Suamiku Bukan Suamiku (episode 3)

Suamiku Bukan Suamiku (episode 3)

Suamiku Bukan Suamiku 3

Oleh: Tutukz Nury Firdaus

“Masa sih, Pras, orang yang alim itu bisa selingkuh?” Nina bicara pada dirinya sendiri sambil menggaruk kepala yang—aku yakin—tidak gatal.

“Coba ceritain, deh. Kenapa kamu bisa ambil kesimpulan kalau Pras punya wanita idaman lain,” lanjutnya.

Aku mulai menceritakan awal mula permasalahanku dengan Mas Pras. Mulai dengan handphone baru, kebiasaannya yang suka menyendiri, hingga pertengkaran semalam. Nina mendengarkan ceritaku dengan antusias dan tidak menyela sedikit pun. Hanya sesekali dia manggut-manggut, kadang terlihat kebingungan dan mengernyitkan dahinya, kadang dia tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

“Begitulah, Nin. Aku bingung harus gimana. Di sisi lain aku udah gak tahan dengan kelakuan Mas Pras. Dia udah mengkhianati kepercayaan aku. Tapi di sisi lain aku juga gak mau berpisah. Kalau kami pisah, gimana nasib anak-anakku nanti. Gimana omongan orang-orang terhadapku. Aku gak mau jadi janda, Nin,” aku mengakhiri ceritaku dengan deraian air mata. Nina menghela napas, lalu memelukku.

“Aku turut prihatin atas apa yang menimpa keluarga kamu, Ratih. Sabar, ya.”

“Lalu aku harus gimana, Nin?” tanyaku pada Nina sambil melepaskan pelukannya. Nina memberikan selembar tisu untuk.menghapus air mataku.

Dia menghela napas sekali lagi. “Kamu tahu siapa perempuan itu?”

“Namanya Lily. Mas Pras bilang dia temen kantornya.”

“Kamu tahu dia seperti apa?” Nina mulai penasaran seperti apa perempuan itu.

Aku menggeleng. “Makanya aku ingin menemuinya, aku ingin melabraknya. Perempuan penggoda seperti dia harus diberi pelajaran. Akan aku permaluin dia di kantornya,” ucapku berapi-api. Rasa cemburu sudah membakar akal sehatku.

Nina tertawa mendengar ucapanku. “Apa? Mau melabraknya?”

“Iyalah. Dia gangguin suamiku. Ayah dari anak-anakku. Membuat rumahku seperti di neraka. Apa gak boleh kalau aku memberi dia pelajaran?”

“Jangan. Gak usah.” Aku cukup terkejut mendengar jawaban Nina.

“Kok gitu? Emang kenapa?” tanyaku keheranan melihat reaksinya yang ternyata di luar dugaanku. Aku pikir Nina akan mendukung langkahku, karena dia sahabat yang paling mengerti aku.

“Janganlah. Gak usah main labrak kayak gitu. Iya, kalau bener mereka ada hubungan. Kalau enggak, gimana?”

“Kenapa sih, kamu malah belain perempuan sialan itu. Aneh.” Aku mulai emosi.

“Aku gak belain dia. Cuma cara kamu itu norak. Kampungan.” Aku terhenyak mendengar kata-kata Nina.

Norak? Kampungan? Bisa-bisanya Nina berkata seperti itu. Mungkin karena dia tidak ada di posisiku. Dia tidak tahu sakitnya dikhianati. Atau jangan-jangan selama ini dia sudah tahu bahwa Mas Pras punya wanita idaman lain. Atau mungkin Nina kenal dengan perempuan itu?

Aku mendengus kesal, tak dapat menyembunyikan raut kekecewaan mendengar pendapat Nina.

“Kekerasan gak akan nyelesaiin masalah. Kamu pikir deh, Ratih. Dengan kamu melabrak dia, mempermalukan dia, justru itu malah mempermalukan diri kamu sendiri. Apa kata orang? ‘Oh… pantas Pak Pras selingkuh, lah wong istrinya kayak gitu’. Justru mereka maklum, bukannya simpati sama kamu. Dan kamu malah memantaskan diri kamu sendiri untuk ditinggalkan oleh Pras,” Nina berucap dengan mimik muka yang serius. Sedangkan aku berusaha mencerna setiap kalimat yang dikatakan Nina.

“Lagi pula apa bener Pras selingkuh sama dia? Belum ada bukti, kan? Yang kamu tahu Pras cinta sama dia. Dia? Belum tentu. Pras hanya gila di telepon, kan? Dia masih pulang tepat waktu. Masih di rumah,” lanjut Nina.

“Tapi dia gak peduli sama aku, Nin ….” aku mencoba membela diriku.

“Bukannya dari dulu emang begitu. Kenapa kamu baru permasalahinnya sekarang? Kenapa gak dari dulu-dulu?” pertanyaan Nina membungkam mulutku.

Benar kata Nina, kenapa baru sekarang aku mempermasalahkan sikap Mas Pras yang dingin padaku. Apa karena ada Lily sehingga aku merasa posisiku terancam? Atau karena tidak ada lagi Ayah Mertua yang akan selalu menjadi garda andalanku. Atau bisa jadi karena dua-duanya.

“Aku tahu cerita kamu sama Pras dari awal. Kenapa kamu gak coba rebut hati Pras dari dulu. Kenapa baru sekarang kamu heboh. Aku udah ingatin kamu dari dulu ‘kan, untuk berusaha mengambil hatinya Pras. Tapi apa? Kamu bilang, gengsilah, ga pentinglah, apalah. Udah tahu Pras nikah sama kamu karena nurutin kehendak orang tuanya. Kamu ‘kan, yang cinta setengah mati sama dia. Gimana dia bisa cinta dan sayang sama kamu kalau kamu sendiri gak berusaha numbuhki cinta itu.”

Aku tidak menjawab kata-kata Nina. Dalam hati, aku membenarkan ucapan Nina. Selama ini aku terlena dengan statusku sebagai istri sah Mas Pras. Aku merasa selalu aman karena mertuaku selalu mendukungku. Dan aku merasa kuat karena telah hadir dua gadis kecil di tengah-tengah kami.

“Herannya aku sama kamu, lagi, ya, kok bisa pakai acara gengsi segala. Itu cinta apa ambisi, sih. Karena ambisi kamu untuk menjadi istri Pras sudah tercapai, jadi kamu acuh pada apa pun yang Pras butuhkan. Dia butuh teman, dia butuh sahabat, dia sudah bilang itu, kan? Jika kamu sebagai istrinya gak bisa menjadi sahabat, wajar, bukan, dia cari sahabat lain di luar? Iya, kalau sahabat, kalau keterusan sama yang lain-lain gimana coba? Pras itu ganteng loh, baik, mapan pula. Banyak wanita di luaran sana yang siap menggantikan posisi kamu sekarang,” kali ini ucapan Nina menghujam ulu hatiku.

Ambisi? Benarkah aku hanya berambisi memiliki Mas Pras? Bukan cinta, tapi ambisi.

“Ratih, cobalah buang segala ego dan pikiran negatif kamu itu. Buang jauh-jauh. Jadi sahabat untuk dia. Demi anak-anak kamu. Pras itu orang yang baik, akan mudah bagi kamu mengambil hatinya. Kamu tiap hari bersama dia, ada anak-anak di antara kalian, juga ada restu orang tua dan Tuhan. Percayalah semua akan baik-baik saja. Kuncinya adalah kamu mengalah dan mau berubah.”

“Tapi, Nin. Aku penasaran sama Lily. Seperti apa sih perempuan yang membuat Mas Pras jatuh hati?”

“Aku juga penasaran. Kita harus temui dia, tapi nanti. Ganti dulu gamis kamu yang udah usang ini. Malu-maluin aja, mau ke kantor Pras pakai baju ginian. Ih… ogah aku jalan bareng sama kamu.” Tawa kami pecah, ketika Nina menunjukkan ada yang bolong pada gamis yang kupakai—pas pada jahitan di bagian pinggang.

***

Pertemuanku dengan Nina hari ini benar-benar membuka mata hatiku. Aku mengurungkan niatku untuk pergi ke kantor Mas Pras. Benar kata Nina, aku harus berubah, harus memperbaiki diri menjadi lebih baik. Aku istri Mas Pras yang sah secara hukum dan agama. Tak peduli bagaimana awalnya cerita kami. Ada beribu-ribu hari yang kami lalui bersama. Mengapa aku tak bisa menumbuhkan rasa cinta di hati Mas Pras. Betapa bodohnya aku.

Aku harus berubah. Kata-kata itu terus aku ucapkan berulang-ulang agar tertanam kuat di alam bawah sadarku. Kali ini harus kutekan rasa ego dan gengsiku. Tidak ada yang dapat menyelamatkan keluargaku kecuali aku. Demi Aya dan Alya. Seperti pesan Nina sebelum aku pulang diantar oleh sopir pribadinya.

“Ingat ya, kamu harus sebisa mungkin mengalihkan perhatian Pras dari handphone-nya.”

“Caranya?”

“Ya, ampun. Masa gitu aja mesti diajarin, sih.” Nina menepuk dahinya. “Pakai dong otak kamu. Bisa pakai Alya atau Aya, kan?”

“Eum… oke.”

“Terus, satu lagi, gak boleh gampang emosi saat ngehadapin Pras. Sesabar-sabarnya pria, emosinya akan melonjak jika kita lawan secara frontal. Jadi kalau kamu gak bisa ngendaliin emosi kamu, mending istigfar atau menjauh dari dia. Oke? Kalau pengen curhat telepon aku aja, ya. Kamu gak perlu ke sini. Kalau aku gak sibuk aku ke rumah kamu deh, kasian Alya.”

Beruntung aku memiliki sahabat seperti Nina, dia selalu ada di saat aku membutuhkannya.

***

Aya sudah pulang dari Yogyakarta karena liburan sekolahnya tinggal dua hari lagi. Untuk sementara Mas Pras lumayan banyak menghabiskan waktunya bersama Aya. Mungkin dia kangen pada putri sulungnya setelah terpisah satu minggu lamanya. Ini kesempatan untuk menyelamatkan biduk rumah tanggaku.

Sore ini terasa sangat panas, karena memang musim kemarau panjang sedang melanda desa kami. Kulihat Aya sedang berceloteh riang tentang liburannya di Yogyakarta, sedangkan Mas Pras memerhatikannya dengan antusias.

“Taklukkan laki-laki lewat perut,” tiba-tiba saja aku ingat pesan ibuku.

Kenapa tidak?

Aku segera menuju dapur membuat jus alpukat kesukaan Mas Pras dan Aya. Dengan sedikit hiasan susu cokelat aku suguhkan jus buatanku, dan kali ini aku tak langsung pergi begitu saja seperti kebiasaanku yang sudah-sudah—ketika menyuguhkan makanan. Aku duduk di samping Mas Pras dan tak lupa memasang ekspresi wajah manis. Aya langsung menyambar gelas jus alpukat itu.

“Gimana, enak?” tanyaku pada Aya.

“Hmm… enak banget. Papa coba deh. Beneran enak, loh, Pah. Seger.” Mimik muka Aya menggoda Mas Pras untuk mencoba jus alpukat buatanku. Ia mengangkat gelas dengan ragu, kemudian menyeruput jus dengan sedotan yang tersedia.

Aku menunggu komentar dari Mas Pras.

“Gimana, Mas?”

“Lumayan,” ucapnya sambil mengangkat salah satu alisnya. Aku tersenyum genit padanya. Dia terlihat sedikit keheranan melihat sikapku.

“Kalau gitu, sekarang Mama mau buat puding semangka.”

“Horeee…! Aya suka, Ma. Ayo cepat, Ma. Aya udah lama gak makan puding buatan Mama.”

Aku segera melangkah ke dapur, tapi kusempatkan mengintip aktivitas Mas Pras dari balik pintu. Dia mulai mengotak-atik handphone lagi. Aku harus putar otak bagaimana caranya agar dia lupa dengan handphone-nya itu. Aku punya ide!

“Mas… Mas… sini deh.” aku memanggil Mas Pras untuk ke dapur

“Iya,” jawabnya dari luar. Ia datang dengan tatapan penuh tanya. “Ada apa sih?”

“Bantuin?” Aku memasang wajah manja.

“Bantuin apa?” tanyanya lagi.

“Cariin resep puding semangka. Aku lupa. Please ….” Aku bergaya memelas, tak lupa memasang senyum manis sembari menangkupkan kedua tanganku, memohon. Dia tersenyum tipis.

Hatiku rasanya ingin melompat keluar melihat senyum manisnya itu. Dia mulai mengotak-atik handphone-nya kembali, tak lama kemudian ia menyondorkan handphone-nya.

“Nih, baca,” ucapnya.

Aku cemberut manja. “Mana bisa baca sambil masak. Gak konsen. Bacain dong,” pintaku padanya.

Dia membaca resep yang tertera di handphone-nya—masih—dengan ekspresi yang sama. Cuek. Tapi minimal aku sudah mulai berinteraksi dengannya, dan ada respons positif.

Di tengah keasyikanku memasak bersama Mas Pras. Alya terbangun dari tidurnya. Seperti biasa dia menangis mau minum susu. Aku membuatkannya susu formula dan meminta tolong pada Mas Pras untuk membawanya jalan-jalan, agar aku bisa melanjutkan memasak puding. Sepertinya ideku sukses. Mas Pras lupa dengan handphone-nya dan meninggalkannya di dapur Tapi sayang, handphone-nya dikunci menggunakan sandi. Aku tak bisa membukanya.

Aku menghela napas. Sudahlah, yang penting langkah pertama sukses.

Baru saja aku selesai membuat puding, tiba-tiba saja ada panggilan masuk. Nomor tidak dikenal. Ragu, antara menerima atau membiarkannya, akhirnya aku terima juga.

“Halo, Assalamualaikum,”

Tidak ada yang menyahut.

“Halo, dengan siapa ya?”

“Halo ….” masih tidak ada jawaban. Sambungan terputus begitu saja.

Tak lama kemudian ada telepon masuk lagi, dari nomor yang sama. Hatiku mulai tak enak. Jangan-jangan, perempuan itu. Aku tak mau menduga-duga dan lansung menerima panggilan lagi.

“Halo, Assalamualaikum.”

“Wa… alaikumsalam,” terdengar suara seorang wanita dari seberang sana. “Mas Pras ada?”

“Dari siapa ya?” aku tak langsung menjawab dan malah balik bertanya.

“Lily.”

Deg! Seperti ada pukulan keras yang menghantam tepat ke jantungku. Sakit.

“Oh, Mbak Lily. Teman kantor Mas Pras, ya?” aku berusaha membuat nada bicaraku terdengar senormal dan seramah mungkin.

“Iya, Bu. Bisa bicara dengan Mas Pras?” padaku ia panggil Ibu, tapi dengan Mas Pras, dia juga panggil Mas.

“Oh, Pak Pras-nya sedang jalan-jalan sama anak-anak. Mungkin ada pesan?” aku mengubah panggilanku dari Mas Pras menjadi Pak Pras, untuk mengajari wanita bernama Lily itu supaya bersikap lebih formal pada suamiku. Tidak usah sok akrab meskipun kenyataannya mungkin mereka lebih akrab dari yang kutahu.

“Eum… enggak ada. Bilang aja saya telepon,” suara wanita di seberang terdengar gugup.

“Oh, baiklah. Nanti saya sampaikan.” Aku berusaha menekan emosiku yang mulai tersulut. Walau mungkin jika wanita ini ada di hadapanku, sudah aku cakar-cakar mukanya. Aku jambak rambutnya. Oh, tidak-tidak. Astagfirullah ….

Telepon terputus. Ingin rasanya aku banting handphone ini. Benar-benar jadi penyakit. Tapi aku ingat kata Nina, “Istigfar, Ratih. Istigfar.”

(Bersambung)

Tutukz Nury Firdaus, lahir di Banyuwangi. Ibu beranak dua ini adalah seorang guru yang saat ini aktif mengajar di pulau antah berantah. Dia menulis, untuk membunuh rasa sepinya yang harus hidup sendiri tanpa anak dan suami di tempat tugas.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita