Suamiku Bukan Suamiku 11 (terakhir)
Oleh: Tutukz Nury Firdaus
Sesuai janjiku, malam ini aku dan Mas Pras menemui Ibu untuk membicarakan pernikahan kedua Mas Pras. Ibu terkejut dengan keputusanku, karena sebelumnya Ibu tahu jika aku tidak mau dimadu. Bukan hal yang mudah meyakinkan Ibu, apalagi Ibu juga mengalami trauma diduakan oleh almarhum Ayah. Tapi berkat penjelasanku Ibu akhirnya melunak.
“Kamu sudah yakin dengan keputusanmu, Nak?” tanya Ibu dengan sorot mata penasaran.
“Iya Bu,” sahutku mantap.
“Ibu harap kau tidak menyesal dengan keputusanmu ini,” ujar Ibu sambil melangkah menuju jendela ruang keluarga yang terbuka.
“Insya Allah, Bu,” jawabku pendek.
“Tapi, Ibu masih ragu. Ibu harus tau seperti apa dia. Apakah dia memang pantas untuk anakku? Aku tak akan menyerahkan putraku pada orang sembarangan. Kalau perlu dia harus berada di atas Ratih dalam segala hal,” ucap Ibu tanpa menoleh kepada kami. Ia masih saja berdiri di dekat jendela dan melihat ke arah luar. Mas Pras hanya diam, dia menghela napas berat.
“Sebelum kau menikah nanti, segala bentuk kekayaan dan tabungan Ibu minta segera diatasnamakan Aya dan Alya dengan Ratih sebagai walinya. Gajimu juga, Ratih yang akan mengatur semua pengeluaranmu, berikut jatah untuk wanitamu itu. Ingat, Ibu mau ada perjanjian hitam di putih. Ibu juga tidak mau memiliki cucu selain dari Ratih. Kau mengerti, Pras? Satu hal lagi, jangan pernah membawa wanita itu kehadapan keluarga besar kita, Ibu tidak sudi.
“Ibu…,” Mas Pras mendesis pelan, tampaknya ia merasa keberatan.
“Ini keputusan Ibu, kalau kau masih mau dianggap anak!” ucap Ibu tegas dengan setengah mengancam.
“Ibu, jangan….”
Ibu memotong sebelum aku menyelesaikan kata-kataku. “Kau terlalu lemah karena cintamu, Ratih. Ini Ibu lakukan ini untuk cucu Ibu.”
Mas Pras menelan ludah. “Baiklah, Bu. Secepatnya Ratih akan bawa wanita itu menemui Ibu,” aku menjawab mantap.
“Baguslah, lebih cepat lebih baik. Biar cepat selesai masalah ini. Pras, Ibu ingin bicara berdua saja dengan Ratih, bisa kau tinggalkan kami,” pinta Ibu.
Mas Pras segera menuruti perintah Ibu. Ia keluar membawa motor matic Ibu yang terparkir di halaman, entah ke mana. Ibu mendekat, dan duduk di sebelahku.
“Nak, Ibu tanya sekali lagi, kamu yakin dengan keputusanmu ini?”
“Iya, Ibu. Ratih sangat yakin. Asal Mas Pras bahagia, Ratih juga bahagia, Bu.”
“Omong kosong!”
“Ibu, tolong hargai keputusan Ratih, ini untuk kebahagiaan Mas Pras, putra Ibu. Bukankah Allah memberi ujian kepada hamba-Nya sesuai dengan kemampuannya Ibu. Berarti Ratih mampu kan, Bu.”
“Ibu, benar-benar tidak mengerti jalan pikiran kamu.”
Ibu kemudian diam. Keadaan hening. Beberapa saat kemudian Mas Pras kembali. Ia masuk dengan langkah gontai, menunjukkan wajah lesu.
Mas Pras terus melangkah menuju taman belakang, di mana Aya dan Alya sedang bermain ditemani oleh asisten rumah tangga Ibu. Dia kembali dengan menggendong Alya di tangan kiri dan menuntun Aya di tangan kanannya.
“Ayo, pulang,” ajaknya padaku.
“Papa, Aya mau nginep di rumah Eyang. Ya, boleh, ya,” pinta Aya dengan manja.
“Jangan, besok sekolah,” jawabnya datar
“Yah… Papa. Aya kan, pengen dengerin cerita Eyang. Papa gak pernah ceritain Aya kalau mau tidur,” ucapnya sewot sambil memonyongkan bibir mungilnya.
“Biarlah dia di sini, Pras. Toh, nanti dia juga akan tinggal sama Ibu,” ujar Ibu menyela pembicaraan Mas Pras dan Aya. Gadis kecilku yang ceriwis itu terlihat bengong mendengar ucapan eyangnya.
“Sayang, nanti Mama yang cerita, ya. Sekarang Aya pulang dulu. Besok main lagi ke sini, ya,” ucapku berusaha menenangkan Aya.
Kami berpamitan pada Ibu, kemudian kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, Aya manyun dan Mas Pras masih terlihat murung. Untungnya Alya tidak rewel. Ia tertidur pulas di pangkuanku.
Sesampai di rumah, Aya langsung masuk ke kamarnya. Memeluk guling dan memejamkan mata. Rupanya dia masih jengkel. Padahal biasanya dia akan tidur jika aku atau Mas Pras menemaninya.
“Ratih, boleh aku tanya padamu?” Mas Pras menghampiriku di ruang tengah sambil membawa dua cangkir teh hangat, tidak seperti biasanya, dia hanya membuat teh untuk dirinya saja. Aku hanya mengangguk, tanda mengiyakan.
“Mengapa tiba-tiba kau mengijinkanku menikahinya? Bukankah dulu kau sangat membencinya? Apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi?” tanyanya menyodorkan secangkir teh itu padaku.
“Karena aku hanya ingin melihatmu bahagia. Selama ini aku tak pernah melihatmu memperjuangkanku, seperti kau memperjuangkan Lily. Tatapanmu, ceriamu, perlakuanmu sangat berbeda. Aku tau kau sangat mencintainya. Betapa beruntungnya dia,” ucapku datar.
“Kau benar-benar ikhlas?” tanyanya dengan raut wajah serius.
“Aku tidak tau. Tapi aku akan berusaha. Anggap saja ini balas budi, karena kau telah bersedia menikah denganku dan menafkahiku dengan layak,” aku berhenti sejenak mengesap nikmatnya teh hangat buatan suamiku untuk yang pertama kalinya. “Hanya satu pintaku, setelah kau menikah lagi nanti, tolong waktumu untuk anak-anak jangan berkurang,” lanjutku dengan nada sedikit memohon atau lebih tepatnya memelas.
Mas Pras tidak menjawab, dia memberikan HP-nya padaku. HP yang tak pernah ia perbolehkan untuk aku sentuh. Rupanya dia menunjukkan foto pusara di sana, dengan batu nisan bertuliskan nama Srianingsih. Aku mengerti, ini pasti makam Bu Sri, ibunya Lily. Dari batu nisan itu diketahui bahwa Bu Sri, sudah meninggal sepuluh hari yang lalu. Ada rasa bersalah dalam hatiku. Aku tak bisa mewujudkan permintaan terakhir wanita tua itu.
“Kenapa Mas baru memberi tau?”
“Aku juga baru tau, itu pun dari teman,” sahut Mas Pras datar.
“Kok gitu?” tanyaku heran.
“Sejak kejadian sore itu, Lily mengundurkan dari kantor. Dia juga tidak mengangkat teleponku, bahkan SMS dan BBM-ku pun tidak dibalasnya,” jelasnya padaku diakhiri dengan dengusan kesal.
“Hmm… besok kita takziah, ya, Mas. Aku ikut. Sekalian ngomongin pernikahannya Mas dan Lily,” ucapku datar walau sebenarnya masih penasaran terhadap perubahan sikap Lily.
***
Sore ini aku mempersiapkan diri sebaik mungkin, rencananya aku dan Mas Pras akan takziah ke rumah Lily. Aya dan Alya aku titipkan di rumah Ibu, supaya tidak mengganggu ketika kami berbicara.
Kami tiba di sebuah rumah kecil di ujung gang kompleks perumahan itu. Tak ada yang istimewa dari rumah sederhana itu, modelnya sama saja dengan rumah-rumah di sekitarnya hanya beda warna cat saja. Ada beberapa tanaman bunga hias yang tampak tidak terawat. Daun-daunnya sudah banyak yang layu, dan ditumbuhi rumput liar.
Mas Pras mengucapkan salam, sebentar kemudian Lily membuka pintu. Matanya sembab, wajahnya kuyu, tubuhnya semakin kurus. Dia nampak terkejut melihat kedatanganku bersama Mas Pras. Dia mempersilakan kami masuk.
“Lily, mengapa kau tidak mengabariku? Mengapa aku tau dari orang lain?” Mas Pras langsung mencecarnya dengan pertanyaan.
“Aku rasa tidak perlu,” sahutnya ketus.
“Kami turut berduka cita, semoga ibumu khusnul khotimah. Kamu juga yang sabar, ya,” ucapku tulus. Dia tersenyum mencibir.
“Terima kasih, atas simpatinya,” ujarnya masih ketus.
“Lily, aku ke sini karena ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Lagi-lagi dia tersenyum kecut. Jantungku berdegup kencang. Inilah saatnya aku melamar wanita untuk suamiku. Aku menarik napas panjang agar lebih tenang.
“Aku minta bersedialah menjadi saudaraku, menikahlah dengan suamiku,” pintaku hati-hati takut membuatnya tersinggung. Aku tak tahu lagi seperti apa kata-kata yang tepat untuk meminangnya. Semoga saja dia tidak tersinggung.
Dia mengangkat sebelah alis ulat bulunya, kemudian tawanya pecah seketika. Aku dan Mas Pras berpandangan, merasa heran dengan reaksinya.
***
Sore ini cuaca terasa panas, hujan yang dinanti belum juga datang. Mas Pras pulang cepat dari kantor karena hendak mengantarkan aku dan Lily cek rutin ke dokter kandungan. Usia kehamilannya sudah memasuki 36 minggu dan kehamilanku baru 28 minggu.
Mas Pras datang menghampiriku dengan membawa dua gelas jus alpukat di tangan, dan memberikan satu untukku. Mas Pras duduk di kursi yang berseberangan denganku, hendak meminum jus alpukat buatannya, tapi Lily segera menyambarnya dan meneguknya tanpa sisa.
“Lily, kamu usil banget, ya,” ucap Mas Pras sambil mencubit pipinya gemas.
“Biarin habis, Mas pilih kasih sih, Mbak Ratih aja dibuatin, Lily enggak,” sahut Lily sewot.
“Loh, dia kan, lagi hamil,”
“Lily?” tanyanya dengan menunjuk ke arah perutnya yang sudah membuncit, seolah mengingatkan bahwa dia juga sedang mengandung. Aku tak bisa menahan tawaku melihat ekspresi Lily saat menunjuk ke arah perutnya.
“He… he… maaf.” Mas Pras nyengir kuda. “Lily, sini sebentar,” panggil Mas Pras dengan isyarat tangan supaya Lily duduk di sampingnya.
“Apaan sih, Mas? Lily mau di kamar aja,” ucapnya dengan bibir manyun. Mas Pras melotot. Akhirnya dia menurut juga, dengan langkah gontai dia malah merebahkan diri di pangkuan Mas Pras.
“Eh, Manja, ya. Semoga kalau anak ini lahir mirip aku,” ucap Mas Pras tengil memasang wajah tak berdosa.
“Ogah!!! Amit-amit jabang bayi, deh,” ucap Lily sambil terkekeh. Mendadak wajah Mas Pras menjadi serius.
“Lily, jika nanti anak ini sudah lahir, Mas mohon jangan bedakan antara anak kandung dengan anak tirimu, ya,” pinta Mas Pras tulus. Aku menelan ludah mendengar kata-kata Mas Pras. Dalam hati aku juga ragu.
“Ga tau deh lihat entar,” jawab Lily dengan cueknya.
“Serius Lily!”
“Lily enggak weeeekk,” jawabnya santai lalu menjulurkan lidahnya. Mas Pras semakin gemas dan mengacak-acak rambutnya.
***
Lily menghentikan tawanya dan mengusap air bening di sudut matanya.
“Kau pikir aku mau menikah dengan Mas Pras? Kau salah besar. Dari awal aku kan sudah bilang, dia Mas Prasku. Tunggu di sini sebentar.” Lily beranjak dari kursi masuk ke dalam kamar. Kemudian keluar dengan membawa sebuah tas yang isinya adalah sebuah album foto dan sebuah map.
“Lihatlah,” pintanya sambil menyodorkan album foto dan map itu. Mas Pras mengambil album foto dan aku mengambil mapnya. Map itu berisi sebuah akta kelahiran dan buku nikah. Betapa terkejutnya aku, melihat data yang tertera di akta kelahiran itu. Di sana tertulis, bahwa telah lahir anak perempuan dengan nama Aprilya Pratidina Wijadmiko, dari perkawinan antara Handoko Wijadmiko dan Srianingsih.
Aku segera meraih buku nikah itu. Benar, di buku nikah ini tertulis nama mempelainya adalah almarhum ayah mertuaku dan ibunya Lily. Kepalaku mendadak pusing tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Mas Pras tampak shock melihat foto-foto di album, sampai dia tak sengaja menjatuhkan album itu dari tangannya. Aku memungutnya. Di situ masih terlihat dengan jelas, foto pernikahan dan foto ketika Bu Sri muda menggendong seorang bayi perempuan. Ada foto Ibu di sana. Foto-foto tua yang sudah menguning tepinya itu menyimpan sebuah cerita yang tak pernah aku ketahui sebelumnya.
“Jadi… jadi…” aku tak bisa meneruskan kata-kataku.
“Iya Mbak. Aku adalah adik Mas Pras. Ibuku adalah perempuan yang terlalu baik atau bisa dibilang naif. Dia memberikan suaminya untuk orang lain, ya seperti Mbak ini. Bodoh,” ucapnya sengit.
“Menurut cerita Ibu, pernikahan Ayah dan Ibu tidak disetujui oleh orang tua Ayah karena ibuku besar di panti asuhan. Kemudian Kakek menjodohkan Ayah dengan Bu Ratna, mertua Mbak Ratih. Ibu dipaksa untuk menandatangani surat persetujuan poligami itu.”
“Dan kau tau Mbak, Bu Ratna itu adalah wanita yang cerdas atau lebih tepatnya licik, dia menguasai semua aset Ayah. Jatah bulanan dia yang atur. Bahkan ketika dia melahirkan Mas Pras dia langsung menuntut Ayah untuk menceraikan Ibu. Tapi Ayah tidak mau, karena saat itu Ibu sedang mengandung. Bu Ratna marah besar. Dia merasa diduakan. Padahal dia yang merebut ayahku dari Ibu,” jelasnya dengan suara parau menahan tangis.
“Dan sejak aku mengetahui kisah ini, aku berjanji untuk mencari kakakku. Ternyata Tuhan mengabulkan doaku. Aku diterima kerja di bank yang sama dengan Mas Pras. Aku mencurigainya saat aku lihat nama belakangnya sama denganku. Prasetyo Wijadmiko dan Mbak lihat, kan, wajahku mirip dengannya,” ucapnya sambil mengusap air mata yang menganak sungai di pipi mulusnya.
“Aku mencoba mendekatinya, namun rupanya Mas Pras salah paham dengan maksudku, dan ternyata pernikahan Mbak juga ada sedikit masalah. Ya sekalian dah, aku layani sekalian untuk memberi pelajaran karena telah membuat hidupku menderita,” dia tertawa getir di antara tangisnya.
“Dari kecil aku hanya berdua dengan Ibuku, Ibu kerja serabutan untuk menyambung hidup. Siang dia bekerja di gudang tembakau kadang juga menjadi buruh cuci. Ibu, menderita sepanjang hidupnya. Karena menyedekahkan suaminya untuk ibumu,” Lily berkata sengit dengan sorot mata tajam pada Mas Pras.
“Lily, aku tak tau harus bicara apa? Izinkan aku menebus semua yang telah ibuku perbuat padamu,” Mas Pras berkata dengan lirih dan tatapan nanar.
“Awalnya aku ingin menghancurkan rumah tanggamu, tapi mengingat kedua anakmu, aku jadi tidak sampai hati. Mereka juga keponakanku. Ibuku yang malang, tidak pernah mengetahui kebenaran ini. Dan Mbak Ratih, dia adalah wanita yang tegar, Mas. Ayah tidak salah memilihkan jodoh untukmu.” Dia tergugu. Entah apa yang membuatnya terisak.
“Ibu. Tidak mungkin Ibu sejahat itu,” Mas Pras mendesis. Dia menggeleng seolah tak memercayai kata-kata Lily.
“Kau bisa menanyakannya pada ibumu,” Lily berkata tanpa menoleh ke arah kami.
***
HP Mas Pras berdering, karena Mas Pras sedang salat aku langsung menerimannya.
“Assalamualaikum,” ucapku membuka pembicaraan.
“Waalaikumsalam, Mbak. Di mana Lily? Kenapa dia tak menjawab telponku?” tanya pria di seberang tidak sabaran. Dia adalah Pandu.
“Oh, kelihatannya dia sudah tidur. Kamu kapan selesai diklatnya?”
“Tadi sore penutupannya, sekarang sudah perjalanan pulang kok, Mbak. Kalau lancar dua jam lagi nyampe. Nanti aku langsung jemput Lily.”
“Oh ya, nanti aku sampaikan.”
“Bagaimana kandungannya Lily?”
“Baik-baik saja. Tadi aku check up bareng sama dia. Katanya HPL-nya minggu-minggu ini. Dan bayinya cewek, lho.”
“Alhamdulillah, akhirnya aku punya anak cewek. Eh, udah dulu, ya Mbak. Mumpung busnya berhenti, aku mau ke toilet dulu.”
“Oke, hati-hati di jalan, ya.”
Setelah mengucapkan salam, Pandu memutus sambungan telepon. Pandu mengikuti Diklat PLPG selama sepuluh hari di luar kota. Selama dia pergi, dia meminta Lily untuk tinggal bersama kami. Dia merasa khawatir karena Lily sedang hamil tua.
Aku kaget ketika Mas Pras memelukku dari belakang. Tangannya mengusap lembut perutku yang mulai membuncit.
“Ini yang terakhir lho, ya.” Aku memegang tangannya. Menghentikan aktivitasnya mengelus perutku.
“Ga janji, kalau ga laki-laki ya bikin lagi,” selorohnya.
“Kalau laki-laki, berarti dah stop ya,” ucapku memastikan.
“Ehm… aku pikir gak juga. Haha…,” kelakarnya.
“Ih….” Aku mencubit tangannya gemas. Mas Pras mengaduh sebentar kemudian tertawa cekikian.
Allah menunjukkan caranya yang sungguh indah dalam menyatukan kami. Lily yang awalnya datang sebagai duri dalam rumah tanggaku, ternyata kehadirannya mengajarkan banyak hal. Jalan yang tampak buruk di mata kita, terkadang jalan itulah yang terbaik dari Tuhan. Karena yang tampak benar tidak selalu benar, dan yang tampak salah tidak seluruhnya salah.(*)
Selesai.
Tutukz Nury Firdaus, lahir di Banyuwangi. Ibu beranak dua ini adalah seorang guru yang saat ini aktif mengajar di pulau antah berantah. Dia menulis, untuk membunuh rasa sepinya yang harus hidup sendiri tanpa anak dan suami di tempat tugas.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita