarang jadi perhatian ya, tidak seperti dulu. Dulu Mas dingin, cuek padaku,” sahutku tanpa menoleh ke arahnya.

“Kau suka? Bukankah itu yang kau harapakan?” tanyanya mencibir sambil duduk di kursi taman berseberangan denganku.

“Tentu, hanya saja…,” aku menggantung kalimatku.

“Hanya apa?”

“Rasanya hambar.” Mas Pras menghela napas.

“Karena ada Pandu?”

“Tidak usah bawa-bawa Pandu.”

“Kenapa?” tanyanya sinis.

“Kau kira aku bodoh, Pandu meminta nomor HP-mu. Untung, aku pintar. Kuberi saja nomor HP-ku,” kilahnya, “biasanya dari SMS basa-basi, teleponan, ketemuan dan keterusan deh.”

“Oh… pengalaman, ya?” aku terkekeh. “Jadi ceritamu dengan Lele ups maksudku Lily seperti itu.”

“Aku dan kamu beda.”

“Jelaslah….”

“Laki-laki bisa menikah lebih dari satu kali, dan aku rasa kau juga tahu itu,” Mas Pras berseru ketus.

“Tau,” jawabku pendek.

“Tapi kau tidak mengijinkan.”

“Siapa bilang?”

“Menikahlah seribu kali kalau perlu, tapi ceraikan aku dulu,” ucapku dengan menatapnya tajam.

“Apakah keputusanmu tidak berubah?”

“Tergantung.”

“Tergantung apa?”

“Tergantung situasi dan kondisi”

“Misalnya?”

“Aku yang akan mencarikan istri untukmu.”

“Sungguh?”

“Ya, asal sesuai kriterianya menurutku,” ucapku datar. Karena aku memang tak bersungguh-sunguh dengan ucapanku.

“Misalnya?” Mas Pras membenahi posisi duduknya.

“Cantik, pintar, penyayang, disukai anak-anak dan cocok denganku.”

“Lily?” ah… dia mengajukan nama itu lagi.

“Cantik iya, pintar juga mungkin iya, tapi belum tentu disukai anak-anak,” kilahku.

“Alasan,” ujarnya kesal, aku terkekeh.

“Wanita yang mengerti hukum agama tak akan melarang suaminya menikah lagi,” ucapnya sengit.

“Laki-laki yang taat agama akan menundukkan pandangannya dari wanita yang bukan mahramnya,” sahutku tak kalah sengit.

Suara derit pintu pagar menghentikan perdebatanku dengan Mas Pras. Wanita setengah baya seumuran ibuku memasuki halaman. Diikuti seseorang yang sangat aku kenal. Dia adalah Lily. Ya Allah… mau apa wanita itu kemari, dan siapa wanita setengah baya itu?

Mas Pras segera beranjak dari kursi dan menyambut tamu yang datang, sedangkan aku hanya diam saja. Suasana hatiku tiba-tiba menjadi tidak enak.

Mas Pras mempersilakan tamunya masuk ke ruang tamu. Aku masih saja bergeming di kursi taman. Menata hati dan emosi, sebelum aku menemui tamu itu. Membaca istigfar, dan menarik napas dalam-dalam supaya sedikit lebih tenang.

Setelah aku rasa cukup menguasai diri, segera kutemui tamu Mas Pras, bersalaman dan berbasa-basi sebentar lalu aku menuju ke belakang membuatkan minum dan mengambilkan suguhan. Ternyata wanita setengah baya itu adalah ibu Lily namanya Bu Sri.

“Kok, repot-repot, Nak. Ibu ke sini ada perlu sama kamu dan Nak Pras,” ucap Ibu Sri sambil terbatuk-batuk ketika aku meyuguhkan teh dan kudapan. Lily memegang tangan ibunya dan menggeleng mencegah Bu Sri untuk bicara. Namun Bu Sri menepis tangan Lily dengan lembut.

Aku menatap Bu Sri lamat-lamat. Kulitnya pucat, tatapannya sayu, matanya cekung dan tubuhnya sangat kurus. Terlihat ringkih, dia juga sering batuk-batuk.

“Nak, sejak kecil Lily hanya hidup berdua dengan Ibu. Dan sekarang Ibu sakit-sakitan.” Dia berhenti sejenak dan memberiku sebuah amplop besar dan sebuah amplop kecil hasil pemeriksaan dari rumah sakit.

Amplop besar itu berisi foto rontgen atas nama Bu Sri. Aku tidak bisa menerjemahkan kelainan yang ada dalam foto tersebut. Aku beralih pada amplop yang lebih kecil. Aku baca perlahan. Di situ tertera bahwa pasien mengalami kanker paru-paru stadium lanjut. Aku menarik napas dalam-dalam. Meletakkan amplop kedua di meja.

“Nak, Ibu tau waktu Ibu tidak banyak lagi. Maka dari itu sebelum Ibu menghadap Ilahi, Ibu ingin melihat anak ibu satu-satunya ini bahagia. Ada yang menjaganya.” Bu Sri terbatuk lagi. Suaranya semakin serak. Aku masih diam saja, sedangkan Lily terisak.

“Bu, jangan. Aku mohon, Bu,” pinta Lily di antara isaknya. Ibunya tetap tidak menghiraukan.

“Untuk itu Nak, Ibu mohon kerendahan hatimu untuk mengijinkan Lily menjadi istri kedua Pras.” Bagai tersambar petir aku mendengar kata-kata yang baru Bu Sri ucapkan. Kepalaku menjadi pusing.

“Ibu tahu ini pasti menyakitkan buat kamu, Nak. Tapi Ibu sudah tak punya pilihan lain. Ibu yakin kau bisa memahami posisi Ibu, karena kamu juga seorang Ibu.” Bu Sri terbatuk lagi.

“Bu, bagaimana jika posisinya terbalik. Jika saya meminta suami anak Ibu untuk menikahi saya, apa kira-kira Ibu mengijinkannya? Saya juga punya seorang Ibu. Bagaimana perasaan Ibu saya nanti? Bagaimana perasaan kedua anak saya melihat ayahnya menikah lagi. Apa Ibu juga memikirkan itu?” ujarku setengah emosi. Aku mulai naik pitam, setelah mendengar permintaan Bu Sri yang tak masuk akal.

“Nak, tolonglah. Ibu mohon.” Tiba-tiba saja Bu Sri berlutut di hadapanku. Menggenggam kedua tanganku dan menatapku dengan mata sayunya penuh harap. Aku tercekat melihat kelakuan Bu Sri. Aku memandang Mas Pras yang duduk di sampingku. Berharap dia melakukan sesuatu untuk meolongku. Tapi Nihil. Dia bergeming dengan kepala tertunduk.

Bu Sri batuk-batuk lagi, kali ini batuknya lama, dan aku lihat ada percikan darah di sapu tangan Bu Sri yang digunakan untuk menutup mulutnya saat batuk. Sesaat kemudian Bu Sri pingsan.

Aku jadi panik, takut terjadi apa-apa pada Bu Sri. Lily histeris melihat ibunya lunglai tak berdaya, wajah Bu Sri semakin pucat. Mas Pras segera membopong tubuh Bu Sri ke mobil.

“Ratih, aku ke rumah sakit dulu,” ujar Mas Pras panik. Aku hanya mengangguk saja. Tak tahu harus berkata apa.

Bersambung….

Tutukz Nury Firdaus, lahir di Banyuwangi. Ibu beranak dua ini adalah seorang guru yang saat ini aktif mengajar di pulau antah berantah. Dia menulis, untuk membunuh rasa sepinya yang harus hidup sendiri tanpa anak dan suami di tempat tugas.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita