Suamiku Bukan Suamiku 2
Oleh: Tutukz Nury Firdaus
Hubunganku dengan Mas Pras semakin mendingin. Kami tidak bertegur sapa. Walaupun begitu aku berusaha tampak baik-baik saja di depan anak-anak—seolah tidak terjadi apa-apa, apalagi di depan sanak keluarga dan tetangga. Jika ada teman atau saudara yang bermain ke rumah, maka kami akan bersikap seperti keluarga harmonis. Padahal di balik itu semua ada bara panas yang sedang membakar biduk rumah tanggaku.
Bagaimanapun diri ini hanya wanita biasa, punya titik jenuh, dan ada kalanya juga butuh orang lain untuk berkeluh kesah. Rasanya aku sudah tidak mampu lagi melihat ulah Mas Pras yang sekarang semakin gila. Siang-malam hanya berkutat dengan handphone, headset dan laptopnya.
Aku sering uring-uringan karena lelah menghadapi semua ini. Aya dan Alya menjadi korban pelampiasan kekesalanku. Terkadang, aku mudah marah tanpa sebab kepada mereka saat suasana hatiku sedang buruk. Beruntung Aya dijemput oleh ibuku tadi siang untuk berlibur selama seminggu ke rumah adikku yang berada di Yogyakarta.
Sedangkan Alya, sejak hubunganku dengan Mas Pras kurang baik, Alya menjadi rewel dan semakin manja. Baru mau tidur jika Mas Pras yang menggendongnya. Begitu pun pada malam hari saat dia terbangun. Dia akan memanggil Papa, bukan Mama. Ini membuat aku mau tidak mau harus berinteraksi dengan Mas Pras. Hal yang sangat aku benci saat ini.
Kalau tidak karena Alya dan Aya mungkin saat ini aku sudah pergi dari rumah.
Seperti malam ini, sejak Mas Pras pergi Alya terus-terusan menangis, memanggil-manggil papanya. Aku mencoba menenangkannya. Berbagai cara dilakukan, tapi hasilnya nihil. Alya terus saja menangis. Di tengah kebingungan aku coba menekan rasa gengsi dan ego demi anak.
Aku menelepon Mas Pras berkali-kali dan hasilnya selalu sama, hanya suara operator yang terdengar, “Nomor yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi.”
Sebenarnya aku tahu, saat ini Mas Pras pasti sedang asyik berteleponan dengan wanita itu di kamar belakang toko Ibu Mertua. Aku ingin menyusulnya, tapi bagaimana mungkin aku membawa motor dengan menggendong Alya. Jika meminta tolong seseorang untuk menyusul Mas Pras ke toko Ibu Mertua… aku takut dia tahu kelakuan Mas Pras, dan itu bisa menjadi gosip baru bagi orang-orang sekampung.
Ah… tidak. Aku harus menutup rapat-rapat masalah ini. Tapi bagaimana dengan gadis tak berdosa di gendonganku ini. Suaranya hampir habis karena menangis.
Akhirnya aku punya ide untuk mengirim SMS saja. Meskipun sedang menelepon, SMS bisa masuk dan ada semacam notifikasi.
Bukankah Mas Pras memakai headset?
Segera aku ketik pesan singkat untuk memintanya segera pulang dengan alasan Alya. Berdoa semoga Mas Pras segera membaca pesan dariku.
Harap-harap cemas aku menunggu Mas Pras. Semoga cepat datang. Setelah 10 menit menunggu, akhirnya dia datang. Segera Alya dia ambil alih, dan tak lama kemudian Alya langsung dia setelah digendongnya.
“Alya… minum susu dulu ya, Sayang,” ucap Mas Pras pada Alya sambil berupaya menyerahkan Alya kepangkuanku. Tapi rupanya Alya tidak mau lepas dari pelukan Mas Pras, dia malah menangis saat aku gendong.
“Mau minum susu di botol aja? Sama Papa, ya?” Aku segera bangkit ke dapur membuatkan susu formula untuk Alya.
Alya meneguk susu itu dengan lahap, sebentar saja sudah habis. Ia tertidur di pelukan papanya, dan setelah dirasa benar-benar terlelap, Mas Pras memindahkan Alya ke tempat tidur.
“Jika pikiranmu tidak tenang, bagaimana kamu bisa menenangkan anakmu. Ikatan batin antara ibu dan anak itu kuat,” Mas Pras mulai bicara lagi padaku setelah beberapa waktu lamanya tidak bicara. Tapi itu bukan hal yang menyenangkan bagiku, justru muak sekali aku mendengar kata-katanya.
“Haha… oh ya? Tahu juga tentang hal itu?” jawabku sinis, malah terkesan mencibir.
“Maling teriak maling. Kau cobalah bercermin dulu. Siapa yang menyulut api di rumah ini? Siapa yang membuat rumah ini seperti di neraka? Kau!” aku berkata dengan nada serendah mungkin tapi dengan tekanan yang kuat, agar ia tahu betapa sakitnya aku oleh perbuatannya.
“Ratih… Ratih. Kau memang tak pernah berubah, tetap seperti dulu. Egois,” dia berkata dengan tenang sambil memencet remote televisi, memindah-mindahkan channel.
“Hah? Aku?”
“Ya. Siapa lagi? Siapa yang menginginkan pernikahan ini?” sambungnya lagi. Masih dengan ekspresi yang sama. Dingin.
“Oh… jadi kamu menyesal menikah denganku. Bagaimanapun aku adalah ibu dari anak-anakmu. Darah daging mereka. Ingat itu!”
“Itulah kau, Ratih. Keras kepala. Percuma bicara denganmu. Bertahun-tahun hidup bersama, tapi tak pernah mengerti aku.” Dia tersenyum dengan menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa maksudnya membuat diri ini semakin muak melihatnya.
“Tak pernah mengerti? Aku harus bagaimana, Mas? Aku sudah berusaha menjadi yang terbaik. Aku urus rumah ini dengan baik, aku rawat kau dan anak-anakmu hingga tidak kurang satu apa pun.”
“Ratih, aku tidak hanya butuh istri yang bisa membersihkan rumah, memasak makanan, mencucikan bajuku, mengurus rumahku. Tidak. Kalau cuma seperti itu apa bedanya kamu dengan asisten rumah tangga. Aku butuh istri yang bisa menjadi teman saat aku gembira dan bisa menjadi sahabat saat aku terluka.”
“Halah… itu kan bisa-bisanya kamu saja mencari alasan. Agar aku maklum kamu jalan dengan perempuan murahan itu.”
“Jangan sebut dia dengan kata-kata murahan. Lily tidak seperti itu.”
“Lalu, apa namanya bagi perempuan yang merusak rumah tangga orang lain. Apa tidak pantas kalau disebut Pela …,” aku tidak meneruskan kata-kataku ketika sadar Mas Pras sudah berdiri dengan wajah memerah, menahan amarah. Tangannya terangkat, bersiap menamparku.
Hatiku benar-benar sakit melihat reaksi dari Mas Pras. Dia tidak terima wanitanya disebut murahan. Menatapku tajam. Dadanya naik turun karena menahan emosi yang memuncak. Aku sudah tak bisa membendung air mata.
Perlahan dia menurunkan tangannya yang terangkat dan pergi ke kamar Alya, meninggalkan aku sendiri di ruang tengah.
Aku terisak mengingat kejadian tadi. Kata-kata Mas Pras benar-benar melukai hatiku. Tak kusangka sedalam itu rasa cintanya untuk wanita lain. Aku benci. Aku harus menemuinya dan melabrak wanita sialan, pengganggu rumah tanggaku. Ya, aku tidak boleh kalah.
***
Semalaman aku tak bisa tidur. Kata-kata Mas Pras terus terngiang di telingaku.
“Aku butuh istri yang bisa menjadi teman saat aku gembira dan menjadi sahabat saat aku terluka”
“Apa bedanya kamu dengan asisten rumah tangga.”
Ya Allah… benarkah selama ini aku hanya dianggap sebagai asisten rumah tangga? Aku begitu mencintai Mas Pras. Benarkah masih tidak ada sedikit pun rasa cinta untukku?
Selama delapan tahun menikah, pertengkaran semalam bisa dibilang pertengkaran kami yang paling menakutkan. Mas Pras tidak pernah berkata kasar dengan nada tinggi apalagi sampai mengangkat tangannya untuk memukulku. Wanita itu telah benar-benar mengubah suamiku menjadi orang lain.
Aku mengenal Mas Pras jauh sebelum aku menikah. Dia berwatak lembut dan orang yang taat. Selalu salat tepat waktu di masjid, kecuali jika ada sesuatu yang tidak memungkinkan, baru dia sholat di rumah. Dia juga patuh pada orang tuanya.
Saat ayahnya menjodohkan Mas Pras denganku, dia diam saja walau sebenarnya hatinya memberontak. Dia minta tolong kepada ibu dan saudara-saudaranya untuk membatalkan perjodohan itu. Tapi, ayah mertuaku orang yang keras kepala. Dia tetap melanjutkan perjodohan itu. Apalagi saat aku meminta segera dinikahkan, beliau langsung mengiyakan.
Mas Pras sejak masih muda tidak suka neko-neko apalagi jelalatan. Tidak. Dia bukan orang seperti itu. Makanya saat aku tahu dia punya wanita idaman lain, aku yakin wanita itulah yang menggodanya duluan.
***
Pagi ini aku melakukan aksi mogok—tidak melakukan pekerjaan rumah. Tidak memasak, mencuci, beres-beres rumah dan tidak menyiapkan keperluan Mas Pras untuk ke kantor. Agar ia tahu bedanya istri dengan asisten rumah tangga.
Aku tersenyum sinis saat dia mencari kaus kakinya. Membiarkan dia mengacak-acak isi lemari untuk mencari sapu tangan. Pun saat dia bersungut-sungut saat tak menemukan apa-apa di meja makan. Puas aku melihat ekspresinya.
Sejak pagi sebenarnya aku tidak berdiam diri. Aku menyusun strategi untuk melabrak perempuan sialan itu. Menyiapkan berbagai keperluan Alya. Mulai dari baju ganti, popok, bubur, susu, sampai kereta dorong. Menyadari itu Mas Pras tampak penasaran.
“Mau dibawa ke mana Alya?” tanyanya sinis.
“Ke rumah Nina. Sumpek di rumah.”
Nina adalah sahabatku sejak masih sekolah. Rencananya aku akan mengajak Nina untuk melabrak perempuan bernama… ah, menyebut namanya saja aku tak sudi.
“Aku antar,” ucapanya ketus.
“Gak perlu,” jawabku tak kalah sinis.
“Alya aku antar. Kamu terserah.” Dia langsung memasukkan perlengkapan Alya ke bagasi mobil. Mengambil Alya dari gendonganku dengan kasar. Alya menangis. Mau tidak mau aku juga ikut masuk mobil. Sesampainya di rumah Nina dia menurunkan perlengkapan Alya dan meneruskan perjalanannya ke kantor. Mencium Alya terlebih dahulu dan tak berpamitan padaku.
Rumah Nina tampak sepi. Mungkin suaminya juga sudah berangkat bekerja. Aku memencet bel. Asisten rumah tangga Nina yang membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk.
“Hai, Ra. Apa kabar? Tumben datang gak telepon dulu?” dia menyapaku ramah, tak lupa dengan pelukan hangat yang biasa kami lakukan jika lama tak berjumpa, kemudian beralih menyapa Alya.
“Halo, Cantik. Mana Mbak Sayang? Gak ikut juga?”
Dia tampak sangat senang dengan kehadiran kami. Dia langsung mengambil Alya dari kereta dorong. Aku menghela napas, tak segera menjawab pertanyaannya. Pikiranku masih kalut.
Rupanya Nina dapat merasakan kerisauanku. “Ada masalah?”
“Sedikit,” jawabku pendek, “Kamu ada acara gak hari ini?”
“Eum… enggak sih,” jawab Nina sambil bermain dengan Alya
“Temenin aku, ya?”
“Mau ke mana?”
“Ke kantor Mas Pras.” Aku langsung fokus pada tujuan awalku datang kemari.
“Loh, ngapain?” Dia nampak kebingungan, meletakkan Alya pada kereta dorong, kemudian duduk di hadapanku.
“Aku mau melabrak selingkuhan Mas Pras,” ucapku tegas tanpa ragu.
“Apa? Pras selingkuh? Gak mungkin,” tawa Nina pecah saat itu juga.
Tidak hanya Nina, pasti orang lain pun tidak akan percaya jika sudah mengenal Mas Pras.
“Nina, aku serius.”
Melihat wajahku yang serius Nina menghentikan tawanya. Matanya membulat, seolah masih tak percaya dengan kata-kataku.
“Serius? Pras selingkuh?”
“Nina… serius!”
“Masa sih, Pras, orang yang alim itu bisa selingkuh?” Nina bicara pada dirinya sendiri sambil menggaruk kepala yang—aku yakin—tidak gatal.
(Bersambung)
Tutukz Nury Firdaus, lahir di Banyuwangi. Ibu beranak dua ini adalah seorang guru yang saat ini aktif mengajar di pulau antah berantah. Dia menulis, untuk membunuh rasa sepinya yang harus hidup sendiri tanpa anak dan suami di tempat tugas.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita